Menari di Atas Kemiskinan Struktural

Kawan kita, sebut saja Waskito, adalah seorang warga Jogja. Dia bukan warga asli, jika asli diartikan sama dengan mereka yang menetap, hafal mati arah mata angin, dan memiki KTP berdomisili daerah itu. Sejak merantau sepuluh tahun silam, tokoh kita ini memutuskan menyewa sebuah kontrakan di Jogja. Ketika menikah beberapa tahun kemudian, dia bermaksud untuk meninggalkan kontrakan tua itu.

Waskito, seorang milenial, tak memiliki keinginan muluk-muluk. Bekerja di sebuah agensi periklanan berupah UMP yang, sepuluh tahun lalu, masih di bawah Rp 1 juta, dia ingin sedikit demi sedikit mengumpulkan pundi-pundi untuk membeli rumah yang nyaman untuk keluarga. Nahas, nasib tak terlalu memihak pasangan muda itu. Sampai hari ini, bukan rumah yang mereka miliki, melainkan surat-surat utang yang tak ada nilai dan harganya kecuali ditebus.

Harga properti, di luar dugaan Waskito, melesat jauh di atas nominal rata-rata upah yang dia terima. Ketika upahnya hanya beberapa puluh ribu lebih banyak; hotel dan apartemen merebak, jargon pariwisata semakin marak, dan harga properti bisa naik berkali-kali lipat. Namun, bukan semata pariwisata yang membuat orang-orang seperti Waskito nyaris mustahil memiliki rumah. Apa gerangan?

Tempat terbaik untuk cuci uang
Bangunan di Kalurahan Muja Muju, Umbulharjo, Yogyakarta itu berdiri kokoh di atas lahan seluas 2.000 meter persegi. Berkeliling pagar setinggi 3,5 meter, tak satu pun mengetahui dengan pasti, pun tetangga di kiri kanan, siapa sesungguhnya pemilik rumah itu. Hanya sekali-dua si pemilik diketahui singgah dan berkegiatan di sana, setidak-tidaknya sampai si pemilik belum mendapatkan “rumah” yang baru.

Rumah mewah itu tak lain milik Rafael Alun Trisambodo, bekas pegawai Dirjen Pajak. Namun, rumah itu tidak tercatat dalam laporan LHKPN Rafael Alun yang disampaikan ke KPK. Dari LHKPN Rafael Alun yang disampaikan pada 17 Februari 2022 lalu, dia tercatat memiliki 11 aset tanah dan bangunan dengan total senilai Rp 51,93 miliar. Tak satu pun dari laporan itu menyebut rumah di Yogyakarta sebagai aset kekayaan Rafael Alun.

Rafael Alun bukan satu-satunya pejabat yang diketahui memiliki properti sebagai sarana pencucian uang. Pada 2021, MA menghukum Irjen Djoko Susilo sebagai mantan Kakorlantas selama 18 tahun penjara dan denda Rp1 miliar serta mengembalikan uang pengganti Rp32 miliar. Sejak kasus ini telah bergulir sejak 2013, Djoko akhirnya terbukti melakukan korupsi pengadaan alat simulator SIM

Selain itu, Dirut PT Hanson International Tbk, Benny Tjokrosaputro dinyatakan terbukti bersalah melakukan korupsi dalam kasus PT Asuransi Jiwasraya (Persero) pada 2020. Majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta juga menyatakan Benny terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Siapa sangka, sebagian dari tindak pencucian uang Benny dilakukan di Jogja. Nilainya tak main-main: Rp50 miliar. Aset pencucian uang itu antara lain berupa satu bidang tanah seluas 468 meter persegi di Desa Caturtunggal, Depok, Sleman.

Cerita dari Jogja tak cukup sampai di situ. Ketika Anas Urbaningrum didakwa melakukan tindak pidana pencucian uang sebesar Rp23,8 miliar, sebagian dari harta itu berbentuk dua bidang tanah di Jalan DI Panjaitan, Jogokaryan, Yogyakarta; dan dua bidang lahan di Panggung Harjo, Sewon, Bantul, Yogyakarta. Menurut jaksa, lahan dan bangunan yang berlokasi di Yogyakarta dibeli melalui mertua Anas, Attabik Ali dan diatasnamakan Attabik.

Jogja, singkatnya, adalah lokasi sangat strategis bagi pejabat yang terlibat dalam pidana korupsi maupun pencucian uang. Harga properti yang tinggi di daerah ini menjadi daya tarik tak tertandingi. Mereka yang terlibat dalam tindakan pencucian uang dapat mengalami peningkatan nilai uang dengan menginvestasikan dana mereka dalam bentuk properti. Tanpa perlu repot-repot bekerja keras, kekayaan mereka akan meningkat dengan sendirinya seiring harga properti yang terus melonjak.. 

Maraknya praktik pencucian uang di Jogja didorong oleh besarnya kesempatan di wilayah itu untuk menyembunyikan aset. Minat atas properti yang tinggi menciptakan peluang bagi para pelaku pencucian uang untuk mencampurkan uang hasil rasuah dengan transaksi properti yang sah. Alhasil, tanah-tanah kosong semakin menipis berganti bangunan-bangunan tak berpenghuni lantaran si pemilik memiliki tempat menetap lain di Kemang atau Senayan, mungkin juga Bali.

Panjang umur kemiskinan struktural?

Waskito, seperti Rafael Alun, sesungguhnya tidak sendiri. Ada banyak di luar sana yang berusaha hidup dari ke hari dengan jujur, tetapi dipertontonkan dengan kenyataan bahwa ada segelintir orang yang nyaris bisa mendapatkan segalanya tanpa mengeluarkan setets pun keringat. Ketika sejumlah besar orang di Jogja masih hidup di bawah garis kemiskinan, para koruptor tanpa malu menjadikan aset-aset sebagai sarana beternak uang.

Tak heran, banyak anak muda merasa khawatir tak mampu membeli rumah di tengah pesatnya peningkatan harga properti di Yogyakarta. Kekhawatiran itu bukan tidak beralasan. BPS menunjukkan pada 2022, rasio gini Jogja sebesar 0,439. Ketika upaya untuk membalikkan keadaan nyaris tidak ada, mereka kini dihadapkan pada dua kondisi: menyelamatkan orang-orang yang paling mungkin sambil membayangkan masa depan mereka baik-baik saja.

Di tengah kondisi semacam itu, para elite menari seolah hari depan akan hancur berantakan kecuali mereka melakukan korupsi. Tanah-tanah di Jogja terus berkurang, sebagian besar berganti dengan hotel dan apartemen yang nyaris tak dijamah orang-orang seperti Waskito, sebagian lain disikat para pejabat untuk cuci uang.  Hanya mereka yang tiada memiliki harapan bersedia terus memberikan panggung kepada orang-orang yang menari di atas kemiskinan struktural. Apa pula menitipkan nasib!


Penulis: Han Revanda Putra

Scroll to Top