“Siapa yang mengatakan langit biru padahal setengah kelabu telah melacurkan kata-kata dan mempersiapkan diri untuk berlaku tiran” -Albert Camus
Mendekati hari H Pemilu suasana politik makin panas. Elit saling serang dan mulai buka rahasia. Saya sebagai rakyat sangat senang melihat kenyataan ini. Kivlan Zein menuduh Wiranto bertanggung jawab atas tragedi Mei. Spontan Wiranto mengajak Kivlan Zein sumpah pocong. Bahkan Wiranto menyebut Kivlan Zein pernah minta uang padanya. Dua jendral saling serang di tengah ada keinginan menempatkan tentara dalam pekerjaan sipil.
Tak hanya Wiranto, juga capres Prabowo terus membuka informasi. Soal 11 ribu triliun uang warga negara RI yang diparkir di luar negeri. Info yang panas dan menimbulkan berbagai tanggapan. Tim sukses Jokowi mengajak Prabowo untuk buka-bukaan saja. Siapa tahu ada uang Prabowo di sana. Sebelumnya Jokowi dalam debat membuka info tentang kepemilikan lahan ribuan hektar punya Prabowo. Ternyata yang punya lahan banyak tak hanya Prabowo, tetapi juga Erick Thohir hingga Luhut Bisar Panjaitan.
Serang-menyerang ini mungkin akan terus muncul seiring dengan mendekatnya hari coblosan. Serangan ini terbuka begitu rupa karena memang banyak di antara mereka dulu berkawan karib. Berada dalam rezim yang sama, serta meniti karir yang tak jauh beda. Sebut saja Kivlan Zein dengan Wiranto yang pernah berada dalam satu naungan elit TNI baret hijau, Kostrad. Jadi keduanya tahulah siapa diri masing-masing, dan kini posisi politik yang beda membuatnya saling serang.
Apa keuntungan kita sebagai rakyat dengan serang-menyerang ini? Kita tahu ternyata elit itu bukan lapisan yang sempurna. Mereka yang kita dukung ternyata punya masa lalu busuk, pernah terlibat dalam soal pelanggaran HAM, bahkan memiliki kekayaan menakjubkan. Setidaknya rakyat mengetahui bahwa elite adalah golongan yang dengan mudah memeras rakyatnya, bahkan bisa mengelabui rakyat.
Coba bayangkan para elit ini punya kekayaan fantastis. Setidaknya tanah saja mereka punya berhektar-hektar. Di saat yang sama petani miskin banyak yang punya lahan yang sempit dan ada banyak penduduk masih kesulitan memiliki rumah. Mengapa mereka tidak mewakafkan tanahnya untuk kebutuhan rakyat kecil tanpa harus berkampanye soal keadilan atau pembagian sertifikat tanah melulu?
Bayangkan saja Prabowo yang diakuinya sendiri punya tanah luasnya mencapai 220 ribu hektar di Kalimantan Timur dan 120 ribu hektar di Daerah Istimewa Aceh. Saya tak bisa bayangkan kalau Tuan Prabowo naik kuda dan mengitari lahan miliknya, pastilah kuda itu akan tewas. Juga Luhut Panjaitan yang mengakui punya tambang batu bara dan lahan 6 ribu hektar. Sempurna sudah harta kekayaan itu menumpuk di sekeliling capres.
Melalui saling serang, rakyat juga makin mengerti betapa sulit mencapai kesejahteraan. Bagaimana mereka bisa memprioritaskan kepentingan rakyat kalau diri mereka sendiri tak pernah membagi miliknya. Penelusuran Tempo bahkan menyebut ada penguasaan lahan mencapai luasan 1,1 juta hektar di berbagai daerah yang dimiliki oleh sejumlah politikus dan penguasa kelompok pendukung kedua capres itu. Kurasa luasan lahan itu mustahil dikelola dengan tanpa menggusur dan tanpa bermasalah.
Lalu kalau kita lihat laporan keuangan sumbangan yang untuk para Capres jumlahnya sungguh mengaggumkan. Cawapres Sandiaga Uno menyumbang Rp95,4 milliar dan Prabowo Subianto menyumbang Rp36,4 milliar. Total yang dilaporkan KPU sumbangan dana kampanye Rp54,05 miliar. Uniknya jumlah ini lebih besar ketimbang sumbangan dana yang berhasil dihimpun oleh paslon Jokowi-Ma’ruf Amin yang besarnya Rp 44,08 miliar. Uang sebanyak itu digunakan semuanya untuk kampanye?!
Jadi wajar kalau tiap tim sukses berusaha memenangkan kandidatnya. Ada uang yang dikelola dalam jumlah fantastis. Begitu pula masing-masing pendukung akan berusaha memenangkan calonnya. Karena ada uang yang disediakan dalam jumlah raksasa. Jadi ini bukan pertarungan berebut suara rakyat saja, tapi pertaruhan uang dalam jumlah yang demikian dahsyatnya. Wajar jika kericuhan sering muncul karena memang uang aliran deras ini bisa membuat emosi panas dan perseteruan jadi tajam.
Karena tiap sumbangan yang dialirkan dalam jumlah besar pasti punya tujuan. Ini bukan hendak mendirikan tempat ibadah yang pahalanya masuk surga, tapi mendukung calon presiden tertentu.
Misalnya ada himpunan penggemar olahraga golf yang menyumbang dalam jumlah besar ke paslon Jokowi-Ma’ruf Amin, kira-kira apa yang mereka rencanakan kalau pasangan J0kowi-Ma’ruf Amin menang? Apa diharapkan pasangan itu mendukung olahraga golf atau ingin mempopulerkan golf ke seluruh masyarakat?
Gelapnya kepentingan itulah yang membuat upaya saling serang itu bermanfaat. Kita akan mengetahui apa maksud setiap calon dan pendukungnya, sekaligus kita juga memperkirakan apa yang terjadi kalau mereka menang. Teruslah elit saling serang karena itu bisa membuat rakyat lebih sadar dan secara kritis lebih tahu siapa sebenarnya yang mereka dukung. Sebab pemilu bukan upaya untuk memilih yang terbaik, melainkan memilih yang terpantas untuk memimpin.
Sebab kedua calon bukan lahir dari rahim yang berbeda. Prabowo jelas punya jejak panjang dengan keluarga Cendana dan Jokowi juga dikelilingi oleh mantan pejabat Orba. Saling serang biarkan terjadi untuk membuat rakyat memahami kalau penguasa itu bukan lapisan elit yang suci, tapi kelompok kepentingan yang pasti ingin tetap mempertahankan serta melestarikan kepentingannya.
Ayo saling seranglah di antara kalian dengan cara apa saja karena itulah yang membuat kami tahu siapa kalian sebenarnya!(*)