Tanah Merah Pakel: Menuturkan Satu Abad Perjuangan Petani Sumberejo Pakel

Penulis: Olivia
(Social Movement Institute)

Jalanan begitu terjal. Dari ketinggian, jalanan itu bagaikan ular raksasa yang meliuk-liuk di antara lembah dan bukit. Aspal yang gelap terlihat begitu kontras dengan dengan lahan sawah di bawahnya. lekukan-lekukan tajam menantang di setiap belokan bak menguji nyali setiap pengendara yang melewatinya. saat mobil melesat naik saat tanjakan, lalu seketika menukik turun, bak menguji nyali setiap orang yang pertama kali mengunjungi jalan itu.

Delapan belas kilometer berlalu bersama kelokan jalan dan hembusan angin kencang yang menerpa wajah dengan matahari bersinar dengan ganas di atas sana, namun kehadirannya berhasil ditutupi rimbunnya pohon-pohon sepanjang jalan. Pepohonan yang menjulang tinggi, terlihat tampak kecil dari jalan, membuat perjalanan selama tiga puluh lima menit itu terbayarkan.

Saat tiba di rumah salah satu warga, terlihat ramai para kawan-kawan solidaritas yang berjejer bak ikan pindang tertidur di ruang tamu beralaskan karpet. Saat itu sekitar jam tujuh pagi, mereka masih tertidur pulas setelah semalaman menuntaskan acara. 

Acara hari terakhir akan dimulai pada pukul sembilan pagi. Masih ada sedikit waktu untuk kami beristirahat setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih sebelas jam di kereta. Pemilik rumah memberikan selimut kepada kami. di sini dingin dan kami pun tertidur. 

Saat terbangun, terlihat sepasang suami istri sedang mengobrol di dapur sambil menyantap pisang goreng. Harun bersama dengan istrinya duduk di kursi kayu tua sambil menunggu para tamu di rumah mereka terbangun, lalu menawarkan mereka untuk sarapan. 

Kami bersiap untuk menuju lokasi acara. Dengan menumpang kepada warga menggunakan motor, kami pun berangkat menuju posko (sebutan warga untuk lokasi acara)

Aroma kopi semerbak tercium sepanjang jalan saat motor menuju lokasi acara, petani di sana menjemur biji kopi di pinggir jalan saat matahari sedang panas-panasnya memanggang desa itu. Ada biji kopi yang dijemur tepat di atas aspal, dan dibiarkan terlindas oleh ban kendaraan yang melaju. Warga yang kami tumpangi menjelaskan, bahwa kopi tersebut memang sengaja diletakkan di jalan agar dilindas oleh kendaraan yang lewat, karena untuk mengupas kulit biji kopi secara manual, akan memerlukan banyak waktu, dan lebih lebih mudah jika dilindas oleh pengendara yang lewat. 

Satu dua warga terlihat meratakan biji kopi di atas terpal biru sambil melihat-lihat langit yang dari kejauhan terlihat semakin gelap. Menandakan hujan sudah dekat. 

Sesaat ketika tiba di posko, sekumpulan ibu-ibu berkerumun di sebuah bangunan kayu yang digunakan sebagai mushola oleh petani. Para ibu-ibu begitu semangat menyapa setiap tamu yang baru datang, dan langsung menawari mereka untuk makan terlebih dahulu sebelum acara dimulai. Di samping mushola ada sebuah dapur, beberapa ibu-ibu terlihat sibuk memasak dan menyiapkan makanan di sana. 

Sebuah panggung yang terbangun dari susunan bambu, berdiri kokoh di tengah-tengah lahan jagung yang sedang berbuah. Di samping panggung, ditempel poster-poster penuh kalimat-kalimat perjuangan. 

Salah satu poster bertuliskan, 

“TANAH PAKEL DAN KESUBURAN YANG TERKANDUNG DI DALAMNYA DIMILIKI OLEH RAKYAT DAN DIPERGUNAKAN UNTUK SEBESAR-BESARNYA KEMAKMURAN RAKYAT” 

Beberapa saat kemudian, acara pun dimulai. melalui pengeras suara, para warga diarahkan untuk menuju terminal Pakel. Dari sana, para petani sambil membawa bendera berwarna hijau terang dengan logo rukun tani Sumberejo Pakel beramai-ramai berjalan menuju titik awal keberangkatan. Tiba di terminal Pakel, para petani diberi pembatas bambu agar tidak melewatinya. Para petani berkumpul di belakang pembatas itu sambil menunggu aba-aba untuk berjalan ke posko. Tidak sabaran, para ibu-ibu yang berada di barisan terdepan berteriak,

“BUKA, BUKA, BUKAA….”

Hingga akhirnya aba-aba untuk berjalan dilontarkan, para petani dengan sigap menyingkirkan pembatas bambu, lalu berjalan bersama menuju posko sambil berseru-seru.

Setiba di posko, para petani berkumpul di depan teratak untuk berdoa. Doa bersama ini, dipimpin oleh Suwarno. lelaki paruh baya yang biasa dipanggil pak Wo ini adalah kepala dusun Durenan, yang pada tahun lalu bersama dua orang petani lainnya sempat mendapatkan kriminalisasi karena memperjuangkan hak tanah petani Pakel. 

Sambil menadahkan tangan, para petani berdoa bersama untuk menolak balak dan ritual sebelum masuk menyusuri lahan. 

Jika anda menyukai konten berkualitas Suluh Pergerakan, mari sebarkan seluas-luasnya!
Ruang Digital Revolusioneir © 2024 by Suluh Pergerakan is licensed under CC BY-SA 4.0