Ketika Rakyat Benar-Benar Menilai

“Biarkan rakyat menilai,” jawab Presiden Joko Widodo atau Jokowi ketika ditanya ihwal tudingan dia berusaha membangun politik dinasti. Ia bilang rakyat yang menentukan hasil Pemilu, bukan elite. Isu politik dinasti, menurut dia, tak relevan lantaran di negara demokrasi, pemegang kedaulatan adalah rakyat. Setali tiga uang, putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, pun memberi jawaban serupa. Wali Kota Solo itu kini maju sebagai calon wakil presiden pendamping Prabowo Subianto. Tak mau kalah, adik bungsu Gibran, Kaesang Pangarep, balas bertanya, “Yang milih siapa?”

Betapa pun menggemaskan, kita tak bisa sepenuhnya menyalahkan jawaban itu. Siapa saja boleh menginginkan masuk dunia politik; pada akhirnya, rakyat yang menentukan. Namun, barangkali, Jokowi dan para politikus yang mendorong atau membiarkan anaknya masuk politik lupa: mereka memiliki privilese yang amat menguntungkan. Anak-anak para politikus itu tak perlu repot-repot membangun kepercayaan publik dari bawah, ikut organisasi kepemudaan, bergaul dengan rakyat biasa, atau mengubah hal-hal kecil di sekitarnya. Apa pula membaca dan menguasai teks-teks teoretis tentang sosial-humaniora—sesuatu yang belakangan mulai amat tidak populer bagi seorang politikus. Singkatnya, akses terhadap popularitas secara instan tanpa menimbang kapasitas, membuat eksodus anak-anak politikus ke dunia politik itu menjadi bukan tanpa masalah.

Privilese serupa dimiliki oleh para selebritas yang menjadi calon legislatif. Mereka tak perlu membangun citra dan popularitas; mereka telah mempunyai itu semua. Tinggal mengarahkan citra itu sesuai kebutuhan. Eksodus para pesohor ini tentu bukan tak meninggalkan kritik. Kita dengan mudah meragu ihwal kapasitas mereka, sekaligus curiga berapa nominal pemasukan mereka di dunia hiburan setidaknya satu tahun ke belakang. Namun, betapa pun populer seorang selebritas, mereka bukan atau belum merupakan aktor politik yang memiliki jaringan kuat di dalam pemerintahan atau parlemen. Setidak-tidaknya, kita sulit membayangkan Mahkamah Konstitusi sengaja mengubah peraturan untuk membuka jalan Giring Ganesha melenggang ke dalam Pilpres. Sementara, anak-anak para politikus itu tak hanya bermodal popularitas. Mereka memiliki akses untuk memanfaatkan sarana dan prasarana negara, secara legal maupun tidak.

Tak hanya mendorong kecurangan, masuknya para anak politikus ke dunia politik juga kian menenggelamkan satu prinsip yang tampaknya mulai usang: sistem merit dalam proses elektoral. Demokrasi meniscayakan setiap orang berhak memilih dan dipilih. Namun, siapkah kita menyerahkan tanggung jawab mengawal ketahanan pangan kepada yang barangkali tak pernah mengetahui harga beras? Atau tugas menjamin ketersediaan rumah layak huni kepada mereka yang tak pernah memasuki gubuk-gubuk, baik di kawasan urban maupun pedesaan? Sayangnya, para politisi mengetahui banyak warga memutuskan memilih secara irasional. Bukan kapasitas yang mereka lihat, melainkan seberapa akrab wajah dan tabiat para politikus itu di kepala mereka. Para politikus jitu memanfaatkan ini. Mereka dorong orang-orang yang punya bekal popularitas untuk masuk politik. Selebihya, sistem akan memastikan upaya itu akan “balik modal” dengan sendirinya.

Itu sebabnya Jokowi enggan menjawab lugas ihwal benar-tidaknya upaya membangun politik dinasti. Semua orang mengetahui, hanya orang yang bersangkutan bisa mengungkapkan apa yang akan, sedang, dan tidak dia kerjakan. Jokowi justru memilih melemparkan tanggung jawab memberikan penjelasan itu kepada rakyatnya. Sebagai rakyat, kita tak perlu mengetahui benar apa yang menjadi hasratnya. Kita hanya bisa mengambil kesimpulan yang tampak dari ucapan dan gelagatnya—itu pun, barangkali, hanya melalui media massa. Orang-orang tak tinggal diam. Mereka “laksanakan” perintah Jokowi untuk menilai. Dan mereka temui: ada dugaan pelanggaran etik Ketua MK, Anwar Usman. Ipar Jokowi itu terlibat dalam memutus perkara yang memungkinkan keponakannya melenggang ke dalam Pilpres. Secara etis, hakim tak boleh ikut mengambil putusan yang berkelindan dengan kepentingan keluarganya.

Jokowi dan keluarganya boleh bungkam soal isu politik dinasti. Orang-orang di sekeliling mereka boleh menolaknya–Prabowo dan orang-orang satu koalisi dengannya selalu mengklaim dinasti itu biasa, dan tak berarti buruk, terlepas dari cuitan Prabowo setahun silam bahwa ia ingin membangun bangsa, bukan dinasti. Orang boleh berdebat soal itu. Namun, kita tidak bisa menafikan kenyataan yang seterang matahari, bahwa ada ketidakpatutan dalam Putusan MK. Jokowi boleh membiarkan rakyat menilai. Namun ketika rakyat benar-benar menilai, apa yang akan terjadi? Kita tak bisa memidanakan Ketua MK. Namun, berdasarkan rasa kepatutan, Jokowi bisa memberikan nasihat sebagai orang tua yang tak ingin menjerumuskan anaknya. Putra sulungnya itu belum waktunya tampil.

Kita boleh berharap Jokowi akan bersikap bijak pada pengujung jabatannya. Namun, kita telah belajar untuk tidak menggantungkan harapan terlampau tinggi. Jawaban “biarkan rakyat menilai” bukan pertama kali diucapkan Jokowi dan para pembantunya di ruang publik. Sepintas tampak baik lantaran mereka menghargai demokrasi. Namun ketika rakyat benar-benar menilai Omnibus Law cacat formal dan substansial, Revisi UU KPK bakal melemahkan upaya pemberantasan rasuah, apa yang terjadi? Jokowi, para pembantu, dan anak-anaknya tak bisa selalu melemparkan permasalahan seolah-olah mereka tidak mengetahui. Sudah waktunya mereka menjawab jujur, mengambil sikap ksatria, dan membuktikan demokrasi di negara ini tak sebatas orkestrasi kosong di ruang publik.


Penulis: Han Revanda Putra

Ilustrator: Hisam

Komentar ditutup.

Scroll to Top