Rilis Sikap: Rapat Rakyat Menggugat Jokowi

Tahun politik ini telah menyuguhkan kepada kita semua tentang pelanggaran konstitusi secara terstruktur untuk kepentingan segelintir pihak penguasa dan kemunduran demokrasi Indonesia. Drama kolosal pertarungan elit-elit politik dan oligarki tersaji dengan terang benderang dalam dalam tahun politik ini. Akibat dari itu semua memberikan dampak terhadap ketidakpastian kesejahteraan, keadilan dan akuntabilitas negara pada masa Pemilu. Kami, berbagai kelompok masyarakat yang tergabung dalam ‘Rapat Rakyat’ menyatakan sikap bahwa, kontestasi Pemilu tahun ini tidak berhasil menjamin kebebasan fundamental, sehingga kami akan tetap berada pada barisan oposisi sejati.

Hal ini terlihat dengan bagaimana janji-janji politik dan agenda ke depan, tidak sama sekali mengarusutamakan pemajuan hak asasi manusia, rantai impunitas, konflik kepentingan dan pembangunan yang tidak berpihak pada hak rakyat. Siapapun presidennya, tukang becak tetap jadi tukang becak. Petani tetap mencangkul. Buruh pabrik tetap dihisap tenaganya. Ojol tetap narik. Pengangguran tetap pengangguran. Kuli tetap nguli. Nelayan tetap mancing. Pendidikan tetap mahal. Tambang masih di mana-mana. Kesehatan tetap sulit diakses. Dan berbagai penderitaan rakyat tetap begitu-begitu saja. Langkah yang kita ambil bukan berpangku tangan pada mereka, melainkan mewujudkan Politik Kewargaan. Inisiasi dan gerakan warga, merebut hak untuk kehidupan yang baik secara berdikari.

Siapapun presidennya, rakyat tetap sengsara. Harapan kita bukan pada salah satu pasangan calon, tapi pada diri kita secara kolektif, membentuk kekuatan rakyat. Karena setelah berpuluh tahun lamanya, kini saatnya rakyat tertindas bersepakat untuk mengatakan: Kami Muak!

Setiap calon Presiden dan Wakil Presiden hari ini hanya berfokus pada pemenangan, bukan agenda ataupun kebutuhan rakyat. Karena bagaimanapun janji yang diberikan, kepentingan yang dibawa adalah kepentingan oligarki semata. Yaitu kepentingan untuk melipatgandakan keuntungan serta mempertahankan pusaran kekuasaan pada elit yang mencengkram kehidupan rakyat. Gurita oligarki berada di atas pemerintah. Oleh karena itu, posisi tawar rakyat terhadap presiden tidak pernah berada di atas posisi tawar oligarki.

Rakyat tidak diberikan pilihan. Berbagai pelanggaran pada akhirnya menimbulkan keputusasaan warga dalam memilih pemimpin yang amanah. Hal ini kemudian menjadikan rakyat terutama generasi muda hanya menjadi bagian dari kelas pekerja dengan masa depan suram tak menentu, dan tak punya harapan akan kehidupan serta masa depan yang layak.

Kami mengatakan tidak sepakat pada kondisi negara hari ini, sembari menyerukan untuk membangun jalan baru yang sebenarnya. Poinnya bukanlah pada pemilu dan siapa yang memenangkannya. Tetapi bagaimana pasca pemilu rakyat bisa menggalang kekuatan merebut hak-haknya. Kami menyerukan: Jangan terjebak pada pemilu dan hasilnya!

Barangkali kita sudah tidak asing lagi, maraknya kecurangan yang dilakukan secara sengaja oleh elit kekuasaan yang terpampang di dalam kertas pencoblosan pemilihan nanti, bahkan kroni-kroninya berupaya menjilat rakyat dengan keculasan. Semuanya hanya saling sikut-menyikut demi kekuasaan, berbagai upaya dilakukan demi jabatan duniawi, apakah mereka memikirkan kita? Sudah seharusnya rakyat memberikan tanda tanya besar: mengapa calon pemimpin kami rela berlaku curang? 

Baru saja kita telah mengetahui, presiden yang terhormat telah melacurkan kehormatannya demi memperkuat kedudukan salah satu paslon. Tindakan tersebut menjadi peringatan kepada kita, bahwa elit yang memegang kekuasaan, sekalipun bertampak populis dan demokratis, tetaplah otoriter, busuk, khianat, penipu ulung dan perusak demokrasi.  Seharusnya Presiden Jokowi dapat diadili karena membiarkan semua skenario ini terjadi.

Tidak hanya itu, beragam tindak tanduk kecurangan dan kemunafikan pada pemilu telah terjadi sedari awal, mulai dari relasi kuat dengan kapitalis, pelanggaran etik, mengejar eksistensi dengan gimmick, sajian program kerja yang tidak masuk akal dan syarat akan penindasan kembali, hingga ketidakmampuan para calon pemimpin yang berfokus terhadap isu-isu yang dekat dengan rakyat.

Perlu diingat-ingat! Pemilu hanya sebagai topeng yang silih berganti menutupi wajah aslinya–wajah kediktatoran dan kemunafikan. Awas, jangan sampai tertipu dengan janji manis mereka! Sadarlah, bahwa Reformasi telah dikorupsi, bahwa Reformasi adalah Neo-Orba! Banyak aktivis hari ini dibungkam, kerusakan lingkungan yang berdampak pada kenaikan suhu bumi yang semakin panas, 212 titik konflik hingga 1 juta rakyat dirampas tanah dan rumahnya akibat Proyek Sengsara Nasional (PSN), Hak Asasi Manusia masa lalu dan sekarang yang tetap dilanggar, penegakkan hukum yang abal-abalan, hingga aparat penegak hukum yang represif kepada siapapun yang melawan rezim otoriter ini. Kini melawan menjadi asing di telinga dan nurani kita. 

“Jejak hitam mereka tanda kezaliman kepada rakyat, kini kita hanya menunggu giliran.”

Narasi-narasi perubahan yang keluar dari mulut mereka hanya omong kosong belaka, amanat Reformasi dilupakan begitu saja, mulai dari: tumpulnya penegakkan supremasi hukum; praktik KKN yang masih dihalalkan; kroni-kroni Soeharto yang syarat dengan militerisme masih memiliki jaminan hidup yang tenang; amandemen konstitusi yang alih-alih justru tetap menjadi monopoli kekuasaan semata; militer yang kembali masuk dalam arena perpolitikan layaknya Dwi-Fungsi ABRI; serta kebijakan dan kekuasaan yang cenderung tersentral atau terpusat ke pejabat nasional.

Apa yang dicanangkan pada cita-cita Reformasi telah gagal dan hanya menambah riak-riak frustasi sosial kehidupan rakyat. Buruknya lagi, mereka abai pada rakyat, mereka para pemimpin kita memilih menjadi budak para kapitalis dan memujanya bagaikan Tuhan, tentu tindakan ini tersesat dan menduakan Tuhan. Jika para pemimpin kita tetap berpihak kepada kapitalis, maka jawabannya jelas: oligarki pemenangnya, rakyat tetap sengsara.

Mereka para calon pemimpin kita yang menjanjikan perubahan, tidak memikirkan dengan siapa mereka berpartner kerja di sistem pemerintahan nanti, padahal akan banyak sekali rekan kerja mereka yang hipokrit dan cenderung memperkaya dirinya sendiri dan kepentingan kelompoknya. Tidak dapat dinafikan, sumber masalahnya adalah mereka yang khianat kepada rakyat demi keuntungan duniawinya. Dan demokrasi elektoral melahirkan para pengkhianat baru yang menyengsarakan rakyat.

“Rakyat wajib meminta haknya, hak hidup tanpa kesengsaraan.”

Kemudian, harapan perubahan apa yang bisa disandarkan kepada mereka, jikalau menyisakan kesia-siaan? Harapan perubahan yang dibangun oleh dan untuk kita sendiri ialah perubahan yang tidak berpangku tangan kepada pemerintah, tanpa campur tangan kapitalis, tanpa mengharapkan hasil dari pemilu nantinya. Karena sebaik-baiknya manusia, tidak bergantung harapan kepada para pemangku kekuasaan, ujar Musthafa Al-Ghalayani dalam kitab Idhotun Nasyi’in. Maka bangun harapan perubahan itu dari diri sendiri secara seksama, bukan berharap pada pemilu yang hanya akan melahirkan kediktatoran dan kemunafikan baru.

“Ingatlah, bahwa kebaikan mereka (pemerintah) lebih layak berada di tong sampah.”

Perlu disadari, banyak upaya perubahan yang harus dikerjakan secara bersama-sama. Rupa-rupa keburukan yang tampak dari sebuah sistem pemerintah perlu disiasati dengan mengutamakan nilai keberpihakan atas kesengsaraan rakyat yang dibuat oleh mereka. Percayalah, pemerintah tidak kurang-kurangnya tetap merugikan kita, memporak-porandakan nasib hidup kita. Maka, tugas kita satu: membebaskan diri dari kesengsaraan!

“Kami percaya perubahan berasal dari massa rakyat. Bukan sebab segelintir orang.”

Dengan demikian, Kami menyatakan bahwa siapapun presidennya, kami bersama rakyat tertindas akan bersekutu menempuh jalan Oposisi.

Satu-satunya jalan keluar; demokrasi langsung 100%.


Yogyakarta, 10 Februari 2024
Rapat Rakyat Menggugat Jokowi

Tinggalkan Komentar

Scroll to Top