
Oleh Joko Srowot
Di sebuah lahan kecil pinggiran Montevideo, seorang lelaki sepuh, berwajah keriput, dan baju kerja lusuh tampak menyiangi rumput liar sambil sesekali mengobrol dengan seekor anjing berkaki tiga. Menggenapi lahan kecil tersebut, berdiri sebuah rumah sederhana yang terkesan reyot. Namun demikian, lelaki itu bukanlah petani biasa, dan rumah reyot itu bukan sekadar gubuk tua. Ia adalah José Mujica—mantan presiden Uruguay yang pernah dijuluki “presiden termiskin di dunia.” Bisa jadi, di era modern hari ini dia adalah satu-satunya di dunia dan jenis terakhir dari kaumnya. Tapi ketahuilah, dalam banyak kesempatan, Mujica dengan tegas menolak disebut sebagai miskin. “Saya tidak miskin. Saya bukan orang miskin. Orang miskin adalah mereka yang membutuhkan terlalu banyak.”
MASA KECIL DAN API YANG MENYALA
Lahir pada 20 Mei 1935 dari keluarga sederhana, José Mujica tumbuh di tengah Uruguay yang sedang mencari jati dirinya. Ayahnya, Demetrio Terra, adalah seorang petani gurem keturunan Basque yang mengalami kebangkrutan dan meninggal saat Mujica berusia lima tahun. Ibunya, Lucy Cordano adalah imigran Italia yang berjuang sendirian membesarkan Mujica kecil bersama adik semata wayangnya, María Eudosia. Kehidupan mereka jauh dari kemewahan—ia merasakan langsung kerasnya hidup kaum tani dan orang-orang kecil di negeri yang konon demokratis, namun timpang dalam kenyataan. Kehidupan masa kecil yang penuh keterbatasan ini membentuk pandangan Mujica tentang pentingnya keadilan sosial dan empati terhadap sesama.
Api perlawanan mulai menyala di dalam diri Mujica sejak muda. Kemenangan revolusi Kuba dan pengaruh tokoh militan seperti Castro bersaudara, Che Guevara dan José Artigas telah membakar semangat perlawanan di dalam dirinya. Pada tahun 1960-an, ia mendirikan Tupamaros, sebuah kelompok gerilya berhaluan Marxis-Leninis. Gerakan bersenjata perkotaan ini tumbuh dengan keyakinan tunggal: memperjuangkan keadilan sosial dan distribusi kekayaan.
Selama tahun-tahun itu, Mujica menjalani kehidupan yang penuh keberanian. Penggemar puisi Mario Benedetti ini bukan tipe revolusioner romantik. Ia terjun langsung ke dalam aksi-aksi perampasan logistik milik korporasi besar dan membagikan hasil rampasannya kepada kaum miskin—aksi yang kelak dikenal sebagai “Robin Hood style”. Dan selayaknya nasib para gerilyawan kiri di seluruh penjuru bumi, Penguasa Militer Uruguay membalas aksi Tumaros tersebut dengan brutal. Mujica ditembak enam kali dalam sebuah penggerebekan, namun selamat secara ajaib.
Pada 1972, ia ditangkap dan dipenjara. Selama 13 tahun, Mujica mengalami penahanan yang nyaris tak bisa dibayangkan: dikurung di dalam sumur, disiksa secara psikologis, dipindahkan dari satu penjara ke penjara lain, dan mengalami isolasi yang begitu panjang hingga ia mulai berbicara dengan semut. “Saya sempat gila beberapa waktu,” tuturnya suatu hari. Namun, masa-masa sulit ini justru menjadi periode refleksi mendalam bagi dirinya. Ia merenungkan makna kehidupan, kekuasaan, dan pentingnya kebebasan sejati. Dalam 13 tahun isolasi absolut dan keterasingan mutlak, Mujica menemukan benih dari filosofi hidupnya yang kelak dikenal luas: “Kita tidak bisa membiarkan kebencian meracuni kita. Jika tidak, kita akan menjadi seperti mereka.”
PEMIMPIN YANG TIDAK BERUBAH
Setelah kediktatoran militer Uruguay runtuh pada 1985, Mujica dibebaskan melalui amnesti umum. Setelah keluar dari penjara, ia terjun ke dunia politik dan pada tahun 1989 mendirikan Movimiento de Participación Popular (MPP). MPP merupakan bagian penting dari koalisi kiri besar di Uruguay yang dikenal sebagai Frente Amplio, yang berperan besar dalam membawa suara kaum miskin, pekerja, dan rakyat kecil ke dalam sistem politik formal.
Tahun 1995 José Mujica terpilih menjadi anggota Kongres, dan kemudian menjadi menteri pertanian dalam pemerintahan sayap kiri pertama Uruguay. Namun yang membuat dunia tercengang adalah ketika mantan gerilyawan bersenjata tersebut terpilih sebagai Presiden Uruguay pada 2009.
Saat para pemimpin dunia lain hidup dalam istana megah, Mujica memilih meninggalkan istana kepresidenan dan tinggal di rumah tuanya di lahan pertanian. Ia menyumbangkan sekitar 90% gajinya untuk program-program sosial. Ia juga menolak pengawalan mewah, memilih mengendarai mobil Volkswagen Beetle tahun 1987, dan lebih suka bercocok tanam bersama istrinya, Lucía Topolansky, ketimbang menghadiri pesta kenegaraan.
Namun yang menjadikan Mujica istimewa bukan hanya gaya hidupnya, melainkan kebijakan-kebijakan progresif yang diambilnya selama lima tahun menjabat. Mujica mengawal transformasi negara kecil di Amerika Selatan ini menjadi salah satu negara demokrasi paling liberal secara sosial di dunia, serta menjadikan Uruguay sebagai pemimpin dalam energi alternatif. Di bawah kepemimpinannya, Uruguay menjadi negara pertama di dunia yang melegalkan ganja untuk kepentingan medis dan rekreasional. Kebijakan yang efektif menghantam kartel narkoba dan menurunkan kriminalitas. Ia juga mendorong legalisasi pernikahan sesama jenis, aborsi yang aman dan legal, dan program perumahan rakyat yang memberi tempat tinggal layak bagi tunawisma. Kebijakan-kebijakan ini mendapat pujian internasional dan menjadikan Uruguay sebagai salah satu negara paling progresif di kawasan Amerika Latin.
“Demokrasi bukan soal menang pemilu dan duduk di kursi empuk,” ucapnya suatu ketika. “Ini tentang melayani, tentang bagaimana kita membuat kehidupan rakyat menjadi lebih layak.”
TELADAN YANG LANGKA
Filosofi Mujica bersumber dari kesederhanaan dan pengalaman hidupnya yang keras. Dalam setiap pidatonya, ia selalu menekankan bahwa kebebasan sejati adalah tidak diperbudak oleh keinginan. Ia mengkritik konsumerisme modern yang menurutnya membuat manusia bekerja mati-matian hanya demi membeli hal-hal yang tidak benar-benar mereka butuhkan. Dalam pidatonya di hadapan PBB pada tahun 2013, Mujica menyampaikan pandangannya tentang konsumerisme dan kebahagiaan:
“Kita telah menciptakan masyarakat konsumsi yang terus-menerus mencari pertumbuhan ekonomi, tetapi kita lupa bahwa kebahagiaan sejati tidak datang dari memiliki lebih banyak, melainkan dari hidup secukupnya…. Ketika kamu membeli sesuatu, kamu tidak membayar dengan uang. Kamu membayar dengan waktu hidupmu. Waktu yang kamu korbankan untuk mendapatkan uang itu. Dan satu-satunya hal yang tidak bisa kamu beli adalah kehidupan.”
Mujica adalah anomali radikal dalam politik global. Ia tidak pernah memperkaya diri, tidak membangun dinasti politik, tidak tergoda oleh kekuasaan. Saat masa jabatannya habis, ia menolak untuk mencalonkan diri lagi meski peluang terbuka lebar. Ia kembali ke ladangnya, menanam dan berjualan bunga bersama istrinya, merawat Manuela, anjingnya yang berkaki tiga, dan sesekali memberikan kuliah atau wawancara—selalu dengan pesan yang sama: “Kita terlalu fokus untuk mengejar kekayaan dan bukan pada kebahagiaan. Kita hanya fokus pada melakukan sesuatu dan – sebelum kita menyadarinya – hidup telah berlalu begitu saja.”
Di tengah dunia yang dipenuhi korupsi, populisme palsu, dan politisi bermulut manis, Mujica menjadi cermin langka dari integritas dan ketulusan. Ia bukan tanpa cela—beberapa kebijakannya dikritik, dan masa lalunya sebagai gerilyawan tidak disukai semua orang. Namun tak satu pun bisa menyangkal: ia tidak pernah berhenti berjuang demi orang miskin, yang tertindas, yang tak bersuara.
Pada April 2024, Mujica mengumumkan bahwa ia didiagnosis menderita kanker esofagus. Meskipun menjalani perawatan, kondisi kesehatannya terus memburuk, dan pada Januari 2025, ia memutuskan untuk menghentikan pengobatan dan fokus pada perawatan paliatif. Ia tidak suka membesar-besarkan rasa sakit. Dalam satu wawancara terakhir, ketika ditanya apa yang paling ia sesali, ia menjawab sambil tersenyum: “Saya menyesal tidak mencium ibu saya lebih sering.”
Tadi malam, Jose Mujica, petani bunga dari pinggiran Montevido itu telah menghembuskan nafas terakhirnya. Pejuang agung yang telah menjadi mitos dan simbol integritas serta keadilan sosial telah pergi untuk selamanya.
Kematiannya memicu gelombang duka dan penghormatan dari berbagai penjuru dunia. Presiden Uruguay saat ini, Yamandú Orsi, menyatakan bahwa negara akan berkabung selama tiga hari untuk menghormati jasa-jasa Mujica. Pemimpin-pemimpin dunia, termasuk Evo Morales, Gabriel Boric, Cristina Fernández de Kirchner, Gustavo Petro, Claudia Sheinbaum, dan Pedro Sánchez, menyampaikan belasungkawa dan rasa kehilangan yang mendalam.
Kepergiannya adalah kehilangan besar bagi perjuangan rakyat Amerika Latin dan juga keberlanjutan cita-cita revolusi Simon Bolivar. Namun kisah hidupnya akan selalu dikenang dan diteladani sebagaimana jalan hidup para nabi.
Buena suerte hasta la eternidad, amigo… **