“Apakah kata-kata yang ada pada diri kita sekarang ini masih sanggup mendukung pandangan dunia dan hidup yang baru saja kita peroleh” -Asrul Sani
Prabowo jadi menteri Pertahanan. Kegusaranya atas kecurangan pemilu menguap seketika. Pengurus Gerindra nyaris mirip dengan anggota PDIP: memuji Jokowi dan siap mendukungnya. Politik tak mengubah lawan jadi kawan tapi menciptakan persekutuan. Politik bukan upaya untuk memenuhi hajat hidup publik tapi bagaimana memenuhi kepentingan KEKUASAAN. Entah bagaimana perasaan emak-emak yang dulu dukung Prabowo mati-matian.
Jokowi niscaya dipadati oleh menteri dari berbagai parpol. Harapanya kekuasaan stabil tak berlebihan tapi juga tak meyakinkan. Soalnya tak lagi di partai politik tapi massa yang gelisah karena diamputasi harapanya. Terutama untuk soal keadilan yang tak bisa dipenuhi dan pemerataan yang masih jadi misteri untuk menanganinya. Andai semua partai jadi pendukungnya itu tak sepenuhnya menjamin kekuasaan tak diganggu apalagi dikritisi.
Rakyat bukan makin mudah diatur tapi makin kritis melihat situasi yang kini terjadi. KPK yang merupakan lembaga paling dipercaya kini malah mau dicopoti wewenangnya. Nyaris semua orang tahu kalau revisi itu hanya untuk membuat KPK tak berdaya. Mustahil demonstrasi yang besar muncul dimana-mana kalau tak punya akar persoalan yang serius untuk ditangani. Setidaknya rakyat tak lagi percaya pada senayan yang selalu mendaku sebagai wakilnya.
Bukan hanya itu juga korban pelanggaran HAM yang terus-menerus bertambah. Di Kendari ada dua mahasiswa tewas karena peluru. Mereka mati saat demonstrasi digelar di depan kantor wakil rakyat. Serupa yang terjadi di Jakarta dimana ada anak muda yang tewas saat demonstrasi. Orang tuanya yakin anaknya dianiaya aparat. Tumpukan korban itu kian abadi ketika tak ada pengusutan sama sekali.
Sayang dalam pidato Jokowi soal itu tak tersentuh sama sekali. Mungkin tak penting mengatakanya atau tak tahu untuk apa dibicarakan nantinya. Seakan yang tewas itu memang rakyat Indonesia tapi kita tak perlu menyatakanya berulang-ulang. Biarkan takdir yang menangani dan tugas kepala negara hanya ucapkan bela sungkawa. Beda kalau yang dianiaya adalah sang menteri pasti pelakunya akan diburu kemana saja larinya.
Yang jelas kekuasaan kini bentengnya tinggi sekali. Tak ada yang luput dari jerat hukum. Pada perkara apa saja dan untuk soal apapun. Bayangkan pelantikan Presiden dan Wakil Presiden dijaga oleh ribuan aparat keamanan. Jauh sebelumnya Panglima TNI sudah mengancam: siapa yang ganggu pelantikan akan berhadapan dengan pasukan. Pelantikan berjalan aman tapi penangkapan terjadi pada orang-orang yang kena tuduhan akan gagalkan pelantikan.
Penguasa tahu kalau banyak rakyat berpotensi jadi musuh negara. Penguasa percaya kalau rakyat tak semuanya setia pada isi konstitusi. Malah penguasa curiga akan selalu ada rakyat yang ingin dirikan negara dengan ideologi yang beda. Terjadilah apa yang dulu diabadikan oleh Orde Baru: klasifikasi rakyat berdasar pada loyal tidaknya pada penguasa. Bedakan mana rakyat yang akan beri dukungan dan mana rakyat yang pantas diberi hukuman.
Kali ini:
Biarlah penguasa memuaskan dirinya sendiri. Saling berbagi tahta dengan sesamanya, saling berusaha untuk menjaga kepentingan masing-masing dan selalu yakin memang ini semua bertujuan untuk kelestarian rezim. Pada akhirnya semua bisa ditaklukkan: demo sudah berhenti, tuntutan atas KPK mulai meredup dan Papua tampaknya aman-aman saja. Tapi apa benar panggung sudah sunyi dari gejolak?
Masalahnya bermula dari sana: percaya diri yang terlampau berlebihan. Sejarah memberi bukti kalau kekuasaan yang terlampau sentralistik, mudah menghukum rakyat yang mengkritik dan tak peduli dengan tuntutan atas keadilan akan lebih banyak bawa mudharat ketimbang manfaat. Tak hanya itu rakyat yang mulai sadar dan berani akan berusaha bukan hanya mengingatkan tapi juga mulai melawan. Secara sembunyi melalui komentar sana sini dan secara terang-terangan mulai melakukan aksi turun ke jalan. Apa yang menjadi pertandanya?
Tingkat kepuasan dan kepercayaan mulai menurun. Sejumlah survei memberi bukti langsung. Terutama komitmen Presiden pada soal yang prinsip: keadilan atas perkara HAM dan seriusnya menangani kasus korupsi. Dua isu ini menyatukan apa yang dulu susah untuk bertemu: kelas menengah terdidik yang peduli pada isu pemerintahan yang bersih bersama dengan korban pelanggaran HAM yang berdiri di Aksi Kamisan.
Konflik elit yang tak reda begitu saja. Paling menyolok adalah soal rebut-berebut kursi. Kegusaran terjadi dan tak bisa ditutup-tutupi. Walau dilumuri oleh peryataan rekonsiliasi tapi kegemparan mustahil berhenti karena tiap menteri mewakili kepentingan parpol masing-masing. Peryataan bersatu sementara ini muncul hanya untuk memberi penghormatan pada kepala negara yang kini sedang membagi gula-gula.
Ketiadaan kanal oposisi karena semua berada di ruang istana. Rasanya negara dikelola mirip dengan rumah tangga yang di dalamnya tinggal sebuah keluarga. Semua elemen kekuasaan dirangkum jadi satu kepentingan yakni tahta. Hiduplah apa yang dinamai dengan keinginan bangun harmoni, persatuan hingga kekeluargaan. Tanpa ada oposisi demokrasi meluncur jadi tirani dan bisa berakibat pada konflik langsung antara penguasa dan rakyat tanpa melalui perantara lagi.
Terlebih kalau hukum kerap disalah-gunakan. Dimanfaatkan untuk kepentingan rezim dengan menghukum siapa saja yang mengkritik dan memenjarakan siapa saja yang tak disukai. Hukum makin meluncur menjadi senjata kekuasaan sehingga penghormatan pada normanya maupun dukungan atas penegakanya tak lagi mampu dilakukan. Hukum berubah jadi kendaraan kepentingan yang berkuasa. Apalagi jika yang pegang jabatan hukum merupakan bagian dari keluarga atau saudara politisi.
Yang pasti runyam adalah iklim usaha. Bukan karena tak ada kemudahan tapi tiadanya kejelasan. Keluhan Presiden berulang-ulang soal kesiapan hadapi investasi dijawab dengan relokasi pabrik ke negeri tetangga. Malah ada pembantu Presiden katakan KPK yang garang bisa hambat investasi. Komentar pedas, konyol tapi bodoh itu yang membuat banyak investor memilih tak menempatkan usahanya disini.
Potensi itu semua yang membuat istana bukan lagi tempat yang nyaman untuk tinggal. Kaidah kerja-kerja-kerja akan berhadapan dengan situasi yang bermasalah, buntu dan sulit untuk dilogika. Bukan karena kita tak mengakui demokrasi tapi kita tak percaya kalau buah demokrasi itu tak hanya stabilitas melainkan oposisi kritis. Disinilah politik bisa kehilangan harapan dan bisa berubah menjadi ancaman. Kalau begitu rasanya kita akan menyaksikan prahara ketimbang sebuah pesta. (*)