Peran Kaum Intelek: Adu Jotos di Wilayah yang Kental Dengan Budaya Politik Pragmatis
Pada Minggu-minggu lalu, saya mendapatkan kesempatan untuk mendatangi kecamatan Majenang, yang ternaungi oleh kota bernama Cilacap. Jika kita melihat situasi di Majenang, yang kerap terdominasi oleh wacana kanan, rasa-rasanya cukup naif jika kita mengasumsikan sebagian besar masyarakat paham akan konsep hegemoni. Oleh karena itu, peran intelektual sangatlah diperlukan di daerah lain yang kondisinya kurang lebih serupa.
Kerja-kerja kontra hegemoni terhadap nilai-nilai kontra progresif dalam konteks emansipasi, perlu gencar dilakukan. Sebab, kaum intelek bukanlah posisi yang mudah untuk dijemput oleh masyarakat di pedesaan. Mengingat biaya pendidikan yang tingginya nyaris seleher, tentu membuat sesak masyarakat miskin yang jumlahnya sangat banyak untuk mengakses pendidikan. Maka, privilese mendapatkan pendidikan yang tinggi haruslah dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk kepentingan emansipasi.
Penulis sangat heran terhadap mereka yang mendaku diri progresif namun malah memberikan respons yang cukup dangkal dalam menanggapi fenomena budaya pragmatis yang terjadi di daerah. Respons yang seharusnya timbul ialah rasa malu, oleh sebab, fenomena tesebut membuktikan bahwa kerja-kerja kontra hegemoni masih minim ketersebarannya.
Menurut penulis, selain pengorganisiran ditujukan kepada kawan-kawan yang tengah sepaham atau yang sempat bercipika-cipiki dengan ideologi-ideologi perlawanan, pengorganisiran di daerah yang lekat dengan budaya politik pragmatis pun perlu dijadikan sebagai tantangan yang serius. Tentunya, kesuburan politik pragmatis itu dapat kita anggap sebagai petanda dari suksesnya penghegemonian yang dilakukan oleh penguasa. Maka dari itu, jika salah satu benteng hegemoni yang dianggap kokoh itu dapat dirobohkan, dan kita bisa mengendus celah kerapuhannya, maka kita bisa turut membidani format atau strategi kontra hegemoni yang ampuh dari sana.
Kuatnya wacana dominan di suatu tempat tertentu, tidak dapat secara tunggal ditafsirkan pada kesimpulan semakin kokohnya benteng hegemoni tersebut. Sekuat apapun hegemoni yang ditanamkan, pasti tetap memiliki suatu celah. Dalam penderitaan-penderitaan masyarakat yang kerap terakumulasi dalam jangka waktu panjang, hal tersebut dapat memicu kobaran api yang besar, jika dipantik dengan kadar api yang tepat. Sepasif-pasifnya ajaran agama yang kerap dibuat tunggal tafsirannya pada anjuran untuk berpasrah tangan, tidak akan menutup fakta tentang corak perlawanan yang lekat membungkus sejarah-sejarah manusia yang diteladankan oleh agama, yakni teladan para nabi. Hal-hal semacam itu kiranya perlu dideteksi dengan cermat, untuk digunakan sebagai senjata kontra hegemoni.
Pembacaan situasi kondisi dan keseriusan dalam melakukan perlawanan merupakan paket primer untuk meraih apa yang kita sebut sebagai kemenangan. Gandhi, Zapatista, Cuba, Movement Seem Tera (MST) Brazil, Gerakan Demokrasi Korsel, Revolusi Penguin di Chile, dan lain-lain. Merupakan contoh dari banyaknya gerakan yang dapat dikatakan berhasil.
Barangkali, kalimat “Jawa adalah koentji” yang dipopularkan oleh Aidit, essensinya bukan hanya terletak pada pengagungan wilayah Jawa. Menurut saya yang penting ialah lebih pada mengapa Jawa itu dapat disimpulkan sebagai kunci (analisis), Bagaimana mendapatkan kunci tersebut (pengorganisiran), dan terakhir bagaimana cara memfungsikannya (taktik, aksi, dan lain-lain). Dekonstruksi atas pemaknaan dari kalimat Aidit ini kiranya menjadi penutup atas tulisan ini.
Penulis: Mahameru SDW
Ilutrasi: Hisam