Penulis: Zain N. Haiqal
September, kemarahan yang kusimpan akhirnya telah memuncak. Setiap detik terasa seperti bara yang menyala dalam dada. Dunia ini, negeri ini—semua seolah bersengkongkol untuk menghancurkan harapan ini. Kapitalisme yang dulu hanya ku tahu dari buku-buku kini merajalela di depan mata, memonopoli hidupku, hidup kita. Di negeri ini, kita tak lagi hanya bekerja untuk hidup tetapi hidup hanya untuk bekerja. Itu semua demi mengisi kantong para penguasa yang duduk nyaman di atas penderitaan kita.
Marahku di September, kepada mereka yang dengan entengnya menghisap keringat rakyat dan memeras tenaga manusia hingga ke titik paling rapuh. Keadilan? Itu hanya lelucon. Hukum? Tak lebih dari mainan tangan para pemilik modal. Mereka bebas melakukan apa saja, merampas hak kita, merusak bumi kita, mengorbankan generasi kita, sementara kita—orang-orang biasa—terpaksa diam, tertindas oleh sistem yang tak memberi ruang bagi perlawanan.
Apa gunanya berteriak, kalau suara kita tak pernah sampai? Apa gunanya melawan, kalau setiap langkah kita sudah diawasi, setiap perlawanan kita sudah ditaklukkan sebelum dimulai?Dan yang lebih parah, kita tengah berhadapan dengan adu domba dan dipecah belah 4.0 dengan harga yang harus dibayar mahal. Harga itu konon setara harga perbaikan drainase, harga subsidi pendidikan, dan tata kelola persampahan. Harga itu semua dibayar untuk memperbaiki citra. Ya, benar. Citra pemerintah yang tumpang tindih, terbali.
Karena di negeri ini citra lebih penting dari tindakan nyata. Lebih penting dan tinggi dari inkonsistensi janji yang dijanjikan. Lagi pula, apa itu janji. Tidak ada janji yang dapat dipegang di negeri ini. Yang bergerak dan berjuang dari bawah dikatakan SJW yang konotasinya mencemooh. Yang tidak bergerak dan berjuang dikatakan apatis. Yang tak peduli, tentu saja jadi penumpang gelap dari peristiwa peristiwa perjuangan yang terjadi.
Kapitalisme ini bukan hanya sistem ekonomi, ia sudah menjadi monster yang tak terhentikan. Setiap celah kehidupan diambil alih, bahkan alam yang seharusnya menjadi milik kita semua kini sudah mereka jual. Hutan-hutan ditebang, lahan-lahan subur dihancurkan, dan setiap jengkal tanah dipatok dengan label harga.
Mereka tak pernah peduli bahwa yang mereka lakukan menghancurkan ekosistem, menciptakan bencana yang tak pernah berhenti. Banjir, tanah longsor, polusi udara—semua itu adalah akibat dari kerakusan yang tak pernah kenyang. Dan mereka? Duduk di istana megah, sambil menghitung untung dari kehancuran yang mereka ciptakan.
Namun, yang lebih membuatku marah adalah bagaimana teknologi, yang seharusnya menjadi alat untuk membebaskan, justru menjadi rantai baru yang mengikat kita. Mereka memonopoli pikiran kita dengan algoritma yang dirancang untuk membuat kita patuh, menelan kebohongan, dan terus hidup dalam lingkaran konsumerisme tanpa ujung.
Aku marah melihat bagaimana kehidupan kita semakin terjebak dalam kepalsuan—diatur, diawasi, dimanipulasi. Setiap tindakan kita sudah direncanakan sebelumnya oleh mereka yang duduk di balik layar, para teknokrat yang tak terlihat tapi begitu berkuasa.
Teknologi yang seharusnya memberi kita kebebasan kini menciptakan tirani baru. Kita dijajah tanpa sadar, dijadikan angka dalam statistik besar, data yang diperdagangkan untuk keuntungan pribadi. Dan kita? Hanya pion di permainan besar yang tidak kita pahami, hanya mengikuti arahan, sambil bermimpi tentang kebebasan yang semakin mustahil.
Aku marah. Marah pada dunia yang semakin tidak adil. Marah pada sistem yang memperlakukan kita sebagai mesin penghasil keuntungan. Marah pada pemerintah yang tak lebih dari boneka para kapitalis, menutup mata terhadap penderitaan rakyat. Marah pada diri sendiri karena meski dengan semua kemarahan ini, aku tahu, aku hanya satu dari sekian banyak yang terkutuk, ditakdirkan hidup dalam sistem yang tak memberi jalan keluar.
Harapan? Harapan itu semakin jauh, seperti fatamorgana di tengah gurun. Kita mengejarnya, tapi semakin dekat kita berlari, semakin jauh ia tampak. Ruang hidup kita semakin sempit, mimpi-mimpi kita semakin tak mungkin diraih. Di setiap sudut, korupsi merayap seperti wabah, meruntuhkan pondasi negara ini, menjadikan hukum, keadilan, dan kebenaran sebagai barang langka.
Gempa dan bencana ekologi menghantui setiap langkah, seakan memberi peringatan bahwa alam sudah lelah menunggu keadilan. Alam yang diperkosa oleh tangan-tangan rakus itu kini bersiap untuk balas dendam. Namun, mereka yang seharusnya bertanggung jawab tetap berlindung di balik tembok kekuasaan, menyalahkan kita yang menjadi korban, sementara mereka terus memperkaya diri dari kehancuran yang mereka ciptakan.
Dan di tengah semua ini, kita yang marah hanya bisa berdiri di pinggir, menonton, dan menunggu giliran untuk dihancurkan. September ini, kemarahan bukan lagi hanya perasaan, tapi kenyataan yang menggantung di udara, siap meledak kapan saja. Dan ketika itu terjadi, mungkin kita semua akan dihantam oleh ledakan yang kita ciptakan sendiri.
Ilustrasi: A nutshell
Jika anda menyukai konten berkualitas Suluh Pergerakan, mari sebarkan seluas-luasnya!