Oleh: Uchien, Kader Partai Asam Lambung dan Koordinator Teater Lorong, Pekanbaru, Riau
***
Tulisan ini saya tulis tepat tiga hari lagi menuju pemilihan umum, pemilu raya, pesta demokrasi, atau apalah itu. Hari yang telah ditunggu-tunggu oleh banyak umat manusia Indonesia yang belakangan ini penuh hujatan, saling caci maki, hina kelompok satu dengan kelompok lainnya dan sebagainya. Hal itu tidak terlepas dari siapa capres pilihannya masing-masing. Sehingga ketika panggung kontestasi tersebut diumumkan, bertebaranlah hoax, hujatan dan lain sebagainya untuk menyerang satu sama lainnya. Klaimnya pun sama; yaitu sama-sama pengusung akal sehat. Tapi akal sehat yang seperti apa, hal itu sangatlah disanksikan.
Dari dua pasang pilihan capres dan ataupun pemilihan calon legistaif serempak, kita melihat ada sekelompok orang yang memilih untuk tidak memilih alias golput. Celakanya, yang memilih golput ni dianggap bodoh, tidak punya pendirian, pecundang dan banyak lagi caci-maki yang dialamatkan kepada mereka. Sehingga kemudian kita berpikir, begitu hina-dinakah mereka yang memilih untuk tidak memilih, tanpa mempertanyakan alasan dan sebab-musabab mereka tidah memilih sebagai pilihan yang juga dihadapkan dengan pilihan. Mereka ini manusia yang sama dengan manusia lainnya yang ada di Indonesia bahkan dunia. Tentunya mereka punya pilihan meskipun itu adalah tidak memilih. Sebagaimana kita pahami bahawa keinginan untuk tidak memilih atau golput juga adalah pilihan politik juga. Dan karena itu kita tetap harus menghormatinya, mengakui sikap dan keberadaannya. Kalau saja ada yang tidak memimilih pada pilpres dan pileg karena apolitis, maka hal itu sah-sah saja, lalu mengapa mereka yang golput karena memang ada kerangkan teoritisnya secara politis lalu tidak kita hargai.
Lahirnya golput (golongan putih) ini juga bukan ujuk-ujuk terjadi saat ini saja. Bahkan ini sudah berlangsung lama sejak jaman Soeharto berkuasa. Golput pertama kali dimulai sejak 3 Juni 1971 di Balai Budaya Jakarta, sebulan sebelum hari pemungutan suara pada pemilu pertama di era Orde Baru. Golongan putih (golput) pada dasarnya adalah sebuah gerakan moral atas kesadaran berpolitik. Arief Budiman sebagai salah seorang eksponen Golput berpendapat bahwa gerakan tersebut bukan untuk mencapai kemenangan politik, tetapi lebih untuk melahirkan tradisi di mana ada jaminan perbedaan pendapat dengan penguasa dalam situasi apa pun (baca golput). Selain manusia golongan putih yang mengambil sikap untuk tidak memilih atas dasar kesadaran politik, juga ada yang mengambil sikap tidak memilih dikarenakan alasan-alasan yang sangat personal (subjektif). Misalkan ketiduran karena hari libur, memilih memanfaatkan pergi liburan, tidak memiliki kartu pemilih, dan lain sebagainya.
Dari berbagai macam manusia dimasa pesta demokarasi hari ini (yang gemar melakukan caci maki), paling tidak sudah menggunakan hak pilihnya pada tanggal 17 April nanti. Meskipun berkompetisi dengan caci maki dan sumpah serapah yang berseleweran di tanah dan langit Indonesia. Hal ini sesuai dengan apa yang dilekatkan pada mereka yaitu Cebong dan Kampret. Ya, energi keburukan sangat dekat dengan manusia Indonesia. Apakah kelompok cebong kampret ini akan terus mencaci maki hinga pemilihan usai? entahlah, kita lihat saja nanti.
Waktu untuk menggunakan hak pilih pada pesta demokrasi 2019 sudah semakin dekat. Kartu pemilih, kertas suara, kotak suara, dan bilik suara tentunya sudah dipersiapkan. Bahkan pada hari ini (14/04) Warga Negara Indonesia (WNI) di luar negeri sudah menggunakan hak suaranya di bilik suara yang tersembunyi dan rahasia. Dalam waktu yang sudah teramat dekat ini, para cebong kampret masih terus mencaci maki dan bersumpah serapah, bahkan merelakan persahabatan dan persaudaraan mereka berakhir hanya karena pilpres yang tidak untuk mereka menangi. Cebong dan Kampret memang masih punya kesempatan untuk saling mempengaruhi. Apa yang menjadi pilihan yang sudah terlanjur dideklarasikan, sudah kepalang diagung-agungkan, harus tetap konsisten, komitmen, jangan sampai terganti. Cebong harus tetaplah cebong, kampretpun demikian.
Tapi siapa yang tahu hati manusia? Bisa jadi ada perubahan nantinya saat pemilihan. Sama seperti dua kali pilpres yang kita hadapi. Kalau di 2014 ada yang jadi kampret, maka di 2019 mereka ada yang berubah jadi cebong. Begitupun sebaliknya. Termasuk misalkan di tahun 2014 ada yang memilih dengan segala keyakinan, akan tetapi kita menjadi golongan putih atau golput. Semua tidak ada yang bisa di bayangkan. Ya, siapa yang akan menyangka bahwa bisa saja akan terjadi perubahan-perubahan dihati dan pikiran setiap manusia. Apa yang telah dipertengkarkan oleh manusia yang memiliki hak pilih dan hak suara, akan ditentukan di tempat tersembunyi, tempat rahasia yang bernama bilik suara. Manusia yang mengaku cebong, siapa yang akan menyangka ia telah berubah menjadi kampret atau bisa saja menjadi putih di dalam bilik suara. Sebaliknya demikian pula untuk kampret dan putih. Siapa yang akan menyangka semuanya telah dibalik-balikkan oleh hati dan pikiran manusia pemilih.
Siapa yang akan menyangka. Ya, sesungguhnya kebohongan-kebohongan itu telah beredar dibilik suara. Yang bisa dilihat adalah kemenangan. Yaitu siapa yang terpilih dan tidak terpilih. Sangatlah naif dan bohong kalau pilpres dan pileg ini bukan suatu kompetisi. Justru pilpres dan pileg adalah ajang kompetisi yang sesungguhnya. Dan karena itu kompetisi, maka sangat wajar bilamana banyak kemudian yang menjadi korban penipuan. Banyak yang tertipu oleh histeria dan gelombang euforia yang dilihat hanya sekedar dari fisiknya. Pilpres dan pileg memang dianggap pesta demokrasi. Tapi pesta demokrasi bagi siapa? Yang jelas Pilpres dan Pileg itu adalah pestanya kaum elit, makanya kemenangannya adalah juga kemenangan kaum elit, bukan kemenangan kaum proletar. Dan yakinlah, pasca pemilihan, cebong dan kampret akan kembali ke aktivitas semula, dengan beban yang serupa seperti sebelumnya. Ditambah dengan tinggalan masalah-masalah yang butuh waktu untuk memperbaikinya. Itulah kebohongan kita.