Menggugat Eksistensi UU Otsus di Tanah Papua; Demi Kesejahteraan atau Meredam Tuntutan Kemerdekaan?

Penulis : Yoseph Aintebo
(Mahasiswa Pendidikan Ekonomi Universitas Sanata Dharma)

Identitas Papua

Papua merupakan sebuah bangsa beradab yang berada di ujung timur negara Indonesia. Papua sebagai bangsa beradab tentu sejak dahulu telah memiliki identitas kehidupannya tersendiri seperti budaya, bahasa, suku, ras, adat istiadat dan bahkan sejarah peradabannya. Secara kultural Papua memiliki tujuh wilayah adat besar, yakni Mamta, Saireri, Domberai, Bomberai, Anim Ha, La Pago, Mee Pago. Secara faktual dan administratif, Papua merupakan bagian dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang saat ini memiliki enam Provinsi, yaitu Provinsi Papua, Papua Barat, Papua Tengah, Papua Pegunungan, Papua Selatan, dan Papua Barat Daya. 

Pepera 1969 Sebagai Akar Persoalan di Papua

Papua secara resmi dan konstitusional terintegrasi ke dalam NKRI melalui peristiwa bersejarah yaitu Pepera atau Penentuan Pendapat Rakyat pada tahun 1969 yang diselenggarakan dengan penuh ketidakadilan karena terjadinya pelanggaran terhadap hak asasi manusia seperti adanya tindakan intimidasi, kekerasan, pembantaian, pembunuhan, dan pembungkaman terhadap hak-hak demokrasi masyarakat asli Papua oleh ABRI (TNI). Peristiwa Pepera adalah sebuah politik penggabungan yang melanggar hak asasi manusia, tidak demokratis, cacat secara hukum, dan melawan hukum internasional serta sebagai sebuah rekayasa politik yang sangat mencederai moral, karena terjadinya proses pengintegrasian tanah dan masyarakat Papua secara paksa dan represif untuk masuk sebagai bagian dari wilayah NKRI. 

Peristiwa peintegrasian secara “paksa” terhadap seluruh masyarakat Papua untuk bergabung ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui peristiwa Pepera 1969 menjadi cikal bakal atau awal mula lahirnya berbagai masalah konflik vertikal dan horizontal yang berkepanjangan di tanah Papua. Proses pengintegrasian secara paksa oleh ABRI telah melahirkan kesadaran komunal masyarakat Papua untuk melawan eksistensi Negara Indonesia dan sekaligus perjuangan terhadap identitas sebagai bangsa yang sudah merdeka. Kemudian lahirlah ideologi Papua Merdeka yang menstimulus masifnya perjuangan untuk mendirikan negara sendiri yang terafiliasi dalam Organisasi Papua Merdeka atau yang sering disebut OPM. OPM merupakan sebuah wadah perjuangan dan perlawanan terhadap eksistensi NKRI sebagai kolonial atau penjajah. Bentrokan ideologi pun masif terjadi antara antara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat yang disingkat TPNPB melawan TNI-POLRI yang mengakibatkan banyak penembakan dan pembunuhan terhadap masyarakat Papua maupun TNI-POLRI di berbagai daerah. Berbagai masalah dan konflik pun terus secara masif terjadi seperti tindakan kekerasan aparat TNI-POLRI terhadap masyarakat Papua, masalah kemiskinan, kebodohan, pembangunan dan kesejahteraan bagi masyarakat Papua. Akumulasi berbagai masalah ini bagaikan bara api panas yang kian membara dan tak pernah padam yang terus membakar habis ekosistem kehidupan orang Papua. Berbagai upaya penyelesaian telah dilakukan oleh pemerintah Negara Indonesia terutama dalam memberangus ideologi “Papua merdeka”  yang tertanam dan tumbuh dalam benak pikiran dan hati orang Papua, namun faktanya hingga saat ini berbagai cara itupun sepenuhnya tidak berhasil.  

Meneroka Motif Utama Lahirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus di Papua

Undang-Undang Otonomi Khusus secara prinsipil dan substantif merupakan pelimpahan hak dan wewenang oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam hal ini pemerintah Provinsi Papua untuk mengatur dan mengurusi rumah tangga pemerintahannya secara sendiri dan mandiri. Harapan nya demi bisa terwujudnya pemerataan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan di tanah Papua. UU Otonomi Khusus bukan sebuah hadiah yang jatuh dari langit begitu saja, melainkan adanya faktor penyebab atau tendensi politis tertentu melatarbelakanginya, yakni dengan tujuan untuk meredam, mengelabui, dan bahkan menghilangkan rasa nasionalisme masyarakat Papua dan perjuangan politik Papua Merdeka yang secara masif dan terang-terangan diperjuangkan oleh berbagai masyarakat di Papua.  

Secara historis UU Otsus lahir ketika pada tanggal 26 Februari 1999 Tim 100 mewakili bangsa West Papua secara martabat dan terhormat menyampaikan kepada Prof. Dr. B.J. Habibie, Presiden Republik Indonesia di Istana Merdeka: “ Bahwa permasalahan mendasar yang menimbulkan ketidakstabilan politik dan keamanan di Papua Barat (Irian Jaya)  sejak 1963 sampai sekarang ini, bukan semata-mata karena masalah kesejahteraan dan kegagalan pembangunan, melainkan status politik Papua Barat yang pada tanggal 1 Desember 1961 telah dinyatakan sebagai sebuah Negara Merdeka di antara bangsa-bangsa di muka bumi, oleh sebab itu dengan jujur kami menyatakan kepada Presiden Republik Indonesia, bahwa tidak ada alternatif lain untuk merundingkan atau mempertimbangkan keinginan Pemerintah Indonesia guna membangun Papua dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Maka kepada Presiden Republik Indonesia, kami bangsa Papua Barat menyatakan bahwa bangsa Papua Barat ingin berkehendak keluar dari Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk merdeka dan berdaulat penuh diantara bangsa-bangsa lain di bumi.” Dikutip dari buku: Otonomi Khusus Papua Telah Gagal: Yoman, 2012, hal. 30. Yang diulas ulang dalam bukunya: Melawan Rasisme dan Stigma Di Tanah Papua, Kumpulan Catatan Seorang Gembala: Yoman, 2020, hal. 56-57.  

Fakta historis membuktikan bahwasanya lahirnya UU Otsus di Papua bukan karena ikhtiar baik dari Pemerintah Indonesia untuk kesejahteraan dan pemerataan pembangunan bagi kehidupan masyarakat Papua dengan cara pelimpahan wewenang dan kekuasaan kepada masyarakat Papua untuk mengatur dan mengurusi rumah tangganya secara mandiri. Namun, eksistensi UU Otsus hadir karena adanya tendensi atau kepentingan politik Pemerintah Indonesia. Singkatnya UU Otsus hanyalah iming-iming politik yang dibalut dan dibungkus dengan mitos kesejahteraan dan pemerataan pembangunan yang dirancang oleh para kolonial modern “Indonesia “ demi mempertahankan Papua agar tetap berada dalam pangkuan NKRI. 

Berdasarkan ulasan kritis yang secara gamblang dan eksplisit telah disajikan di atas, maka hemat penulis dapat dikonklusikan bahwasanya eksistensi UU Otsus yang lahir di Bumi Cendrawasih bukanlah dewa penyelamat yang membawa secercah sinar yang memancarkan harapan, sukacita dan  kebahagiaan. Menghadirkan kesejahteraan dan pemerataan pembangunan. Mengobati luka dan derita serta menghapus air mata dan darah tak berdosa yang tumpah selama ini akibat ditembak, dibantai, dan dibunuh layaknya binatang selama 64 tahun lamanya di atas tanah leluhur sendiri oleh aparat TNI-POLRI. 

Senada dengan hal ini, penulis sepakat dengan apa yang ditulis oleh Pendeta Dr. Socratez Sofyan Yoman, Presiden Persekutuan Gereja-Gereja Baptis Papua, dalam bukunya yang bertajuk: Melawan Rasisme Dan Stigma Di Tanah Papua, Kumpulan Catatan Seorang Gembala  hal. 55-58, dengan secara gamblang dan eksplisit mengeksplanasikan bahwa proses lahirnya UU Otonomi Khusus 2001 adalah sebuah alat bargaining atau tawar-menawar politik Papua Merdeka dengan Indonesia bukan untuk tujuan pembangunan atau kesejahteraan masyarakat Papua. 


Ilustrasi: A nutshell

Jika anda menyukai konten berkualitas Suluh Pergerakan, mari sebarkan seluas-luasnya!

Jika anda menyukai konten berkualitas Suluh Pergerakan, mari sebarkan seluas-luasnya!
Ruang Digital Revolusioneir © 2024 by Suluh Pergerakan is licensed under CC BY-SA 4.0