Gerakan Mahasiswa Pasca Orde Baru mengalami pukulan berat baik dari sisi internal dan eksternal. Riset ini mengambil sampel gerakan mahasiswa di Yogyakarta untuk menggambarkan tantangan tersebut. Dari sisi internal, gerakan mahasiswa mengalami fragmentasi isu, ego sektoral, regenerasi, dan minimnya partisipasi perempuan. Sementara, pada sisi eksternal, gerakan mahasiswa dihadapkan pada kebijakan kampus yang represif, program MBKM dari negara, dan intimidasi dari pihak luar.
Lebih-lebih beberapa riset seperti Aspinall (2012) dan Novianto (2016) menengarai gerakan mahasiswa masih belum lepas dari belenggu gerakan moral. Gerakan mahasiswa seakan-akan menjadi satu-satunya corong bersuara dan menyuarakan kegelisahan masyarakat. Berbagai mitos disematkan kepada gerakan mahasiswa seperti mahasiswa adalah agen perubahan, kompas moral, penyambung lidah, dan hal lainnya. Mitos tersebut malah membentuk gerakan mahasiswa sebagai gerakan yang elitis dan terpisah dari gerakan rakyat.
Riset ini menemukan bahwa terdapat tiga pola terhadap pengaminan gerakan moral. Pola pertama ia mengamini gerakan mahasiswa sebagai gerakan moral. Pola kedua ia tidak mengamini gerakan moral, tetapi secara esensial argumen hampir sama dengan gerakan moral. Pola ketiga menolak gerakan moral.
Lantas, mengapa hal tersebut terjadi? Masih relevankah gerakan mahasiswa yang mengamini gerakan moral?
Selengkapnya kunjungi https://bit.ly/hasilrisetgerma
Komentar ditutup.