Anak Muda Susah Beli Rumah, dan Itu Bukan Sepenuhnya Salah Mereka

Sudah jatuh, tertimpa tangga. Itulah, kurang lebih, gambaran kondisi anak muda hari ini. Erick Thohir, Menteri Badan Usaha Milik Negara, menyebut ada 81 juta anak muda yang sulit membeli rumah karena gaya hidup konsumtif. Uang mereka, kata Ketua Umum PSSI itu, lebih banyak digunakan untuk memenuhi gaya hidup mewah dan pamer di media sosial.

Ucapan Erick Thohir sontak menimbulkan pro dan kontra. Sebagian orang memandang ucapan itu tidak peka terhadap golongan anak muda yang tidak kaya, tidak punya privilese, dan menanggung beban berapis dalam keluarga. Arman Dhani menyebut Erick Thohir perlu mengetahui kondisi generasi sandwich hari ini. Ernest Prakasa mengingatkan mantan bos Inter Milan itu untuk tidak berdiri di atas menara gading.

Namun, betapa pun menjengkelkan, ucapan itu sesungguhnya bukan hal baru. Erick Thohir hanya menambah panjang daftar argumentasi dalam debat tak berkesudahan antara mazhab “kerja keras” dan mazhab “ketimpangan struktural”. Erick Thohir, seperti kebanyakan penganut mazhab pertama, tentu saja akan mengucapkan kata-kata untuk menegaskan “semua orang bisa membeli rumah, asal bekerja keras dan berdoa”. Menjengkelkan, ya, tetapi mengejutkan sama sekali tidak.

Mazhab kedua, sebaliknya, menyatakan ketidakmampuan generasi muda membeli rumah merupakan konsekuensi dari struktur sosial-ekonomi yang timpang. Berbekal kacamata Marxian, mereka memandang konsentrasi kekayaan di satu pihak dan eksploitasi di pihak lain telah menyebabkan anak muda harus bersyukur jika mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari. Rumah, tentu saja, adalah privilese bagi mereka yang telah selesai dengan kebutuhan itu. Apa sesungguhnya terjadi?

Milenial Kelas Pekerja dan Milenial Anak Penggede

Usah buru-buru menghakimi; pernyataan Erick Thohir tak sepenuhnya salah. Namun, pernyataan itu hanya berlaku bagi anak-anak muda yang menghabiskan waktunya di coffee shop atau jalan-jalan ke luar negeri. Untuk bisa melakukan hal-hal itu, paling sedikit mereka adalah anak pejabat eselon III atau pebisnis yang berkantor di SCBD. Sementara itu, anak-anak buruh kontrak bergaji UMR, apa pula “mitra” yang gajinya tak pasti seperti kemarau dan penghujan, hanya bisa menggigit jari. Pertanyaan kemudian, apakah anak-anak muda jenis pertama memiliki kesulitan dalam membeli rumah?

Dalam memahami kesulitan anak muda membeli rumah, kita tampaknya perlu lebih mendudukkan relasi kelas dan daya beli. Anak-anak muda, sebut saja milenial kelas pekerja, tak perlu dijelaskan panjang lebar memiliki akses terbatas untuk memiliki hunian. Musababnya ada banyak, mulai dari upah rendah, modal minim, hingga beban berlapis. Kondisi tersebut tidak muncul begitu saja, melainkan hasil dari relasi eksploitasi antara milenial kelas pekerja dan bos mereka.

Sebaliknya, milenial anak penggede, yang disebut punya gaya hidup konsumtif, jelas tak masuk dalam kategori ini. Toh, anak-anak muda itu tampaknya sama sekali tak memiliki kesulitan dalam membeli rumah—kecuali kelak harta orang tua mereka terbukti hasil korupsi. Maksud Erick Thohir tentu sulit dipahami, sebab dia menggunakan kategori kedua (milenial-anak-penggede) untuk menjelaskan kondisi pertama (sulit-membeli-rumah). Padahal, akses mereka jelas berbeda, apa pula daya beli.

Di Bawah Rezim Perampas Ruang Hidup

Milenial kelas pekerja, atau anak-anak muda yang sulit mendapatkan akses kehidupan memadai ketika memasuki usia kerja, selalu ada dalam setiap generasi. Di bawah pemerintahan Hindia Belanda, terjadi gelombang migrasi yang masif di Jawa pada akhir abad ke-19. Hal ini, menurut sejumlah studi, merupakan akibat dari Agrarische Wet 1870 yang, secara populer, kerap disebut sebagai politik pintu terbuka. Tanah-tanah yang beralih fungsi menjadi perkebunan-perkebunan besar. Dua puluh tahun kemudian, hal itu memaksa anak-anak muda yang cukup dewasa harus mencari ruang hidup di tempat lain.

Hari ini, situasi tersebut nyaris berulang. Ruang-ruang hidup dan sumber-sumber agraria dikuasai oleh para elite yang, secara populer, disebut oligarki. Bedanya, Indonesia hari ini bukan Indonesia dua abad lalu yang masih memiliki cukup ruang untuk menyisakan pilihan-pilihan alternatif. Hari ini, ruang hidup nyaris tak bersisa. Anak-anak muda pun tak memiliki banyak pilihan kecuali mengabdikan tenaganya kepada rezim oligarki tersebut. Nyaris tak cukup waktu menabung membeli rumah, apa pula memenuhi gaya hidup.

Sayangnya, upah mereka di bawah resim tersebut sungguh kecil. Orang bisa berdebat pernyataan ini harus memperhatikan perbedaan kondisi tiap daerah. Namun, sebuah analisis tentang “Cost of Living Comparison Calculator” menunjukkan tren global tentang laju pertumbuhan harga rumah yang lebih pesat dibanding pertumbuhan gaji. Selama satu dekade terakhir, harga rumah tumbuh di angka 30 persen. Sementara itu, pendapatan berada di angka 11 persen.

Tren ketimpangan pun terjadi di Indonesia. Bank Indonesia melaporkan harga properti di Indonesia meningkat sebesar 2 persen secara year on year (yoy) pada triwulan 4 2022. Yogyakarta memiliki kenaikan harga paling tinggi sebesar 5,05 persen. Capaian itu mengalahkan Manado sebesar 4,10 persen, Bandung sebesar 2,97 persen, Balikpapan sebesar 2,86 persen, dan Pontianak sebesar 2,58 persen.

Di sisi lain, sampai tulisan ini ditulis, Yogyakarta masih dikenal sebagai destinasi favorit untuk belajar dan berlibur. Namun, mengingat UMR di kabupaten dan kota di provinsi tersebut yang terkenal rendah, ia sekaligus destinasi paling tidak populer untuk bekerja. Pemerintah Provinsi telah menetapkan kenaikan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) 2023 pada akhir 2022 lalu dalam kisaran sebesar 7,60 hingga 7,90 persen. Namun, itu tak sebanding dengan harga rumah yang terus melonjak.

Tak berhenti di situ, kenyataan masih diperparah dengan tabiat para pejabat yang gemar memiliki hunian lebih dari satu buah. Bukan untuk mengistirahatkan badan, melainkan kanal-kanal pencucian uang. Harga properti tinggi dan terus meningkat merupakan lahan-lahan basah menjanjikan bagi siapa pun yang ingin mendorong pendapatan tanpa meneteskan keringat. Satu per satu pejabat itu berakhir mengenakan rompi oranye KPK. Namun, rumah-rumah masih tak terbeli.

Atau Erick Thohir, sesungguhnya, sedang berpikir jauh? Dia, selengkapnya, menyatakan begini, “Data lainnya 81 juta milenial, anak muda tidak punya rumah.” Milenial selalu dicirikan dengan kefasihan teknologi. Sementara itu, anak-anak petani atau mereka yang hidup di pelosok, meskipun lahir pada 1990-an, tak selalu memiliki karakteristik itu. Jangan-jangan, Erick Thohir mengamini bahwa term milenial itu eksklusif, terlalu general, dan tak peka kelas? Mari berimajinasi.


Penulis: Han Revanda Putra

Ilustrasi: Hisam

Scroll to Top