[Oleh; Qomar Grobbelaar]
***
Sekarang Jordi sudah tak lagi muda. Empat puluh satu tahun usianya. Karir sepakbolanya, walau belum kandas, namun tak pernah semenyala ayahnya. Barcelona memang pernah menjajalnya. Fergie sempat memakai tenaganya. Sayang, baik di Camp Nou, begitu pula di Old Trafford, dia bukanlah siapa-siapa.
Ayah Jordi ialah legenda. Terutama ketika Rinus Michels mengenalkan Totaalvoetbal kepada dunia. Ayahnya pula yang pernah membawa masalah pada kelahirannya. Namanya itu, bukan sekedar nama. ‘Jordi’, dipungut dari Santo pelindung kota. Namanya, simbol kebudayaan, juga satu pembeda. Bila dalam bahasa Spanyol ada ‘Jorge’, ‘Jordi’ ialah padanan Catalunya-nya.
Cruyff senior kemudian dipaksa pulang ke Amsterdam. Pencatatan sipil Spanyol menolak nama anaknya. Dia mesti mencatatkannya ke negeri Belanda. Pada masa itu Generalissimo Franco masihlah bernafas, masih kokoh berkuasa. Dalam hukum Franco yang picik, segala yang beraroma Catalunya dinyatakan ilegal. Tak terkecuali bagi nama bayi. Fasisme Franco begitu membenci Catalunya, begitu pun sebaliknya.
Saat Jordi masih balita, Cruyff kembali berulah. Dia menolak pergi ke Argentina. Emoh ikut Piala Dunia yang diatur junta militer Videla. Hasilnya, Belanda dipencundangi tuan rumah. Kempes mencetak gol, Passarella mengangkat piala. Jenderal berlumuran darah menang, sukses menjadikan sepakbola sebagai sarana propaganda.
Kini, Jordi Cruyff bermukim di Tel Aviv. Sejak 2012, eks gelandang serang itu mengambil kerja sebagai Direktur Olahraga. Maccabi Tel Aviv, klub yang diasuhnya, diingat orang sebagai simbol Zionisme paling uzur dalam perikatan olahraga. Pada Kamus Besar Zionisme Israel [KBZI] terdapat dikotomi antara ‘Maccabi’ di satu sisi dan ‘Hapoel’ di sisi lain. Bisa pula ‘Beitar’ termaksud di dalam pengkajiannya.
Dalam KBZI, -merujuk pada ‘Sport, Politics and Society in the Land of Israel: Past and Present’, [2008], proses kelahiran ‘Maccabi’ mulanya ditandai dengan pendirian Asosiasi Olahraga Jaffa ‘Rishon Letzion’. Pembentukan asosiasi olahraga ini selaras dengan seruan yang dihasilkan dalam Kongres Zionis Kedua. Di Kongres itu termaktub semangat mengobarkan ulang kampanye: ‘Judaism of Muscle’.
Gelombang kedatangan bangsa Israel ke tanah Palestina pada periode 1923-1928, -dikenal sebagai ‘Third and Fourth Aliya Movements’-, kemudian memberikan dasar bagi terbentuknya asosiasi olahraga yang terpisah bagi klas pekerja, ‘Hapoel’ [The Workers]. Hapoel merupakan segmentasi berbasiskan klas dalam afiliasi asosiasi olahraga.
Faktor tambahan lain dalam pembentukan Hapoel, yaitu menyatunya klas buruh Israel secara politik sepanjang Perang Dunia I. Mereka selanjutnya membentuk partai politiknya sendiri, namanya Histadrut Klalit. Pembentukan Hapoel lebih dominant diinisasi oleh anggota Histadrut Klalit, sebab para pemimpin partai memang tak banyak terkoneksi dengan olahraga.
Dalam kasus krisis pengungsi Timur Tengah di Eropa, fans Maccabi Tel Aviv pada lanjutan Liga Israel sempat merentangkan spanduk kontra pengungsi, ‘Refugees Not Welcome’. Sebaliknya, demi melawan itu semua, Hapoel Tel Aviv, membalas dengan spanduk besar berbahasa Ibrani yang berarti ‘Siapa disini yang bukan pengungsi?’
Maccabi sendiri memang banyak dikaitkan dengan ‘Zionis Borjuis’, kaukus orang-orang kaya yang menopang politik Zionisme. Namun, benarkah Hapoel merepresentasikan hal yang berbeda sepenuhnya? Apakah ia sungguh-sungguh merupakan wadah bagi klas pekerja yang digugah oleh semangat solidaritas internasional?
Pertanyaan ini mungkin akan bisa diurai melalui perdebatan sengit yang pernah terjadi di tahun 2009. Satu perdebatan menyangkut entitas Hapoel dan garis politik mereka yang sebenarnya. Dominic Moran dalam tulisannya di ISN, mengedepankan fans klub Beitar Jerussalem sebagai contoh dari sekumpulan Zionis akut yang menjijikan.
Fans Beitar digambarkan sebagai orang-orang yang gemar memakai seragam serdadu Israel [IDF]. Mereka hobi mempermalukan dan menyerang penduduk Palestina di pos-pos penjagaan. ‘La Familia’, demikianlah nama gang apartheid berbaju asosiasi fans sepakbola itu. Ujungnya, Dominic Moran mengajukan fans Hapoel sebagi anti tesis dari Beitar.
Digambarkan oleh Dominic, Hapoel serupa angin segar yang semakin mendapat pengaruh besar di muka publik sepakbola Israel. Hapoel diklasifikasi sebagai progresif dan anti rasis. Satu pernyataan lancang yang kemudian dibabat habis dan dianggap menyesatkan oleh Mick Napier. Lelaki yang menjabat Ketua Scottish Palestine Solidarity Campaign.
Mick Napier melayangkan ‘upper cut’ kerasnya ke tulisan Dominic Moran. Pria Skotlandia bilang, Histadrut Klalit yang membidani Hapoel Tel Aviv, faktanya justru yang melahirkan ‘Haganah’. Grup paramiliter bersimbol pisau dan daun, yang didirikan jauh sebelum Mandat Britania diluncurkan.
Oleh sejarah Timur Tengah, Haganah diingat atas peran aktifnya dalam kampanye pembersihan bangsa Palestina. Sepak terjang mereka cukup mencolok, termaksud memeriahkan banjir darah di seputar peristiwa Pembantaian Deir Yassin. Kemudian hari, Haganah menjadi ‘core’ bagi pembentukan formasi angkatan bersenjata Israel [IDF].
‘Zionisme Klas Buruh’ di lapangan sepakbola itulah Hapoel yang sesungguhnya. Para pekerja yang beredar di sekitar klub, -dengan sangat sedikit pengecualian-, tak terelakkan menjadi bagian dari aktivitas pendudukan. Mereka terlibat pengusiran orang-orang Arab diberbagai jenis pekerjaan. Tujuannya, demi membukakan jalan bagi pekerja sebangsanya.
Program rasialis tersebut dikenal dengan nama ‘penaklukan tenaga kerja’. Upaya pembersihan lingkungan kerja demi menegakkan supremasi buruh satu rumpun. Rasanya, ini terdengar memiliki kemiripan, semisal dengan upaya menggalang kebencian kepada buruh Tiongkok beberapa waktu belakangan.
Fans Hapoel sendiri pada beberapa episode terlihat kaya dengan banner atau nyanyian yang menyala-nyala. Celakanya, lagu-lagu itu seketika sirna, banner-banner sontak tiada, bila menyangkut operasi militer kepada penduduk Palestina. Tidak peduli seberapa keji dan biadabnya operasi militer itu. Tidak peduli ratusan anak terkoyak dagingnya atau pecah kepalanya.
Fans Hapoel boleh saja mendaku ‘Anti Fasis’, meski sesungguhnya mereka masuk ke survei 94% orang Israel pendukung pengepungan Gaza. Nyatanya, Zionisme telah mempersatukan borjuis dan klas buruh di bawah bendera ultra nasionalisme. Sehingga Derby Tel Aviv pada akhirnya sekedar drama permusuhan pura-pura, betapapun sengit pertandingannya.
Bila Tel Aviv semacam itu ceritanya, di selatan Amerika ada kisah lainnya. Di Chile, negeri Amerika Latin, sejak lama tercipta klub-klub sepakbola berbasiskan imigran. Sebutlah Union Espanola bagi keturunan Spanyol, Audax Italiano bagi peranakan Italia dan CD Palestino untuk anak cucu Palestina. Klub terakhir ini, walau biasa-biasa saja kastanya, sempat dua kali juara liga.
CD Palestino berkandang di Santiago, ibu kota dari negara penghasil tembaga. Ia satu lagi kesebelasan yang berkategori ‘bukan sekedar klub’. CD Palestino memang tak kuasa lepas dari cangkang ketertindasan asal usul bangsanya. Awal tahun lalu, klub berjuluk ‘Arabes’ ini, membuat berita. Gegaranya tampak sederhana, namun kental muatan politiknya.
Pada jersey CD Palestino, angka satu diganti dengan outline peta Palestina pra pendudukan. Pesan anti kolonialisme tak segan disampaikan. Kementerian luar negeri Israel lekas-lekas mengajukan nota protes. Tak lama, CD Palestino didenda federasi sepakbola Chile. Jersey pun mesti diganti. Sudah lama, pesan politik memang tak lagi ditolerir oleh FIFA, begitu pula dengan federasi anak buahnya.
Chile memang rumah terbesar bagi populasi Palestina di luar jazirah Arabia. Sebagian dari mereka adalah loyalis Salvador Allende, presiden yang digulingkan Pinochet. Semisal Daniel Jahud, pria 47 tahun yang menjabat pemimpin dewan lokal di Recoleta. Dia selalu menghubungkan ke-Chile-annya, ke-Palestina-annya dan kebanggaannya kepada Allende sebagai satu paket yang tak terpisahkan.
Tiap kali serdadu Zionis menggempur Gaza misalnya, ribuan orang, terutama yang mendiami distrik miskin Patronato, Santiago, akan tumpah ke jalan. Orang-orang itu berbangga mengibarkan bendera besar Palestina, mengutuki Zionis dan menghujat Amerika. Di kawasan yang semacam itu CD Palestino hidup dan berkembang. Sukar dibayangkan klub sepakbola dengan habitat seperti itu akan acuh tak acuh dengan ‘intifada’.
Demikianlah, dari Cruyff, Tel Aviv hingga Santiago. Sepakbola terus berkelindan tak berkesudahan dengan gejolak politik. Sama seringnya dengan sepakbola terekat erat dengan perang. Mungkin seperti George Orwell bilang, ‘sepakbola internasional adalah kelanjutan dari perang, melalui cara yang berbeda’.
Pingback: Colorado one up mushroom bars
Pingback: fuckboy
Pingback: Go Here