oleh: Zain N. Haiqal
Pendahuluan
Mengutip sedikit artikel bertajuk Civilization of The Renaissance In Italy yang ditulis oleh Jacob Burkhardt, dimana peradaban dibagi dalam bentuk tiga babak struktur sejarah; peradaban zaman kuno, zaman kegelapan, dan zaman modern. Ini menandakan janji yang diciptakan pada era awal indsustrialisasi, dalam gagasan sejarah, yang menjanjikan bahwa masa lalu menceritakan kemajuan manusia yang memberi kesan bahwa masa depan akan membawa kemajuan atas dorongan gagasan era industri. Apakah itu hanyalah intrik dari keyakinan teguh berbalut ‘porses progresif’ atas dasar kehidupan khalayak, sehingga tak akan terlewat oleh siapapun yang masih memiliki panca indra.
Memasuki abad ke-21, kita manusia tengah menghadapi sebuah kondisi getir dalam menentukan pilihan penting untuk membangun masa depan peradaban manusia. Sehingga sedikit saja keputusan salah dibuat hari ini, maka akan berdampak pada kehancuran peradaban di masa mendatang. Namun jikalau pilihan ditentukan dengan tepat maka kesempatan untuk memberikan peluang atas kelangsungan hidup agar lebih baik akan terbuka lebar untuk manusia juga seluruh makhluk hidup yang ada di Bumi. Tantangan ini hadir dalam berbagai wacana kaum muda dalam membuat keputusan mendalam pada pilihan penting jangka panjang.
Kesempatan dalam membuat keputusan penting sudah seharusnya hadir pada setiap diskursus yang kaum muda rencanakan meliputi aspek ’tidak merusak’ dan ‘penjagaan’ terhadap lingkungan atau setiap acara yang digandrungi oleh banyak kaum muda. Hal ini sudah sepatutnya untuk mewacanakannya dalam wawasan dan pendahuluan pada keberlangsungan lingkungan hidup. Tidak peduli menempuh pendidikan linear yang berkaitan dengan lingkungan hidup atau tidak, terpelajar atau tidak, bekerja maupun pengangguran. Meski persoalan lapangan kerja tidak pernah terselesaikan. Bagi kaum muda sejatinya harus sadar bahwa kita sedang berjalan pada Bumi yang tua dan sekarat. Dengan bencana yang mengintai kapanpun dan dimanapun. Tak mengenal kondisi dan status sosial anda. Bahkan status pendidikan anda. Serta acaman ketersiksaan pada pangan dan kematian yang melekat leher anda sebagai kaum muda. Lagi pula membuat keputusan jangka panjang merupakan itikad berpikir panjang dan mendalam untuk menjaga masa depan, masa kini dan belajar mengemati masa lalu.
Membingkai Keterlibatan Kaum Muda
Memang, perubahan zaman telah mengantar banyak kaum muda menjadi begitu pragmatis dan mendramatisir perasaan. Kaum muda dilanda badai berupa mental pasrah dan pandemi fluktuatif gagasan dan martabatnya. Apalagi dalam menentukan tindakan yang tepat dan bermuara pada penjagaan dan pemulihan lingkungan. Kata yang sangat tepat untuk merangkumnya ialah ‘’malas’’. Kaum muda menjadi sangat malas untuk terlibat lebih jauh dalam proposinya penyelamatan lingkungan. Padahal masalah besar akan menimpa didepan mata anda; bencana lingkungan hidup hadir yang dapat anda rasakan dimana-mana.
Di banyak kota besar khususnya di Indonesia, bagi mereka yang mendapatkan kesempatan menganyam pendidikan layak seminimal mungkin mempunyai gelar sarjana, namun faktanya banyak kaum muda bergelar sarjana tidak memiliki visi panjang terhadap lingkungan mereka sendiri. Mereka tidak ada kehendak dalam mendorong dirinya untuk berjuang di garda paling depan dalam basis-basis penyelamatan dan mengurai permasalahan lingkungan yang tengah memasuki fase kritis ini. Pembuktian sederhana dengan banyaknya bencana ekologis yang kita dapat saksikan bersama dengan banyaknya headline kerusakan lingkungan hidup di media mainstream yang di konsumsi.
Sebagai kaum muda, kini kita tidak perlu berharap banyak pada generasi tua, jawabannya memberotak pada generasi tua yang kolot dan konservatif dalam memandang pengelolaan lingkungan hidup. Dapat dibayangkan kerusakan lingkungan hidup yang ada berasal dari dominasi yang mengakar manusia atas alam yang dilakukan para generasi pendahulu. Meskipun saya tidak mengatakan semua generasi pendahulu sangatlah merusak. Namun generasi-generasi yang sering diperbincangkan secara historis sejatinya telah gagal.
Kaum Muda Tercekik Janji Mewah
Beberapa waktu lalu selepas pandemi, saat itu memang belum mereda. Ditengah masa sulit dana bansos dikorupsi oleh Menteri Sosial Julihari Batubara, alokasi tidak jelas dan pembagian pada bentuk pangan mentah yang seharusnya dapat membantu untuk penguatan hidup ditengah badai pandemi menjadi sangat memilukan. Dosa yang harusnya tercatat dan tidak boleh dilupakan oleh generasi selanjutnya tentang bengisnya rezim pemerintah disaat pandemi berlangsung. Pemerintah Indonesia saat itu mengasosiasikan program peningkatan pasokan pangan nasional yang dikenal sebagai food estate. Program ini kemudian ditetapkan sebagai salah satu Program Strategis Nasional melalui Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional. Namun, implementasi kebijakan ini akan memperburuk kehilangan tutupan hutan yang dapat menyebabkan percepatan perubahan iklim. Food estate diklaim sebagai konsep pengembangan pangan yang mengaksentuasikan pertanian, perkebunan, dan peternakan di area yang sangat besar. Namun fakta-nya food estate bukan hal baru di Indonesia, beberapa program serupa telah diterapkan sebelumnya, yaitu Proyek Pengembangan Gambut (PLG) di Kalimantan Tengah tahun 1995 hingga 1999, Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) di Kabupaten Merauke, Papua tahun 2010, dan Delta Kayan Food Estate di Kabupaten Bulungan, Kalimantan Timur di tahun 2011. Namun, proyek-proyek ini semuanya gagal dan tidak dapat memenuhi harapan masyarakat kala itu. Tidak hanya gagal dalam produksi, proyek-proyek food estate ini juga meninggalkan dampak destruktif pada lingkungan. Penghancuran lahan gambut di area bekas PLG menyebabkan kebakaran gambut terburuk yang pernah tercatat di Indonesia yang terjadi pada tahun 1997 lalu yang berakhir pada konsesi lahan pada perusahaan ekstraksi lingkungan.
Selanjutnya kecohan yang dilakukan pemerintah untuk mendukung implementasi program food estate baru ini melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia (KLHK RI) melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 24 Tahun 2020 tentang Penyediaan Kawasan Hutan untuk Pengembangan Food Estate (PermenLHK 24/2020) memberikan legalisasi penggunaan lahan hutan untuk program food estate, termasuk hutan lindung. Legalisasi ini diperkuat oleh Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan yang mengatur penggunaan hutan lindung untuk pengembangan food estate dengan mekanisme Penggunaan Kawasan Hutan untuk tujuan pembangunan di luar kegiatan kehutanan.
Ada beberapa alasan mengapa food estate menarik banyak minat pemerintah dan pihak swasta untuk mengandrunginya. Pertama, harga tanah sejatinya tidak bergerak searah dengan harga komoditas lain sehingga akan memberikan peluang pada investor bukan terhadap pada kepentingan masyarakat. Kedua, sektor finansial akibat pangan yang terus menaik sejalan dengan besarnya permintaan terhadap pasokan pangan. Ini dibuktikan pada bertambahnya populasi, degradasi hutan, dan industrialisasi bidang pangan. Ketiga, fakta bahwa pertanian tengah menjadi komditas urusan politik juga bisnis yang sangat mengiurkan para pemodal. Ini terjadi akibat adanya hedge fund pada pendanaan awal modal pembangunan sektor pertanian yang sangat melimpah.
Food Estate Menjelma Fucked Estate
Pertama-tama, program food estate berakibat konversi lahan yang luas, termasuk hutan dan lahan gambut, menjadi area pertanian skala besar. Tindakan ini menyebabkan hilangnya habitat alami bagi banyak spesies flora dan fauna. Serta merusak ekosistem yang berharga. Kaum muda sebagai agen perubahan masa depan harus memahami bahwa kerusakan lingkungan ini tidak terelakkan dan berdampak jangka panjang terhadap kehidupannya dan generasi mendatang. Ketergantungan pada lumbung pangan yang memutuskan banyak harapan pertanian keluarga maupun lokal.
Bisa dikatakan proyek baru food estate ini merupakan salah satu bencana lingkungan terbesar dalam sejarah Indonesia. Karena proses pembersihan lahan yang dilakukan dalam program food estate seringkali menggunakan metode pembakaran. Praktik ini tidak hanya meningkatkan risiko kebakaran hutan dan lahan, tetapi juga menghasilkan emisi gas rumah kaca yang merusak lingkungan dan menyumbang pada perubahan iklim global. Kaum muda harus menyadari bahwa mereka memiliki kepentingan langsung dalam menjaga keseimbangan ekologis dan melindungi bumi kita dari kerusakan yang lebih lanjut. Selanjutnya, program food estate juga rentan terhadap korupsi, pemborosan sumber daya alam, dan ketimpangan sosial. Dana yang dialokasikan untuk program ini seringkali tidak tepat sasaran dan dimanfaatkan oleh pihak-pihak kurang ajar yang tidak bertanggung jawab, meninggalkan petani lokal dan masyarakat adat dalam kondisi ekonomi yang lebih buruk. Legalisasi pemanfaatan hutan lindung untuk proyek food estate di Indonesia bertentangan dengan norma dan kontribusi terhadap perubahan iklim, sehingga menghambat komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dari sektor kehutanan pada tahun 2030. Secara normatif, sebagai landasan hukum pengesahan tersebut, PermenLHK 24/2020 menimbulkan konflik kepentingan. norma dengan peraturan terkait yang hierarkinya lebih tinggi, serta menimbulkan sejumlah peraturan perundang-undangan ketidakpastian. Terkait dengan lingkungan hidup, pemanfaatan hutan lindung akan membuka peluang untuk melakukan hal tersebut. Maka bisa kita pahami bahwa food estate sebenarnya menjelma menjadi fucked estate.
Cipta Kerja atau Cipta Celaka
Saat peraturan ini disahkan dengan segala kemustahilannya, hantu UU Cipta Kerja dapat dirasakan dimana-mana dampaknya dengan segara. Terkhusus pada sektor lingkungan hidup dan kaum muda. Saat regulasi mulai disederhanakan untuk kepentingan kelompok elit pemerintah dan pemodal dengan dalih jasa lingkungan bertajuk; pertambangan, perkebunan, dan pemanfaatan kawasan hutan. Ini dibuktikan dengan terdapatnya klausul peraturan pada beberapa pasal yang dipandang mereka bernilai strategis namun sangat bengis. Tentunya kaum muda tidak dapat berbuat apa-apa. Perubahan fungsi dari nilai nilai leluhur hutan, untuk memuaskan ego pembangunan dengan mengacak-acak fungsi pokok kawasan hutan itu sendiri sehingga memuluskan program food estate ini. Regulasi cacat dapat direnungkan pada Permen LHK 24/2020 atau P.24 yang berimplikasi pada; pertama, dipermudahnya peruntukan kawasan hutan secara birokratis dengan adanya penghematan waktu pada pemberian status kawasan hutan dalam pengubahan statusnya. Kedua, alasan legal irasional yang menitik beratkan kawasan hutan sebagai lokasi proyek tanpa proses analisa mendalam sehingga dapat mengkontruksi kawasan hutan ter-deforestasi secara brutal. Ketiga, kepemilikan lahan yang tak jelas diarea food estate, meski klaim kepemilikan sepenuhnya diklaim atas milik negara. Belum lagi landasan induk pada masterplan yang cacat aspek lingkungan hidup dan kajian akademis dengan ketidak jelasaan penggunaan teknologinya dan masalah pada pembiayaan.
Manuver revolusioner yang dilakukan rezim pemerintahan Jokowi pada swasembada pangan bertajuk fucked estate ini berbuah kegagalan. Kunci dari fucked estate untuk menyelamatkan pangan bukan tertuju pada ketahanan pangan nasional namun kepentingan politiknya. Itu semua hanya intrik. Lahan digagas untuk dibuka, digarap untuk tanaman alternatif berupa kebun Jagung namun ditanam mengguankan poly bag. Ini saja sudah aneh.
Dengan menjadikan pangan sebagai komoditas semata, maka yang diuntungkan adalah industri yang terlibat investasi karena dapat menangguk keuntungan finansial secara maksimal. Kajian Forest and Finance terhadap ratusan perusahaan dan lembaga keuangan menemukan bahwa aliran kredit dengan total mencapai US$ 258,156 juta dollar di periode 2016 hingga 2021, mendarat di kantong perusahaan-perusahaan besar. Pemerintah sungguh menerapkan jalan pintas dalam bentuk food estate, ini bukan tanpa masalah dan tidak akan pernah jadi jalan keluar dari problem mengenai ancaman krisis pangan di Indonesia. Sebaliknya, proyek raksasa seperti food estate hanya akan melahirkan lebih banyak problem turunan yang akan berdampak luas secara sosial, ekonomi, kultural dan ekologis. Selain ancaman deforestasi Food Estate juga sudah berkali-kali terbukti gagal dan merupakan pemborosan anggaran publik. Ditambah lagi dengan domino konflik tenurial serta pelanggaran terhadap hak-hak Masyarakat Adat dan komunitas lokal yang bergantung pada hutan sebagai sumber kehidupan, termasuk pangan. Food estate merupakan tindakan yang tidak bijak di tengah masih lemahnya pengakuan Negara atas tanah dan hutan adat, serta akan menjadi catatan baru episode gelap bagi Masyarakat Adat di tengah lambatnya pengesahan RUU Masyarakat Adat. Padahal faktanya sekalipun, makanan di meja makan kita saat itu merupakan hasil produksi dari tangan petani berbasis kelompok atau keluarga, bukan korporasi besar yang menguasai lahan sangat luas.
Dalam menghadapi tantangan ini, kaum muda memang memiliki peranan penting dalam membangun kesadaran akan dampak negatif program fucked estate ini, terhadap masa depan lingkungan hidup. Kaum muda dapat terlibat dalam kampanye penyuluhan, aksi advokasi, dan kegiatan komunitas lokal secara kolektif dengan tujuan untuk meningkatkan pemahaman dan partisipasi publik dalam pengambilan keputusan terkait sektor pangan dan masa depannya. Jika tidak banyak berbenah maka kaum muda akan dilanda penyesalan yang sangat tragis dan memilukan dalam jangka panjang.
Sebagai penutup, benar dengan apa yang terjadi akibat fucked estate ini seperti yang dikatakan Gandhi, ia berkata ‘’bahwa dunia ini sebenarnya cukup untuk semua manusia, namun ada segelintir manusia yang tidak akan pernah merasa cukup’’.
Ilustrasi: A nutshell