Menggugat Kedaulatan Rakyat

Press Release

ROADSHOW FESTIVAL KEADILAN #2 MALANG SABTU, 29 JULI 2023

Sejak awal pemerintahan Presiden Joko Widodo pada tahun 2019, berbagai isu problematik telah menjadi fokus perhatian masyarakat. Selama periode kedua kepemimpinannya, isu-isu tersebut antara lain terkait dengan produk hukum yang kontroversial dan menuai banyak kritik dari berbagai kalangan. Beberapa produk hukum yang dikeluarkan tampaknya tidak sepenuhnya mencerminkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat, sehingga menimbulkan ketidakpuasan dan kontroversi di masyarakat. Selain itu, isu perampasan hak-hak masyarakat kecil juga menjadi perhatian serius selama masa pemerintahan kedua Presiden Joko Widodo. Selain itu, kebebasan berekspresi juga mengalami penurunan di Indonesia. Undang-undang ITE sering digunakan sebagai alat untuk membungkam pendapat dan kritik, membatasi ruang bagi warga negara untuk menyampaikan aspirasi dan pandangan mereka secara bebas dan terbuka. Selanjutnya, isu kekerasan dan brutalitas oleh institusi Polri juga mencuat selama periode kini. Beberapa insiden menunjukkan tindakan represif dan penggunaan kekuatan yang berlebihan oleh aparat keamanan terhadap masyarakat, yang berdampak pada perlambatan proses reformasi dan penegakan hak asasi manusia di negara ini.

Sebagai contoh, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2023 yang disahkan melalui Undang-undang (UU) Nomor 6 Tahun 2023, telah menuai banyak problematik, baik secara konstitusional maupun secara materil. Awal mulanya, pemerintah mengusulkan draft RUU Cipta Kerja kepada DPR RI pada 7 Februari 2020 melalui Surat Presiden (SurPres). Hingga akhirnya, DPR RI mengesahkan UU Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja pada 7 Februari 2020. Pengesahan ini menuai kecaman dari berbagai elemen rakyat lantaran banyak mengandung problematik secara konstitusional dan materil. Akhirnya, diajukanlah gugatan terhadap Mahkamah Konstitusi (MK) dan hasilnya adalah UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional bersyarat. Alih-alih mengedepankan amanat MK dalam perumusan kembali UU Cipta Kerja, pemerintah menerbitkan Perppu Cipta Kerja dengan dalih kegentingan yang memaksa di situasi perang Rusia-Ukraina. Dalam hal ini, ada suatu kegentingan, bukan kegentingan bagi kaum buruh, tapi kegentingan bagi penguasa.

Tak sebatas itu, pemerintah juga berusaha dalam mengedepankan kepentingan elit oligarki dalam melindungi kekuasaannya melalui Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) baru yang diterbitkan melalui UU Nomor 1 Tahun 2023. KUHP baru semakin mengancam kebebasan berekspresi di negeri ini. Banyak pasal yang menuai kontroversi di masyarakat, salah satunya adalah pasal mengenai pemidanaan terhadap pelaku yang menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden. Padahal, apabila kinerja presiden baik, pasti akan meminimalisir tindakan-tindakan seperti ini. Belum lagi bicara soal pemidanaan terhadap para pelaku penyebaran Komunisme/Marxisme-Leninisme di muka umum atau gagasan lain yang bertentangan dengan Pancasila. Pemidanaan ini akan memundurkan kebebasan berekspresi di negeri ini. Masalahnya, tidak ada penjelasan terkait gagasan selain Komunisme/Marxisme-Leninisme yang bertentangan dengan Pancasila.

Apabila kita berbicara mengenai kebebasan berekspresi, Indonesia menempati posisi memprihatinkan dalam urutan negara paling bebas berekspresi. Menurut survei dari Reporters Without Borders, organisasi yangsering menerbitkan laporan mengenai kebebasan pers, Indonesia mendapat indeks 36,77, yang artinya berada pada peringkat 124. Dapat kita temui berbagai kriminalisasi terhadap jurnalis dan aktivis yang menyampaikan kritik terhadap pemerintah. Pada Agustus 2021, KontraS dan delapan organisasi lainnya merilis laporan tentang penempatan militer di Papua yang menyebutkan dugaan keterlibatan perusahaan tambang di Papua. Setelah video percakapan antara Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar tentang laporan tersebut dirilis, mereka berdua dihadapkan pada tuduhan pencemaran nama baik berdasarkan Undang-Undang ITE. Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar dituduh melakukan pencemaran nama baik dan didakwa salah satunya berdasarkan Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang ITE.

Permasalahan lain juga menimpa institusi selain eksekutif dan legislatif, yaitu Polri sebagai lembaga keamanan dalam negeri. Berulangkali Polri melakukan tindakan semena-mena terhadap masyarakat. Brutalitas aparat terhadap sipil adalah seperti penyakit yang sangat sulit dihilangkan dari tubuh Polri. Berbagai pelanggaran HAM juga seringkali meibatkan institusi Polri. Meletusnya Tragedi Kanjuruhan yang menewaskan kurang lebih 135 nyawa merupakan manifestasi dari kebobrokan institusi Polri. Reformasi Polri menjadi tuntutan yang makin harus direalisasikan menimbang berbagai pelanggaran yang dilakukan oleh institusi Polri itu sendiri.

Wacana merevisi Undang-Undang nomor 34 tahun 2004 tentang TNI sedang berlangsung dengan fokus pada perubahan yang mencakup jabatan prajurit TNI aktif. Naskah akademik RUU telah diselesaikan oleh pemerintah pada tahun 2019 untuk menambahkan jumlah lembaga yang dapat diisi oleh prajurit TNI aktif. Dalam naskah akademik tersebut, prajurit TNI aktif dapat menduduki jabatan di berbagai instansi pusat yang meliputi bidang politik, hukum, keamanan, kemaritiman, intelijen, siber, sandi, penanggulangan narkotika, terorisme, bencana, perbatasan, keamanan laut, dan lain-lain. Penambahan banyak lembaga negara ini menimbulkan kekhawatiran akan makin melanggengkan keterlibatan prajurit TNI dalam berpolitik, yang sangat berpotensi akan mengembalikan situasi Indonesia seperti pada masa Orde Baru, dimana masih adanya status dwifungsi ABRI.

Dalam lingkungan akademisi, juga seringkali terjadi pemberangusan kebebasan akademik. Pemberangusan kebebasan akademik sempat terjadi di Universitas Brawijaya (UB) ketika Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan, Alumni, dan Kewirausahaan, Dr. Setiawan Noerdajasakti, mengancam pembekuan administrasi dan finansial terhadap Eksekutif Mahasiswa UB jika terlibat dalam aksi di dalam atau luar kampus, yang berdampak pada keterbatasan partisipasi mahasiswa dalam diskusi, perdebatan, dan aksi terkait isu sosial atau politik. Sementara itu, di Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, kasus pengancaman kebebasan akademisi muncul ketika dua mantan Majelis Wali Amanat (MWA), Hasan Fauzi dan Tri Atmojo, dicopot dari jabatan dan kehilangan gelar profesor oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, Nadiem Makarim, setelah membongkar dugaan kasus korupsi senilai 57 Miliar Rupiah di UNS.

Scroll to Top