Memahami dan Menampar Budaya Politik Pragmatis

Individu merupakan efek kekuasaan, atau tepatnya sesuatu yang membuatnya menjadi perangkat, sehingga pada waktu bersamaan ia menjadi unsur artikulasinya. Ketika kekuasaan telah mengonstitusikannya, pada saat itu pula individu menjadi kendaraan kekuasaan

– Michel Foucault

Kabar mengenai lekatnya keterlibatan masyarakat pada perhelatan politik pragmatis di banyak daerah, seolah menjadi bising yang kian terbanalkan. Tentu, kabar demikian masuk pada deretan kabar buruk untuk laju kembang gerakan sosial bernafaskan oposisi. Sebab, fenomena tersebut merupakan petanda dari kuatnya hegemoni penguasa. Menjadi penting rasanya untuk lebih mengencangkan kerja-kerja kontra hegemoni, agar wacana politik pragmatis yang kadung mapan itu dapat dihempaskan ke pinggiran. Namun, ironisnya beberapa aktivis ada yang memilih untuk memberikan respons tidak mengenakkan terhadap fenomena tersebut. Beberapa di antara mereka memilih untuk mengolok-ngolok dengan topik memperbandingkan antar daerah satu sama lain. Pendek kata, respons mereka sangatlah jauh dari motif reflektif untuk kepentingan gerakan ke depan.

Respons-respons semacam itu, menurut penulis, berangkat dari minimnya pertimbangan etis, serta dangkal dalam proses analisis. Sebab, jika mereka menggunakan analisis dan pertimbangan etis yang serius, maka respons-respons kontra progresif semacam itu seharusnya tidak terlontar di lisan mereka.

Berangkat dari keheranan dua fenomena tersebutlah tulisan ini terajut. Tentu, baiknya, ketidaksetujuan terhadap respons-respons tersebut perlu dijawab dengan upaya analisis, agar dimensi perdebatan tidaklah terhenti pada saling mendemonisasi satu sama lain.

Semoga tulisan ini dapat menjadi bagian dari ragam sajian dalam upaya memahami proses tumbuh suburnya budaya politik pragmatis di daerah-daerah tertentu.

Secuplik Peta Wacana Kiri

Circle kiri-kirian, kiranya cukup erat dalam perdebatan yang berkenaan dengan perubahan sosial. Marx & Engels, misalnya,  dengan berontologikan Materialisme Dialektika Historis (MDH) dalam memandang laju gerak dunia. Dia percaya bahwa manusia bergerak ke depan dalam suatu perubahan, dan perubahan itu didasari oleh pertarungan kelas, yang dilandasi oleh perhelatan ekonomi. Proses perubahan itu ditunjukkan oleh Marx dan Engels, melalui pemaparannya terkait sejarah transisi manusia yang kerap didongkrak oleh corak perekonomian. Contohnya, yakni transisi feodalisme ke kapitalisme.

Pada peralihan corak ekonomi yang ditandai peralihan corak produksi itu, terdapat kelas-kelas tertentu yang saling berlawanan. Katakanlah ada kaum yang ditindas dan ada kaum yang menindas. Dua dikotomi itu di masa sebelum era kapitalisme, cukup beragam klasifikasinya (turunan mengenai siapa saja aktor penindas dan yang tertindas cukup kompleks). Akan tetapi, setelah era kapitalisme berlangsung, kelas yang saling bertentangan itu kian mengalami penyederhanaan. Menurut Marx & Engels, kelas yang saling bertentangan kini hanya terpecah dalam dua kubu, yakni kelas borjuis (orang yang memiliki alat produksi) dan kelas proletar (buruh yang mengoperasikan alat produksi milik kaum borjuis). Kelas proletar inilah yang dipercayai Marx sebagai aktor perubahan dari laju gerak perubahan sejarah yang (menurut Marx) tidak bisa dielakkan.

Setelah kapitalisme, Marx percaya bahwa Komunisme yang kelak akan menggantikan posisi kapitalisme (serupa dengan peralihan feodalisme ke kapitalisme). Dia meramalkan bahwa revolusi yang diaktori oleh kelas proletar, niscaya akan terjadi. Akan tetapi ramalan Marx tidaklah kunjung terwujud hingga detik ini.

Bermula dari kekeliruan ramalan Marx itulah kemudian muncul pemikir-pemikir Marxist dalam varian modifikasi yang beragam. Mereka terkelompokan pada kategori-kategori Marxist tertentu, semisal Neo-Marxist, Post-Marxist, dan lain sebagainya yang bernafaskan pada proses kontemporisasi teori Marxist, dengan alasan kerelevansian terhadap kondisi saat ini.

Deretan nama yang masuk dalam tim kesebelasan para pembaharu Marxist, beberapa di antaranya ada Gramsci, Althusser, Alain Badiou, Laclau dan Mouffe, dan lain-lain. Pada tulisan ini, saya akan menyambangi Gramsci dan Althusser, untuk dimintai penjelasan atas fenomena yang saya paparkan di paragraf-paragraf awal. Piranti Gramsci yang bernama hegemoni, serta State Apparatus dan Subjektivasi Althusser, saya pikir cukup berfungsi sebagai alat penerangan dalam upaya memahami mengapa budaya politik pragmatis bisa begitu lekat dalam aktivitas politik di daerah.

Jika anda menyukai konten berkualitas Suluh Pergerakan, mari sebarkan seluas-luasnya!
Ruang Digital Revolusioneir © 2024 by Suluh Pergerakan is licensed under CC BY-SA 4.0