
Awal Mula Perjuangan Pakel
Selepas rampung berdoa bersama, petani Pakel bersantai sambil mengobrol bersama dengan para kawan-kawan solidaritas yang hadir. seraya mengobrol, kami ditunjukkan museum yang dibuat oleh para petani Pakel untuk mengenang sejarah panjang perjuangan mereka.
Berjalan kurang lebih seratus meter dari posko, di dekat terminal tempat pemberangkatan tadi, di sebelah kanan jalan dari arah masuk ke posko, terdapat sebuah rumah berwarna putih yang dulunya adalah hunian pegawai perkebunan PT Bumi Sari. Setelah kosong selama kurang lebih empat tahun, hingga para warga berhasil merebut kembali lahan mereka. Rumah itu diubah menjadi museum oleh para petani sebagai sebuah memorabilia perjuangan di Pakel.
Dinding rumah yang dulunya berwarna putih, kini diselimuti lumut berwarna kehijauan, seolah-olah alam berusaha memeluk kembali bangunan itu, yang terus tergerus oleh waktu. Tanaman liar bagaikan jari-jari hijau merambat masuk melalui celah-celah di setiap sudut rumah itu. Mengklaim kembali ruangan yang pernah menjadi saksi bisu perjuangan para petani di sana yang terus berupaya untuk merawat ingatan.
Jendela-jendela menganga tanpa kaca, membingkai pemandangan ladang jagung yang membentang. Angin sepoi berhembus masuk dengan leluasa. Atap yang kini berlubang-lubang, tak lagi mampu melindungi isi rumah itu sepenuhnya. membuat air hujan dan panas matahari leluasa menembus masuk ke dalamnya.
Setiap dinding dipenuhi foto-foto dan juga pesan-pesan dari leluhur Pakel yang begitu menggambarkan kisah perjuangan: wajah-wajah penuh tekad, tangan-tangan yang pernah mengelola tanah dengan penuh harap. Di salah satu dinding di tengah rumah, sebuah garis waktu terpapar, menandai tahun demi tahun kisah para petani di desa Pakel. dimulai dari masa-masa sulit, hingga momen kemenangan-kemenangan kecil, setiap titik dalam garis itu menyimpan cerita, tawa dan air mata.
***
Kisah ini bermula di tahun 1925, ketika harapan tumbuh bersama benih yang ditanam di tanah impian. Para petani Sumberejo Pakel, dengan tangan yang kasar oleh kerja keras, menulis permohonan kepada pemerintah kota Banyuwangi. Mereka memohon hak yang sederhana namun fundamental: untuk mengolah tanah, menumbuhkan kehidupan dari bumi yang gersang.
Empat musim berlalu, dan pada 11 Januari 1929, ‘Soe-rat Idin Memboeka Tanah’ akhirnya lahir, membawa harapan baru bagi ribuan jiwa yang lapar akan keadilan. Namun, tak lama berselang, awan gelap mulai bergulung di atas Pakel. Kecaman datang bagai badai, menghantam mimpi para petani yang baru saja bertunas.
Keputusan ini ternyata mengundang kecaman dari berbagai pihak, mulai dari residen Besuki hingga aparat pemerintah kolonial lainnya. Alasannya? Wilayah hutan tersebut telah direncanakan untuk perluasan perkebunan kolonial dan pemukiman pegawai Indo-Belanda. Akibatnya, 170 petani ditangkap, menandai awal dari perjuangan panjang yang akan berlangsung selama beberapa generasi.
Tahun-tahun berikutnya menjadi saksi perjuangan tanpa henti. Ditandai oleh penangkapan, persidangan, dan perjuangan yang tak kunjung usai. Para petani Pakel terus berjuang, menghadapi berbagai rintangan, dari larangan menggarap tanah hingga perampokan surat-surat penting mereka. Bahkan ketika Indonesia telah merdeka, perjuangan mereka belum berakhir. Namun, seperti padi yang tetap tumbuh meski terinjak, semangat para petani tak pernah padam.
Petani Pakel Mulai mengambil langkah aksi secara langsung pada tahun 1993 di tanah yang sedang diperjuangkan yang dipimpin oleh Muhammad Slamet. Ia adalah seorang guru agama yang pernah menjabat sebagai lurah Pakel, menjadi mercusuar harapan bagi para petani. Namun, takdir perjuangan tak selalu manis.
Suatu hari di tahun 2000, ketika mentari belum sepenuhnya membelah kabut pagi, sekelompok aparat mendatangi kediaman Slamet. Mereka menyeret sang pemimpin rakyat, meninggalkan isak tangis keluarga dan gemuruh amarah warga yang tak berdaya. Slamet, yang telah dua kali merasakan dinginnya jeruji besi, kembali harus berhadapan dengan kegelapan penjara. Dua belas bulan lamanya ia harus berpisah dari tanah yang ia perjuangkan, dari udara kebebasan yang selama ini ia hirup.
Namun, perjuangan Pakel tak berhenti dengan ditangkapnya sang pemimpin. Api semangat terus menyala, bahkan ketika angin keputusasaan berusaha memadamkannya. Tahun berganti tahun, dan perlawanan terus berlanjut, meski harus dibayar dengan darah dan air mata.
Hingga akhirnya Slamet dibebaskan pada 13 Agustus 2001. Kemudian ia kembali memimpin deklarasi berdirinya rukun Tani dengan tujuan: keadilan, kesederhanaan, kejujuran, bertanggung jawab, kesamarataan tanpa pandang bulu. Organisasi tersebut mencatat pada tahun setelahnya telah beranggotakan sejumlah sekitar 400 petani dari 10 desa di Banyuwangi
Pada tahun-tahun berikutnya semangat perjuangan petani Pakel semakin membara. Mereka melakukan reclaiming atas tanah yang dikuasai Perhutani, mendapat dukungan dari akademisi dan lembaga bantuan hukum. Namun, perlawanan dari pihak yang berkuasa juga semakin keras.
Puncaknya terjadi pada 17 Agustus 2000, tepat di hari peringatan kemerdekaan Indonesia. Hari yang seharusnya penuh suka cita kemerdekaan, berubah menjadi mimpi buruk. Matahari belum lama terbit ketika derum mesin Brimob memecah kesunyian desa. Tiba-tiba, udara dipenuhi teriakan dan dentuman tembakan. Pasukan Brimob menyerbu desa, pintu-pintu didobrak tanpa ampun. Warga ditembaki dengan beringas. Para lelaki, dari yang muda hingga renta, diseret keluar bagai ternak ke dalam truk-truk baja. Darah mengalir, meresap ke dalam tanah yang selama ini mereka perjuangkan.
Desa Pakel, dalam sekejap mata, berubah menjadi “Desa Janda”, air mata para perempuan mengalir deras bagai sungai kesedihan yang tak berujung. Peristiwa ini dikenang sebagai “Tragedi Desa Janda”, meninggalkan luka mendalam bagi warga Pakel. Rumah-rumah yang dulunya penuh tawa kini dipenuhi isak tangis.
Lalu tibalah hari itu, 3 Februari 2023. Senja belum lagi turun ketika tiga sosok petani Pakel – Suwarno, Untung, dan Mulyadi ditangkap. Mereka digiring paksa ke dalam mobil, dibawa entah ke mana dalam kegelapan malam. Baru pada subuh hari berikutnya, ketiga pejuang tanah itu tiba di gedung Polda Jawa Timur, Surabaya. Tiga nama ini, yang tadinya hanya dikenal sebagai petani biasa, kini menjadi simbol perlawanan Pakel yang tak kunjung padam.
Hingga secercah harapan akhirnya menyingsing. Pada 23 April 2024, Mahkamah Agung, dalam kebijaksanaannya, mengabulkan permohonan kasasi warga Pakel. Suwarno dan Untung, dua dari tiga pejuang tanah itu, akhirnya bisa menghirup udara kebebasan
Namun, kegembiraan itu belum sempurna. Mulyadi, sang pejuang ketiga, masih harus menunggu. Statusnya masih dalam putusan, nasibnya masih menggantung. Hingga satu bulan lebih menanti kepastian, akhirnya Mahkamah Agung turut membebaskan Mulyadi pada 14 Mei 2024. Ini menjadi bukti bahwa perjuangan mereka tidak sia-sia.
Namun, kebebasan tiga petani Pakel tersebut hanya kegembiraan sesaat. Pada Senin, 10 juni 2024 salah satu petani ditangkap lalu ditahan oleh kepolisian. Muhriyono ditetapkan sebagai tersangka dengan pasal pengeroyokan.
Beberapa bulan sebelum putusan Mahkamah Agung keluar. Hampir setiap bulan di tahun ini para petani selalu mendapatkan teror dan juga kriminalisasi. Disuatu malam, kegelapan seolah menelan Pakel. Namun, di kejauhan, titik-titik api mulai bermunculan. Tapi itu bukan obor penerangan, melainkan kobaran api yang melahap mushola, tempat suci dimana doa-doa dipanjatkan untuk masa depan yang lebih baik, telah hangus terbakar.
Dapur komunal, tempat di mana solidaritas dirajut bersama aroma masakan sederhana, kini hanya tinggal puing dan abu. Pohon-pohon durian dan kopi yang telah bertahun-tahun dirawat, tumbang satu per satu, mengerang dalam keheningan malam. Asap mengepul ke langit, membawa bersama mereka mimpi-mimpi yang nyaris terwujud.
Namun, seperti benih yang tetap tumbuh di antara puing-puing, semangat Pakel tak pernah mati. Mereka bangkit kembali, membangun kembali apa yang telah dihancurkan. Setiap pukulan yang mereka terima hanya membuat tekad mereka semakin kuat.
Api kemarahan menyala di mata para petani. Mereka bangkit. Organisasi petani terus diperkuat. Mereka terus melakukan reklaim, menghadapi berbagai bentuk intimidasi dan kekerasan. Bahkan hingga hari ini perjuangan masih berlanjut. menyuarakan perjuangan mereka lebih keras dari sebelumnya. Namun, perlawanan yang mereka hadapi semakin ganas.
***
Kini, ketika senja turun di Pakel, bayangan panjang ladang jagung seolah membisikkan kisah perjuangan yang tak kunjung usai. Rumah tua itu, meski kini berlumut dan berlubang, tetap berdiri tegak. Air hujan yang merembes masuk seolah membersihkan luka lama, sementara foto-foto usang di dinding menjadi pengingat bahwa perjuangan mereka bukan hanya tentang tanah, tapi tentang martabat, keadilan, dan hak untuk bermimpi.
setelah malam panjang jalan 15 km
Di bawah langit Pakel yang kini dihiasi bintang-bintang harapan, warga berkumpul. Mereka merayakan bahwa Pakel, dengan segala lukanya, akan terus berdiri tegak, menantang badai ketidakadilan yang mungkin masih akan datang.