Jalan Panjang Menyusuri Lahan
Setelah selesai mengunjungi museum, dan kembali ke posko, awan gelap perlahan menyelimuti langit. Tak lama kemudian hujan turun, orang-orang bergegas mencari tempat untuk berteduh.
Semakin lama, air yang turun semakin deras, hujan baru reda setelah sekitar dua jam mengguyur lahan para petani. Ketika hujan akhirnya reda, meninggalkan aroma tanah basah yang menyeruak, warga mulai bersiap.
Senja merambat perlahan, berubah menjadi gelap disusul lantunan adzan magrib yang bergema. Di bawah langit malam Pakel yang berbintang, sebuah ritual perjuangan yang telah berlangsung selama empat tahun kembali dimulai. Usai shalat Isya dari berbagai penjuru, warga berdatangan, tangan-tangan mereka menggenggam obor bambu yang ujungnya disematkan serabut kelapa, basah oleh minyak tanah yang siap menyala.
di musholla posko, kini dipenuhi suara-suara lembut namun penuh tekad. Lantunan sholawat dan doa-doa mengalun, seolah membelah kegelapan malam dengan cahaya harapan.
Tepat pukul 19.00, satu per satu obor mulai dinyalakan. Lima belas menit kemudian, setelah bacaan Al-Fatihah yang khusyuk membuka acara, rombongan petani Pakel mulai bergerak. Dari anak-anak, hingga para sesepuh, mereka berjalan bersama.
Dimulai dari jalan utama yang familiar, rombongan bergerak diiringi sholawat. Namun, tak lama kemudian, mereka mulai memasuki area sawah. Di sini, jalan berpaving menjadi saksi langkah-langkah mantap para pejuang tanah. Puluhan obor di barisan depan menciptakan pemandangan magis, bagai kawanan kunang-kunang raksasa yang menari-nari di kegelapan malam. Sementara itu, di atas sana, bintang-bintang seolah mengedip dan menyinari perjalanan mereka malam itu.
Tiga puluh menit pertama menjadi ujian bagi mereka yang tidak terbiasa. Jalur terjal dengan tanjakan tajam dan turunan curam mulai menguras tenaga. Nafas mulai terengah. Namun, ini hanyalah permulaan. Memasuki hutan, suasana mulai berubah. Pohon-pohon mahoni menjulang tinggi, cabang-cabangnya berderit lirih tertiup angin malam. Sementara aroma tanah basah dan minyak tanah bercampur di udara.
Tantangan semakin berat. Kaki-kaki yang lelah kini harus berjuang melawan tanah becek yang berbatu dan licin. Obor-obor di depan menjadi penerang utama, sementara mereka yang berada di belakang hanya mengandalkan cahaya bulan yang samar-samar dan senter seadanya.
Satu jam berlalu, setelah melewati setengah perjalanan, rombongan berhenti sejenak. Adzan dikumandangkan, dilanjutkan dengan doa-doa. Merasakan kelegaan sebentar, kaki-kaki bisa beristirahat sebentar. Hingga ketenangan pasca adzan segera terpecah oleh sebuah ledakan yang memekakkan telinga. tak hanya satu kali, ledakan itu terjadi kembali beberapa detik setelah ledakan pertama. Ledakan itu, seperti yang dijelaskan warga, adalah pengingat akan perjuangan berdarah yang pernah mereka alami.
Perjalanan berlanjut. Hingga akhirnya, rombongan tiba di jalan yang lebih rata, tepat di samping kantor PT Bumi Sari. Teriakan “Obber! Obber!” (Bakar! Bakar!) dan “Penghianat masyarakat!” bersahut-sahutan. Ledakan kembali terdengar, kali ini bukan sebagai kenangan masa lalu, tapi sebagai peringatan keras bagi mereka yang telah mengambil hak-hak petani Pakel.
Di tengah kelelahan, tawa dan canda para warga tetap mengalir. Mereka saling menguatkan, saling mengingatkan akan kubangan air atau batu licin di jalan. Dalam setiap langkah, dalam setiap bantuan kecil yang mereka berikan satu sama lain, tergambar esensi perjuangan mereka: kebersamaan dan solidaritas yang tak tergoyahkan.
Setelah dua jam perjalanan yang melelahkan, menempuh jarak sepanjang 15 kilometer, mereka akhirnya tiba kembali ke posko. Mereka telah menyelesaikan ritual yang bukan sekadar berjalan, tapi juga perjalanan melintasi waktu, mengingat kembali setiap detail perjuangan mereka. Namun, dibalik langkah-langkah mereka, tersimpan makna yang jauh lebih dalam. Setiap fase perjalanan adalah cermin dari panjangnya perjuangan mereka. Awal perjalanan yang terjal, dengan tanah berbatu dan licin, menggambarkan rintangan berat yang mereka hadapi saat pertama kali mengangkat suara, menuntut hak atas tanah leluhur. Setiap batu yang mereka pijak seolah mewakili satu hari penuh pergumulan melawan ketidakadilan.
Namun, malam belum berakhir. Layar besar telah disiapkan, dan mereka duduk bersama, menyaksikan rekaman video perjuangan mereka selama bertahun-tahun.
Perjalanan ini, dengan segala simbolismenya, menjadi pengingat bahwa perjuangan mereka, seperti ritual tahunan ini, harus terus berlanjut. Bahwa setiap tanjakan yang mereka daki, setiap ledakan yang mengejutkan mereka, dan setiap jalan datar yang akhirnya bisa mereka nikmati, adalah bagian tak terpisahkan dari narasi besar perjuangan mereka.
Ilustrasi: A nutshell
Jika anda menyukai konten berkualitas Suluh Pergerakan, mari sebarkan seluas-luasnya!