
Indonesia pernah menyalakan harapan besar atas nama demokrasi. Di tahun-tahun awal reformasi, langit demokrasi kita begitu cerah. Rakyat berbondong-bondong datang ke tempat pemungutan suara bukan hanya untuk mencoblos, tetapi untuk menyampaikan suara hati dan menuntut masa depan yang lebih baik. Namun, sejak 2019, angin perubahan yang dahulu berembus segar itu mulai terasa pengap. Di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang semula dielu-elukan sebagai pemimpin rakyat, nilai-nilai demokrasi perlahan-lahan menguap. Dan kini, dengan terpilihnya Prabowo Subianto sebagai presiden 2024–2029, banyak pihak merasakan kecemasan yang lebih dalam: akankah demokrasi hanya menjadi panggung elit, sementara rakyat kian jauh dari panggung utama?
Tanda-tanda keretakan demokrasi mulai terasa sejak Pemilu 2019. Bukan hanya soal polarisasi yang begitu tajam hingga merobek kohesi sosial masyarakat, tetapi juga bagaimana kekuasaan mulai memperlihatkan giginya. Pembubaran diskusi, intimidasi terhadap aktivis, kriminalisasi tokoh oposisi, dan represi terhadap gerakan mahasiswa semakin kentara. Rakyat tak lagi bebas menyuarakan pendapat tanpa rasa takut. Demokrasi yang seharusnya menjamin kebebasan sipil justru menjadi alat untuk menyaring siapa yang boleh bersuara dan siapa yang harus bungkam.
Selain revisi UU KPK, yang menjadi pintu awal krisis kepercayaan publik terhadap komitmen negara pada demokrasi dan pemberantasan korupsi, gelombang legislasi kontroversial terus bergulir, seakan mengabaikan jeritan rakyat dan suara-suara kritis dari kampus, jalanan, dan ruang digital. Rezim Jokowi pada periode kedua tidak hanya menandai melemahnya lembaga-lembaga demokrasi, tetapi juga memperlihatkan pola sistematis dalam mendorong Undang-Undang bermasalah secara prosedural maupun substansi.
Setelah aksi besar “Reformasi Dikorupsi” tahun 2019, masyarakat sipil kembali terpukul dengan pembahasan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) yang sarat pasal-pasal bermasalah. Dari pasal penghinaan terhadap presiden, kriminalisasi unjuk rasa tanpa izin, hingga aturan moral privat yang menyeret urusan ranah personal ke dalam kontrol negara—semuanya mengancam kebebasan sipil dan kebebasan berekspresi. Meskipun sempat ditunda karena tekanan publik, RUU ini tetap disahkan pada akhir 2022 dengan hanya sedikit perubahan kosmetik. Publik pun merasa dipermainkan: didengar sejenak, lalu diabaikan.
Belum reda kekhawatiran terhadap RUU KUHP, pemerintah kembali meloloskan Undang-Undang Cipta Kerja atau Omnibus Law yang juga menimbulkan kegaduhan luar biasa. Dengan dalih kemudahan investasi dan penciptaan lapangan kerja, undang-undang ini justru merugikan buruh dan merusak lingkungan. Proses penyusunannya pun cacat: minim partisipasi publik, terburu-buru, dan versi dokumen yang beredar sering berubah-ubah. Aksi protes besar-besaran mewarnai jalanan di berbagai kota, namun kembali dibalas dengan represif. Puluhan aktivis ditangkap, sejumlah jurnalis yang meliput dipukul dan diintimidasi.
Kini, perhatian publik kembali diuji dengan munculnya RUU TNI 2025, yang membawa ancaman serius terhadap prinsip supremasi sipil. RUU ini memberi peluang perluasan peran militer ke ranah sipil secara legal, termasuk jabatan sipil strategis yang selama ini menjadi wewenang warga sipil. Para pengamat dan pegiat HAM memperingatkan, ini bisa membuka jalan kembalinya dwifungsi ABRI dalam wajah baru. Demokrasi yang sehat seharusnya menjaga batas jelas antara militer dan sipil, bukan mencairkannya demi kepentingan kekuasaan.
Tak hanya itu, sejumlah RUU lain yang sangat krusial sedang ditentang oleh para aktivis: RUU Penyiaran yang mengancam independensi pers dan kebebasan jurnalistik, RUU Kesehatan yang membuka privatisasi layanan publik dan melemahkan organisasi profesi, serta RUU Perampasan Aset yang justru belum disahkan meski sangat penting untuk pemberantasan korupsi.
Semua ini memperlihatkan betapa arah legislasi kita kian elitis dan tertutup. Prosedur demokrasi terus dijalankan, namun esensinya ditinggalkan. Suara rakyat dibungkam oleh dalih pembangunan dan stabilitas. Kita harus jujur: demokrasi kita sedang digiring menjadi demokrasi prosedural tanpa partisipasi sejati.
Fenomena itu memperlihatkan gejala yang disebut oleh ilmuwan politik Fareed Zakaria sebagai “illiberal democracy”—sebuah demokrasi prosedural yang tetap menjalankan pemilu, tetapi mengabaikan nilai-nilai dasar kebebasan sipil, hak asasi manusia, dan transparansi. Demokrasi menjadi kulit, sementara isinya penuh luka. Di bawah rezim Jokowi, praktik demokrasi liberal dikikis secara sistematis dengan dalih stabilitas, pembangunan, dan nasionalisme.
Ironisnya, kekuasaan yang semula hadir dengan citra “merakyat” justru menyisakan trauma bagi rakyat itu sendiri. Aktivis lingkungan dibungkam, masyarakat adat kehilangan tanahnya demi proyek-proyek infrastruktur, dan suara-suara kritis di media sosial dibungkam dengan pasal-pasal karet UU ITE. Menurut catatan SAFEnet, pelaporan terhadap warganet meningkat tajam sejak 2019, dengan tuduhan pencemaran nama baik atau penyebaran hoaks yang seringkali digunakan secara selektif. Demokrasi, yang seharusnya menjamin kebebasan berekspresi, justru digunakan untuk mengawasi dan menindas ekspresi.
Masuk ke tahun 2024, publik dikejutkan dengan langkah politik yang mencoreng etika demokrasi: pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden, yang dibukakan jalannya oleh putusan Mahkamah Konstitusi—lembaga yang ironisnya dipimpin oleh adik ipar Jokowi. Banyak akademisi menyebut ini sebagai bentuk nepotisme modern, The Economist bahkan menyebut Indonesia sedang berada di jalur kemunduran demokrasi. Ketika lembaga-lembaga tinggi negara tak lagi bisa menjaga netralitas, rakyat pun kehilangan harapan atas keadilan.
Kini, ketika Prabowo Subianto, mantan jenderal yang pernah dituding terlibat dalam penculikan aktivis, berada di tampuk kekuasaan tertinggi, bayangan represi semakin menguat. Meski tampil ramah dan populis dalam kampanye, jejak masa lalunya tetap menjadi kekhawatiran besar bagi para pegiat HAM. Tak sedikit yang khawatir bahwa era Prabowo akan menjadi era konsolidasi kekuasaan yang lebih otoriter, mengingat karakter kepemimpinan yang militeristik dan kedekatan dengan oligarki yang telah tumbuh subur selama masa Jokowi.
Dalam perspektif Larry Diamond, seorang pakar demokrasi dari Stanford University, demokrasi bisa mati bukan karena kudeta, tetapi karena pelemahan bertahap terhadap institusi demokrasi: pembungkaman media, kriminalisasi oposisi, dan kooptasi lembaga hukum. Jika melihat Indonesia hari ini, gejala-gejala itu sudah sangat nyata. Mahkamah Konstitusi tidak lagi dipercaya sepenuhnya, DPR kehilangan fungsinya sebagai pengawas, dan media massa yang kritis perlahan-lahan terpinggirkan.
Rakyat, yang seharusnya menjadi pilar utama demokrasi, justru menjadi korban dari sistem demokrasi yang berpihak pada penguasa. Dalam istilah Franz Magnis-Suseno, demokrasi tanpa etika akan menjelma menjadi tirani mayoritas atau kediktatoran prosedural. Maka ketika demokrasi tak lagi memperhatikan suara minoritas, ketika kritik dianggap ancaman, dan ketika kekuasaan membungkam nurani, sejatinya demokrasi itu telah mati—meski masih bernafas melalui pemilu dan lembaga formal lainnya.
Refleksi ini bukan semata-mata keluhan, melainkan alarm bagi kita semua. Bahwa demokrasi bukan sesuatu yang datang sekali dan bertahan selamanya. Ia perlu dirawat, diperjuangkan, bahkan dipertaruhkan. Jika tidak, maka yang tersisa hanyalah slogan-slogan demokrasi tanpa jiwa. Pemilu akan terus digelar, bendera partai akan terus berkibar, tetapi ruang kebebasan akan terus menyempit, dan hak-hak rakyat akan terus dikorbankan atas nama stabilitas dan kemajuan semu.
Harapan masih ada. Rakyat Indonesia telah berkali-kali membuktikan bahwa mereka tidak mudah ditundukkan. Aksi mahasiswa, kritik dari akademisi, gerakan rakyat sipil, dan perlawanan digital adalah bukti bahwa demokrasi sejati masih hidup dalam dada mereka yang merindukan keadilan. Kita tidak boleh lelah bersuara. Karena jika kita diam, maka penguasa akan terus merasa benar. Dan jika demokrasi hanya menjadi milik elit, maka diskriminasi akan menjadi nasib abadi bagi rakyat.
Di masa Jokowi dan menuju era Prabowo, kita dihadapkan pada pilihan penting: membiarkan demokrasi merosot menjadi sekadar prosedur, atau memperjuangkannya kembali sebagai rumah bersama yang adil, terbuka, dan setara. Karena sejarah tidak hanya akan mencatat siapa yang berkuasa, tetapi juga siapa yang berani melawan ketika suara rakyat dibungkam.
Mataram, 17 April 2025
*Anonim yang terdiskriminasi