Jika pemungutan suara memang bisa mengubah keadaan, tentunya pemilihan umum akan dilarang (Our Brand Is Crisis)
Masyarakat yang merosot dalam budaya yang hanya subur untuk berkembangnya dua jenis sikap: atau apatis, atau oportunis (Forum Demokrasi)
Hari-hari ini suasana politik makin memanas. Calon Presiden yang sudah ditentukan oleh Partai Politik mulai menjaring dukungan: pidato, pengumpulan massa hingga mobilisasi relawan terjadi di banyak kota. Hal yang sama dilakukan oleh ketua Parpol yang sibuk untuk bicara, bertemu hingga menyampaikan pandangan yang itu-itu saja. Tak ada yang baru, yang segar apalagi yang inspiratif. Nyaris elite politik kita tidak mengalami pergeseran orang karena dipadati hanya oleh mantan pejabat, pengusaha dan politisi yang usia serta pandangan politiknya sudah udzur. Di sisi gagasan tidak ada yang berani mengguncang status quo dan pada tiap pernyataan tak muncul kutipan yang diangkat dari buku atau riset. Politik kita terlanjur dikendalikan oleh lembaga survai dan popularitas. Politik makin kehilangan imaginasi dan keberanian. Calon pemimpin malah diajak untuk melanjutkan rezim yang sekarang ini banyak melahirkan ketetapan yang bahaya. Politik yang hadir tanpa perseteruan ide hanya menyuburkan polarisasi yang ditandai oleh maraknya isu SARA.
Ingatan kita terbang pada Pemilu sebelumnya. Pertarungan yang mengerikan karena hoax beredar luas dan cercaan gampang sekali meluap. Kita melihat juga bagaimana politik dihidupkan melalui para buzzer yang memuja kandidatnya sembari menyerang mereka yang bersuara beda. Saat itu politik seperti pertarungan total antar tim pendukung. Itulah saat politik hanya dipahami sebagai perebutan untuk duduk di tahta tertinggi sambil melupakan mandat seorang Pemimpin. Akibatnya kita alami belakangan ini: praktek politik yang berusaha mengail dukungan massa melalui mobilisasi dan agitasi. Para kandidat dengan orasinya mulai meyakini dirinya sendiri sambil mengajak pendukungnya untuk mengekor saja apa yang dikatakanya. Para kandidat itu mekar sebagai pemimpin karena efek dari sorot media serta kecanggihan media sosial yang jadi pendukung utama. Pemilu bukan lagi pertarungan ide-ide yang bersebarangan tapi kompetisi antar fans. Politik kehilangan kemampuan untuk mempertarungkan ide-ide berani.
Saat sang Pemimpin terpilih yang diprioritaskan adalah ganjaran untuk para pendukung. Mereka menempati banyak posisi strategis: menteri hingga komisaris, wakil menteri hingga direksi perusahaan negara. Itu sebabnya kerumunan orang lebih memilih jadi tim sukses ketimbang pemilih yang kritis. Tak hanya tim sukses tapi partai pendukung mendapat ganjaran yang luar biasa besar. Yang menggelikan parpol yang mustinya jadi oposisi malah dipeluk dalam rangkulan Istana. Ajang bagi-bagi jabatan tidak berakhir disini karena berbagai proyek bisa dialirkan pada sejumlah pendukung yang ikut membantu kemenangan. Situasi yang benar digambarkan sebagai pesta: berbagi proyek dan jabatan. Wajar jika kemudian banyak keputusan politik yang kontroversial terbit: revisi UU KPK, Omnibus Law hingga perumusan KUHP yang baru. Tiap keputusan politik itu mewakili kepentingan yang berada di belakang mesin pemenangan pemilu. Sebab semua tahu pemilu bukan kegiatan yang gratis dan halal: proses ini memakan biaya yang tidak sedikit. Investasi yang musti mengail keuntungan yang besar. Dan kekuasaan butuh loyalitas yang total.
Benar ada perlawanan di masyarakat sipil tapi gemanya tidak meyentuh akar rumput. Barisan perlawanan selain sporadis, berserakan juga mulai kehilangan akar. Diatas bangunan politik yang dikendalikan oleh uang tentu berat untuk mengambil posisi melawan arus. Sebagian aktivis memilih untuk berada dalam ruang abu-abu: tetap kritis tapi tidak bergerak terlampau jauh, tetap memiliki pandangan beda tapi enggan menyusun kekuatan, berusaha menyatakan opini yang beda melalui jalur yang tersedia. Sebagian merasa telah berhasil saatnya partainya lolos dalam gelanggang. Gema suara mereka diwadahi dalam kekuatan jalanan yang ternyata juga tidak bertahan lama. Walau ada percikan perlawanan yang dilakukan oleh para nitizen: bersuara keras pada penyimpangan pejabat, proyek pejabat hingga penyalah-gunaan jabatan. Seperti oase kekuatan nitizen itu dianggap sebagai oposisi hari ini: mampu menggerakan perubahan tanpa harus orasi di jalan, bisa mengubah keadaan tanpa musti mengorganisir kekuatan. Benarkah memang itu yang terjadi?
Jawabanya ada di kenyataan. Gerakan itu memang berhasil merebut perhatian tapi belum tentu mengubah tatanan. Gerakan itu berhasil meraup dukungan tapi belum tentu mengubah sistem politik yang sudah mapan. Tunisia hingga Hongkong menjadi bukti betapa rentanya gerakan media sosial yang tidak diimbangi oleh praktek gerakan yang sebenarnya. Praktek politik yang mengajak warga untuk terlibat, berani menyatakan pendapat yang beda serta terorganisir dalam blok politik kuat. Blok politik yang tidak menggunakan uang sebagai medium interaksi, blok politik yang mengutamakan nilai emansipasi ketimbang hierarki serta blok politik yang mengajukan berbagai gagasan politik yang berani. Dalam ruang politik yang dijejali oleh Parpol yang didominasi oleh figur sang ketua, pilihan untuk ber-oposisi jadi signfikan. Bisa bergerak bebas dengan agenda yang berlawanan dengan yang diputuskan oleh penguasa. Itulah yang dinamai dengan oposisi: upaya untuk mengawasi kekuasaan secara terus-menerus agar tidak terjadi absolutisme dan penyalahgunaan wewenang. Karena saat ini, kita berada dalam krisis oposisi.
Tanpa oposisi rakyat hanya dianggap sebagai kumpulan suara. Dibutuhkan tiap Pemilu lalu diabaikan begitu kekuasaan sudah terpilih. Oposisi bukan hanya menjadi kekuatan pengimbang tapi juga mengajak rakyat terlibat dalam proses pembuatan keputusan. Bersama oposisi rakyat bisa paham kenapa minyak goreng bisa menghilang tiba-tiba dan kenapa bencana memakan korban nyawa begitu besarnya. Melalui Oposisi rakyat dapat melibatkan diri dalam perumusan anggaran hingga mendapatkan kandidat yang sesuai dengan kebutuhan. Hanya oposisi yang bisa memastikan kekuasaan tidak berputar diantara orang itu itu saja dan lewat oposisi rakyat memiliki hak politik yang sebenarnya. Mari kita mulai berani melibatkan diri dalam barisan oposisi untuk membuat kekuasaan lebih mampu mensejahterakan rakyat dan memenuhi keadilan. Dalam ruang oposisi politik menjadi arena pertarungan gagasan bukan sekedar perebutan kursi.