Satu dari tiga orang Indonesia terlibat dalam pembelian suara pada Pemilu 2014, yang ini tak muncul pada Pemilu tahun 1999 (Andreas Ufen)
Kadang-kadang saya bertanya-tanya apakah dunia ini dijalankan oleh orang-orang pintar yang mempermainkan kita atau oleh orang-orang bodoh yang sungguh-sungguh (Mark Twain)
Tahun 2024 mendatang kita akan menyelenggarakan pemilu yang ke enam kalinya. Sejak 1998 yang ditandai oleh mundurnya Soeharto ada harapan Pemilu bisa menjawab harapan rakyat. Pada tata kelola pemerintahan yang bersih, sistem peradilan yang adil serta wakil rakyat yang menyuarakan kepentingan rakyat miskin. Pemilu diharapkan melahirkan pemimpin yang progresif, sederhana dan berani menghadirkan keadilan. Sebab di masa Orde Baru Pemilu hanya ritual untuk mengesahkan kepemimpinan Soeharto yang absolut dan abadi. 32 tahun Orde Baru Pemilu diadakan dengan kemenangan mutlak Golkar yang diikuti oleh PDI dan PPP yang suaranya tak berarti. Itulah saat dimana suara rakyat diarahkan untuk kepentingan rezim sesat Orba. Pada masa itulah Pemilu merupakan kegiatan kelam yang diwarnai oleh intimidasi hingga kecurangan perhitungan suara. Lewat perlawanan mahasiswa dan rakyat sistem pemilu yang busuk itu ‘sempat’ dihancurkan.
Sejak 1999 Pemilu tak lagi seperti dimasa Orba. Bahkan di tahun itu Pemilu diadakan dengan diikuti oleh 48 partai politik. KPU tampil indepeden dan didorong untuk menyelenggarakan Pemilu yang jujur dan adil. Pada tahun 2004 Pemilu berjalan dengan sistem yang lebih demokratis: pemilihan langsung Presiden. SBY terpilih dengan jumlah suara yang signifikan sehingga menjadi Presiden yang memiliki legitimasi yang kuat. Partai Demokrat menjadi meteor karena berhasil menggalang suara dalam jumlah raksasa. Partai baru tapi memikat suara rakyat: figur SBY jadi magnet bagi para pemilih. Terpilih lagi di pemilu 2009 yang membawa SBY jadi Presiden pada dua periode yang sarat dengan persoalan: korupsi mulai meyentuh partainya sendiri, mulai muncul keinginan membonsai KPK hingga pembunuhan aktivis HAM Munir. Soal yang tak kalah pelik adalah kemiskinan dan kesenjangan sosial. Winters mencatat sejak 2010 ada empat puluh orang terkaya di Indonesia yang nilai kekayaanya 632.740 kali lipat dibandingkan pendapatan rata-rata per tahun orang Indonesia kebanyakan. Ini artinya sederhana: predator mulai menguasai jagat politik di Indonesia.
Kekayaan yang raksasa itu bersanding dengan biaya politik yang makin mahal. Pemilu yang berbiaya raksasa itu telah melahirkan apa yang populer dinamai dengan politik uang. Suara rakyat jadi arena transaksi sehingga peran parpol seperti kendaraan. Bisa melaju kalau ada yang membelikan bensin dan lajunya mengikuti kemauan penumpang. Di samping parpol juga ada tim sukses yang ini dibentuk karena ketidak-percayaan pada Parpol dalam mendulang suara. Tak banyak kandidat yang percaya mesin partai akan bekerja dengan optimal karena basis massanya tidak dibangun. Sejak reformasi parpol tidak berusaha untuk membangun ikatan emosional dengan massa pemilih. Bahkan dari pemilu 1999 tidak ada upaya Partai untuk membangun pendidikan politik yang serius, tersruktur dengan kader-kader yang terlatih. Ini bisa dilihat dari proses memilih pemimpin yang tidak melibatkan aspirasi publik hingga seleksi ketat di internal Partai. Beda dengan Argentina disini parpol tidak banyak terlibat dalam persoalan warga bahkan sulit sekali mengajak bersolidaritas untuk soal-soal warga. Parpol muncul dan tampak berperan di musim Pemilu saja.
Dimana posisi Parpol ketika ada riset yang menyatakan bahwa lebih dari separuh penduduk Indonesia tidak mampu makan makanan bergizi? Mana suara Partai ketika ada banyak anak tengkes ditemukan di daerah perkotaan? Dimana partai berada ketika ada soal perdagangan manusia yang memakan korban nyawa dua orang tiap hari? Lagi-lagi apa Partai bergerak saat buruh upahnya dipotong oleh pengusaha dengan alasan ada krisis ekonomi dunia? Bisakah partai muncul ketika rakyat kesulitan mendapatkan minyak goreng? Partai politik mirip arus selokan yang aliranya berakhir Istana dan Senayan. Dua tempat yang jadi pusat kehidupan politisi. Apalagi parpol yang sekarang didominasi oleh segelintir elite yang bermodal. Melalui modalnya partai menyediakan diri untuk menjadi ‘tumpangan’ siapa saja yang ingin mencalonkan diri. Semua paham bahwa untuk mendapatkan tiket pencalonan seorang bisa ‘belanja partai’. Sterotipe seperti itulah yang membuat Partai Politik menjelma menjadi kelompok yang mengandalkan patronase dan daya tarik personal ketimbang ideologi politik yang diyakini. Setidaknya itu bisa dibaca dari ketiadaan konsep politik yang ingin ditawarkan, berbagai konflik yang mendera di tubuh pengurus parpol hingga koalisi yang rapuh. Lima kali Pemilu rakyat makin punya ikatan serta kepercayaan yang rendah pada partai.
Lalu pertanyaanya kemudian apa yang didapatkan Rakyat dari lima kali Pemilu. Rakyat memperoleh pemimpin baru tapi dengan agenda yang lama. Ditinjau dari segala segi sulit membedakan antara rezim Orde Baru dan hari ini: para politisi yang berlaga merupakan anak keturunan pejabat Orba bahkan sebagian dulu menjadi pejabat-nya Soeharto. Kemudian politik dinasti yang dikecam di era Soeharto jadi praktek umum dalam Pilkada. Data menunjukkan ada kurang lebih 117 kepala daerah yang masih punya hubungan kerabat. Resiko dari politik dinasti adalah korupsi, kinerja pemerintahan yang memburuk dan tidak ada transparansi. Rapor buruk itu yang membuat kualitas pemerintahan di daerah makin merosot yang itu tampak dari bagaimana korupsi berlangsung di sekeliling mereka. Selain itu yang persis sama adalah pemuliaan pada investor yang Orde Baru maupun rezim sekarang ini memberi jaminan kebebasan seluas-luasnya. Para pengusaha bebas melakukan apa saja dan menanam modal dimana saja. UU Cipta Kerja dilahirkan untuk menjadi payung pelindung ekspansi kapital. Perisai lainnya adalah kemudahan untuk dikriminalisasi dengan alasan pencemaran nama baik. Pasal berbau kolonial itu malah dipertahankan dalam KUHP yang baru.
Jika begitu maka lima kali Pemilu rakyat hanya ‘dibiasakan’ untuk memilih. Pemilu jadi kegiatan rutin yang semua paham kalau tidak ada perubahan yang berarti. Pemilu seperti kegiatan politik yang kehilangan gairah dan gejolak karena proses politiknya sudah terukur, stabil dengan program yang tidak menjawab persoalan rakyat. Apalagi dengan hadirnya lembaga survai yang makin membuat Pemilu jadi kegiatan yang mudah ‘diprediksi, dihitung, dikalkukasi’. Dalam pemiliu tidak ada ‘perbedaan, polemik dan adu gagasan’. Saat Presiden bilang ingin cawe cawe ia seperti kehilangan memori tentang Pemilu yang pernah diikutinya dulu. Saat dimana dirinya tampil sebagai kandidat yang ingin merubah banyak hal tapi sebenarnya hanya mengembalikan apa yang sudah dibuang: korupsi kembali marak, kekerasan muncul kembali dan kriminalisasi mudah terjadi. Keinginanya untuk cawe cawe hanya sebuah pengakuan atas kinerjanya selama ini: KPK yang kini kehilangan independensinya, hak berorganisasi buruh makin dipersulit dan kehidupan rakyat yang mengalami tekanan berulang kali. Pemilu hanya ritual yang makin kehilangan tujuan dan mandat. Seorang dalam kampanye berperan sebagai pahlawan tapi saat berkuasa dapat berubah jadi pecundang! Lima Kali Pemilu rakyat hanya diantarkan oleh janji-janji yang tidak banyak dipenuhi.
Lima kali Pemilu ternyata kita mulai kehilangan politisi yang cemerlang, progresif dan penuh gagasan. Ritual lima tahunan malah hanya menebalkan keyakinan politik yang konservatif, mahal dan jauh dari upaya menjawab kebutuhan rakyat. Konflik internal partai dari pimpinan pusat hingga kepengurusan daerah membuat politisi yang tangguh dengan pikiran menjulang makin sulit didapatkan. Apalagi jabatan formal kekuasaan terus didominasi oleh elite-elite kunci parpol sehingga publik makin sulit mendapatkan pejabat yang punya keberanian, integritas dan keyakinan politik yang merdeka. Partai politik lebih yakin dengan ideologi jajak pendapat dimana kader-kader muncul dengan kesadaran semu, dimanipulasi lewat mobilisasi dan kemudian terpilih karena populer. Wajar kalau kemudian kandidat yang terpilih dapat berganti mandat, muncul dengan program yang bahaya dan malah mau berkuasa lama. Lima kali Pemilu kita hanya mendapatkan wajah partai politik yang berlumur politisi korup, yang berkolaborasi dengan para oligarki untuk tujuan mengamankan pundi-pundi mereka sendiri. Jadi sebenarnya apa manfaat kita ikut pemilu yang keenam kalinya ini?
Penulis: Eko Prasetyo
Komentar ditutup.