Yang Hilang dari Kita adalah Kesadaran, Bukan Keadilan

Di tengah hiruk-pikuk wacana tentang keadilan sosial, hukum, dan ekonomi, masyarakat kita tampaknya semakin giat menuntut keadilan. Teriakan itu menggema dari ruang publik hingga media sosial. Kita menuntut keadilan atas harga pangan yang melonjak, sistem hukum yang tebang pilih, akses pendidikan yang timpang, hingga kesenjangan kaya-miskin yang terus melebar. Namun, apakah benar yang paling kita butuhkan saat ini adalah keadilan? Atau jangan-jangan, yang paling kita abaikan justru adalah kesadaran?

Kesadaran adalah akar dari segala perubahan yang berkelanjutan. Tanpa kesadaran, keadilan akan selalu menjadi konsep abstrak, slogan kampanye, atau sekadar retorika kosong. Kesadaran yang dimaksud bukan hanya kesadaran personal akan hak dan kewajiban, tetapi kesadaran kolektif: kemampuan melihat diri sebagai bagian dari masyarakat yang saling terhubung dan bertanggung jawab satu sama lain.

Prof. Franz Magnis-Suseno dalam pemikirannya tentang etika sosial menekankan bahwa keadilan tidak bisa ditegakkan dalam ruang hampa. Ia memerlukan landasan moral dan kesadaran etis warga negara. Ketika orang hanya menuntut hak tanpa memahami kewajibannya sebagai warga sosial, maka yang terjadi bukan keadilan, tapi kompetisi egoistis yang menyamar sebagai perjuangan.

Sosiolog Zygmunt Bauman pernah mengatakan, masyarakat modern kini bergerak dalam “cairnya” moralitas. Nilai dan norma tak lagi menjadi pijakan bersama, melainkan bergantung pada kepentingan pribadi. Hal ini membuat keadilan tak pernah menemukan bentuknya, karena kesadaran kolektif yang mendasarinya telah terkikis. Kita merasa berhak atas keadilan, tetapi enggan bersikap adil dalam kehidupan sehari-hari: dari membuang sampah sembarangan, menyuap untuk kemudahan birokrasi, hingga enggan mengantre.

Kita menyaksikan betapa keadilan hukum kerap dipertanyakan ketika pelanggaran dilakukan oleh mereka yang memiliki kuasa atau kekayaan. Namun apakah kita benar-benar menginginkan keadilan atau hanya keistimewaan dalam bentuk baru? Jika keadilan hanya kita tuntut ketika kita dirugikan, tetapi kita abaikan saat kita diuntungkan oleh ketidakadilan itu sendiri, maka sesungguhnya yang hilang dari kita bukan keadilan, melainkan kesadaran akan arti adil yang sebenarnya.

Laporan Transparency International tahun 2023 menyebutkan bahwa skor Indeks Persepsi Korupsi Indonesia masih stagnan di angka 34 dari 100. Ini menunjukkan bahwa meskipun ada peningkatan tuntutan terhadap keadilan, praktik korupsi—sebagai bentuk ketidakadilan paling nyata—masih dianggap lumrah di berbagai level. Hal ini tak akan berubah hanya dengan kebijakan dan hukuman. Ia perlu dimulai dari kesadaran yang tumbuh dari dalam, dari rumah, dari kelas-kelas sekolah, dari percakapan-percakapan sehari-hari.

Dalam studi neuropsikologi, kesadaran sosial adalah hasil dari empati dan refleksi diri yang dibangun secara bertahap. Sayangnya, pendidikan kita masih terlalu fokus pada aspek kognitif dan akademik. Sedikit ruang diberikan bagi anak-anak untuk belajar memahami perasaan orang lain, mengelola emosi, dan berpikir tentang konsekuensi sosial dari tindakannya. Padahal di situlah akar kesadaran moral dibentuk.

Kesadaran bukan pula sekadar mengetahui. Ia menuntut keberanian untuk mengubah. Kesadaran adalah kemampuan untuk menahan diri dari menyalahkan pihak lain sebelum bertanya: “Apa yang sudah saya lakukan untuk menjadi bagian dari solusi?” Tanpa itu, keadilan hanya akan menjadi mitos yang kita kejar tanpa pernah mencapainya.

Dalam filsafat Islam, kesadaran adalah ruh dari keadilan. Al-Ghazali menyebut keadilan (‘adl) sebagai hasil dari keseimbangan antara akal, nafsu, dan hati. Ketika seseorang mampu menyadari posisinya sebagai makhluk Tuhan, hamba sosial, dan individu yang bertanggung jawab, maka keadilan akan muncul sebagai konsekuensi alami, bukan sebagai paksaan eksternal.

Kita bisa belajar dari negara-negara dengan indeks kebahagiaan tinggi, seperti Finlandia atau Denmark. Di sana, keadilan sosial bukan hanya hasil dari regulasi pemerintah yang baik, tapi juga karena warganya memiliki kesadaran tinggi tentang pentingnya kepercayaan, keterbukaan, dan partisipasi aktif dalam kehidupan publik. Mereka tidak sekadar menuntut negara, tapi juga memulai dari diri sendiri.

Di titik ini, kita perlu merenung: seberapa sering kita bicara tentang keadilan, dan seberapa jarang kita bertanya tentang kesadaran kita sendiri? Dunia tidak berubah karena kemarahan, tetapi karena kesadaran. Kemarahan tanpa kesadaran hanya akan melahirkan dendam, bukan perubahan.

Maka, sebelum kita berteriak lebih keras tentang keadilan, mari kita lihat ke dalam: apakah kita sudah cukup sadar? Sadar bahwa menjadi adil berarti bersikap benar, bahkan ketika tidak ada yang melihat. Sadar bahwa menjadi adil berarti membela yang lemah, bukan hanya karena kita merasa senasib, tapi karena kita tahu bahwa hidup yang benar adalah hidup yang memperjuangkan kebaikan bersama.

Akhirnya, mungkin kita perlu berhenti sejenak dari sibuknya menuntut keadilan, dan mulai bertanya: sudahkah aku menjadi pribadi yang sadar? Sebab, dari kesadaran itulah keadilan sejati akan lahir.

Mataram, 24 April 2025
Al-Ghauts.

Jika anda menyukai konten berkualitas Suluh Pergerakan, mari sebarkan seluas-luasnya!
Ruang Digital Revolusioneir © 2024 by Suluh Pergerakan is licensed under CC BY-SA 4.0