oleh: Han Revanda Putra
Tak seperti kedua rivalnya, Prabowo Subianto tampak tak perlu bersusah payah menggelar diskusi terbuka bergaya town hall, tempat semua orang bisa bertanya apa saja kepadanya. Bila kubu pertama memiliki Desak Anies, dan kubu lain belakangan menggelar Tabrak, Prof, tak satu pun acara serupa pernah menempatkan Prabowo atau wakilnya, Gibran Rakabuming Raka, secara konsisten dalam panggung serupa. Satu-satunya acara tempat banyak orang berkumpul mendesak Prabowo adalah aksi setiap Kamis sore di depan Istana Negara, sejak Januari 2007. Itu pun, bekas Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus (Kopassus) tak pernah hadir. Ia hanya muncul dalam ujud spanduk yang dibentangkan Ibu Sumarsih dkk.–dengan atribusi terduga pelaku penculikan aktivis 1998.
Kita bisa mengasumsikan Prabowo menanggung dosa-dosa masa silam yang belum terjawab. Atau, dari sejumlah kesempatan berdialog dengan warga, ia tampak emosional serta tak bisa menjaga tensi suaranya ketika menjawab pertanyaan yang menyudutkan atau meragukan gagasannya. Namun, saya kira ada alasan lain Ketua Umum Partai Gerindra itu, atau timnya, merasa tak perlu bersusah payah mengadakan dialog terbuka, bahkan di depan pendukungnya. Selain ceruk suara yang disasar dari acara-acara itu terlampau kecil—paling banyak hanya akan menjangkau kelompok kelas menengah terdidik—mereka memiliki alat kampanye yang jauh lebih efektif untuk menyisir lebih banyak suara. Ihwal suara itu berasal dari kelompok pendidikan yang lebih rendah, tak menjadi soal. Alat kampanye itu bernama Presiden Joko Widodo atau Jokowi.
Manipulasi yang Sampai
Selama masa kampanye Pemilu Presiden (Pilpres 2024), Jokowi gencar mengampanyekan pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut dua. Tentu saja kampanye itu tak disampaikan secara langsung. Kendati sempat menyatakan, secara salah kaprah, presiden boleh berkampanye, dia tampaknya tak seceroboh itu melepas akses terhadap kekuasaan untuk turun ke bawah, menghadiri deklarasi dukungan, atau membagikan susu di acara car free day (CFD). Dengan aksesnya terhadap kekuasaan, Presiden memilih bermain di wilayah abu-abu. Ia menyampaikan dukungan melalui gestur dan program kerja (bantuan sosial atau bansos) yang bisa ditafsirkan beraneka rupa. Lihat saja, selama enam bulan terakhir, secara berkala, foto pertemuan pribadi Jokowi dan Prabowo tiba-tiba mencuat di media. Apa yang dibicarakan dan dalam kedudukan apa, tak penting benar. Di depan khalayak, Presiden berpidato, menyampaikan ciri-ciri pemimpin. Salah satunya, dan ini paling penting, adalah mampu menjaga keberlanjutan pembangunan.
Gayung bersambut, dalam setiap kampanyenya, Prabowo tampak hanya ingin menyampaikan satu pesan: ia ahli waris yang sah dari pemerintahan Jokowi. Tak jelas dan tak penting benar, apa substansi dari “keberlanjutan pembangunan” itu. Yang pokok, konstituen membayangkan spirit Jokowi berlanjut dalam lima tahun mendatang. Prabowo tampak tak pernah menjelaskan secara spesifik gagasan Indonesia macam apa yang ia ingin ujudkan. Ia selalu bersembunyi di balik slogan-slogan “keberlanjutan pembangunan”, “Indonesia Emas”, atau “penerus Jokowi”. Kita pun tak diyakinkan apakah ia memahami indikator ketercapaian, seumpama ada, visi Indonesia Emas itu atau tidak. Satu-satunya penjelasan yang kita dapatkan adalah: ia ingin meningkatkan sebanyak mungkin penerimaan negara melalui hilirisasi, lalu membangun sebanyak mungkin sekolah dan rumah sakit, meningkatkan sebanyak mungkin gaji buruh, tentara, dan pegawai negeri—dengan sedikit improvisasi makan siang gratis.
Di luar melanjutkan pembangunan infrastruktur melalui jalur hilirisasi, junjungan koalisi yang beranggotakan segudang politisi cum pengusaha itu hanya menjanjikan cita-cita abstrak “memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya”,”menghilangkah kemiskinan”, “buruh tak hanya makan gaji UMR”, dan seterusnya. Meski Prabowo memiliki visi-misi yang ia namakan Asta Cita, ia nyaris tak pernah menjelaskan melalui bibirnya sendiri visi-misi itu. Namun, apakah penjelasan itu diperlukan? Di bawah, pemaknaan soal “keberlanjutan pembangunan” nyaris tak digubris sama sekali. Ketika saya ngobrol dengan sejumlah pendukung Prabowo, mereka mengira keberlanjutan menandai berakhirnya era pembangunan infrastruktur dan dimulainya pembangunan manusia. Sejumlah pendukung yang lain tak mengindahkan sama sekali. Mereka memilih Prabowo semata karena populer, dipersepsikan ikhlas dan menggemaskan—serta ikut Jokowi. “Keberlanjutan pembangunan” lebih tampak menyerupai manipulasi politik ketimbang gagasan terukur dan terstruktur. Sayangnya, dengan dukungan Jokowi, manipulasi itu jauh lebih efektif menyentuh masysarakat ketimbang berlelah-lelah mengadakan diskusi dan mencari solusi bersama atas permasalahan negeri—apa pula tanpa “uang transportasi”.
Mukjizat Lampu Aladin
Situasi ini mengingatkan saya pada situasi serupa pada masa Revolusi, tiga perempat abad silam. Soe Hok Gie merekam dalam skripsinya, “Simpang Kiri dari Sebuah Jalan: Kisah Pemberontakan Madiun September 1948” yang kemudian dibukukan di bawah judul Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan, melalui Revolusi, orang-orang membayangkan pamong praja menjadi pamong rakyat, mesin adalah “anak Allah”, hingga teknik dapat menyelesaikan segala persoalan. Dalam suasana ini, tulisnya, kita dapat melihat titik-titik persamaan antara ide muluk-muluk yang tidak realistis dengan ide-ide tentang penyusunan tentara yang “super” modern, terdiri dari berpuluh-puluh jenderal, berlusin-lusin laksamana laut dan udara dengan divisi-divisi yang lengkap di atas kertas. Menurut Soe Hok Gie, konsep-konsep itu tidak lahir semata karena kebodohan, tetapi idealiasi Revolusi sebagai lampu Aladin, suatu pandangan “religio-magis” kala itu.
Sepintas, ide-ide tentang “keberlanjutan pembangunan” memiliki kemiripan dengan harapan-harapan irasional masa Revolusi. Bayangkan janji Prabowo memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya, tanpa pernah menjelaskan caranya secara mendetail kecuali menaikkan gaji pejabat. Atau janji lain membangun ratusan fakultas kedokteran baru, yang belakangan banyak dipertanyakan praktisi di bidang pendidikan kesehatan. Atau janji menghilangkan kemiskinan sampai angka nol. Bila dirunut, daftar janji-janji bombastis itu masih panjang lagi. Tak lupa janji-janji seputar Ibu Kota Nusantara (IKN): taksi terbang, tiang listrik penjawab arah, dan seterusnya. Janji-janji terakhir kebanyakan disampaikan oleh Otorita IKN—Prabowo kerap menghindari hal detail, tapi ia berjanji melanjutkannya.
Gagasan hilirisasi sebagai kunci menuju Indonesia maju tampak serupa dengan mimpi kalangan kiri pada masa Revolusi bahwa teknik akan dapat menjawab semua permasalahan. Pada 1947, Barisan Tani Indonesia (BTI) membuat rencana dua tahun untuk memodernisasi alat-alat pertanian. Mereka percaya setelah dua tahun, semua akan menjadi beres dan baik. Alih-alih menjadi gagasan yang menjelaskan indikator masyarakat macam apa yang hendak dibangun beserta cara mencapainya, ia“keberlanjutan pembangunan” lebih menyerupai lampu Aladin tempat semua orang menitipkan harapan. Semua imajinasi yang tampaknya bagus dan baik, tanpa skala prioritas yang memadai, dititipkan begitu saja kepada lampu Aladin itu. Sikap itu kemudian mengubur ekses-ekses negatif yang selama ini muncul dari pembangunan selama sepuluh tahun ke belekang.
Bahaya-bahaya yang terabaikan
Revolusi tak selamanya mulus. Glorifikasi tentangnya justru meninggalkan kenyataan kebutuhan mendasar masyarakat tak serta-merta terpenuhi pasca-Kemerdekaan. Mimpi muluk-muluk tanpa disertai pembacaan kebutuhan, peta jalan terperinci, dan kemampuan manajemen yang baik ternyata hanya menyisakan imajinasi hampa. Begitu pula, kita perlu berhati-hati dengan “keberlanjutan pembangunan”. Selama ini, Prabowo menyatakan akan melanjutkan yang baik dan menyempurnakan yang kurang dari pemerintahan Jokowi. Namun, ia tak pernah tegas menyampaikan apa saja hal-hal yang kurang itu. Padahal, di balik pembangunan yang hendak dilanjutkan itu, ada segudang permasalahan yang mendesak diselesaikan.
Kita ambil contoh pertama: pembangunan infrastruktur. Dalam hal ini, Proyek Strategis Nasional (PSN) dan IKN. Di balik hiruk-pikuk pembangunan itu, tersisa perampasan ruang hidup warga dan masyarakat adat. Sepanjang 2020-2023, Komisi Pembaruan Agraria (KPA) mencatat 115 konflik akibat PSN. Konflik di sektor ini juga berdampak pada kurang lebih 516 ribu hektare lahan. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mencatat angka lebih besar: pemerintah telah merampas 8,5 juta hektare wilayah adat dalam satu dekade belakangan. Tak hanya itu, 678 orang anggota masyarakat adat mengalami kriminalisasi dan kekerasan. Kenyataan itu diperparah dengan RUU Masyarakat Adat yang tak kunjung disahkan.
Adapun IKN, yang digembar-gemborkan sebagai simbol pemerataan pembangunan (mengapa pula pemerataan memerlukan simbol tunggal?) rupanya meninggalkan banyak belang dalam praktiknya. Selain deforestasi masif yang, menurut citra satelit NASA, mencapai 2.464 hektare sepanjang 2022–2024, banyak warga setempat merasa tertipu dengan proyek ambisus itu. Warga semula mendukung karena akan ada pembangunan besar-besaran di wilayah mereka. Jauh panggang dari apa: sejumlah warga Sepaku justru dipaksa merobohkan rumah mereka karena melanggar RTRW. Perintah itu akhirnya dibatalkan setelag menuai banyak kritik. Warga juga dipaksa merelakan kebun pisang mereka untuk pembangunan jalan tol.
Hilirisasi juga bukan tanpa masalah. Greenpeace Indonesia mencatat per September 2023, ada 362 izin pertambangan nikel dengan luas 933.727 hektare. Di berbagai lokasi di seluruh Indonesia, hilirisasi telah mendorong deforestasi seluas 116.942 hektare. Eksploitasi nikel juga telah mencemari laut dan udara. Menurut Greenpeace Indonesia, rencana pembangunan 53 PLTU captive batu bara yang akan menambah beban daya sebesar 14,4 GW–sebagian besar di antaranya untuk smelter nikel–jelas akan meningkatkan emisi dan pencemaran udara. Penambangan dan pengolahan nikel juga mengakibatkan sebanyak 882 ribu ton limbah berbahaya mencemari Pulau Obi. Tak lupa, di balik glorifikasinya, hilirisasi telah menelan korban. Ledakan tungkul smelter di Morowali, Sulawesi Tengah, awal tahun ini telah menewaskan 21 orang pekerja.
Terakhir, komitmen untuk memberantas korupsi. Sungguh ironis, mengingat dalam lima tahun ke belakang telah terjadi pelemahan Korupsi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara masif. Apa yang hendak dilanjutkan dari komisi anirasuah yang memproses kasus pimpinannnya sendiri, pun secara lamban? Sayangnya, Prabowo nyaris tak menawarkan satu pun terobosan mengatasi permasalahan ini. Orang justru curiga, koalisinya merupakan suaka bagi mereka yang terlibat atau berpotensi memiliki kasus yang terendus oleh KPK. Dengan begitu, ucapan “memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya” sama saja kosong. Bila terpilih, Prabowo tak bisa hanya menaikkan gaji pejabat untuk mengatasi korupsi. Sebab, mereka yang bergelimang harta justru banyak terlibat skandal-skandal besar. Kita bisa bicara pemberantasan korupsi hanya dengan prasyarat: pemerintah kembali memperkuat KPK sehingga berani memproses kasus tanpa tebang pilih.
Jangan terbius lampu Aladin
Mereka yang mengusung, mendukung, dan mempercayai “keberlanjutan pembangunan” harus pula tak menutup mata terhadap sederet permasalahan yang selama ini diciptakan oleh pemerintahan Jokowi. Para elite harus menjawab muara “keberlanjutan pembangunan”: apa indikator-indikatornya, apakah sesuai dengan kebutuhan masyarakat—alih-alih mengumbar janji-janji bombastis yang semata bertujuan mereguk suara. Seolah-olah, semua hal baik tentang Indonesia masa depan ada di balik slogan itu. Mereka harus jujur, tak semua permasalahan akan selesai hanya dengan hilirisasi atau makan siang gratis. “Keberlanjutan pembangunan”, selama ini, dijadikan semacam suaka bagi mimpi-mimpi indah tentang masa depan. Padahal yang kita perlukan bukan mukjizat, melainkan kepemimpinan yang mampu mengukur cita-cita secara rasional dan mau mendengarkan.
Ilutrasi: A nutshell