2025, Bersiap Menuju Zaman Gelap

“Ketika yang lama tengah sekarat, sementara yang baru tak kunjung lahir. Pada masa peralihan seperti ini berbagai bentuk gejala yang mengerikan akan muncul di hadapan kita” (Antonio Gramsci)

“Seluruh hidup adalah eksperimen. Semakin banyak eksperimen yang anda lakukan akan semakin baik” (Ralph Waldo Emmerson)

Di akhir tahun secara mengejutkan pemerintah bersikukuh menaikkan pajak PPN. Walau mendapat cercaan di lini media sosial tapi keputusan itu tidak diubah. Sama halnya dengan usulan Presiden untuk mengubah sistem Pilkada. Dari pemilihan langsung kembali ke pemilihan melalui DPRD. Walau mendapat protes tapi opini Presiden seperti sebuah titah. Dicari mekanisme agar keinginan itu bisa dipenuhi karena Presiden selama ini mendapat kebebasan untuk berpendapat dan berbuat apa saja. Saat memberi dukungan terang-terangan pada kandidat di Pilkada tak ada pihak berwenang yang menyatakan itu sebagai pelanggaran. Kita seperti memperlakukan orang sebagai Raja bukan sekedar Presiden.

Inilah masa dimana kekuasaan berdiri tanpa keberadaan oposisi. Kekuatanya biar dianggap besar dan solid  ditampilkan melalui banyaknya pejabat yang dilantik. Kita tidak harus menjadi pakar ekonomi untuk mengatakan besarnya APBN untuk menanggung gaji mereka1. Jumlah pejabat yang tidak masuk akal itu jadi beban masalah di luar soal-soal pokok yang menghantui bangsa ini di masa mendatang: jumlah pengangguran yang terus meroket2, banyaknya pabrik yang mem-PHK pekerjanya, menurunya jumlah kelas menengah3 hingga sulitnya rakyat mendapat perlindungan. Belum terhitung warisan masalah yang ditinggalkan oleh pemerintahan sebelumnya: salah satunya hutang luar negeri dalam jumlah fantastis4. Seorang pengamat mengatakan warisan pemerintahan Jokowi dalam bidang ekonomi adalah ekonomi tak efisien. Cirinya: investasinya yang tidak membuka lapangan kerja bahkan tidak mampu mengungkit angka pertumbuhan ekonomi.

Basis pertumbuhan ekonomi Indonesia di era Jakowi adalah ekstraksi sumber alam. Dasar pertumbuhan ekonomi yang malah menciptakan kerusakan lingkungan dan konflik agraria di berbagai wilayah5. Lingkungan rusak bawa bencana sedang konflik agraria dipicu diantaranya oleh Proyek Strategis Nasional6.  Karena bersumber dari ekstrasi sumber alam itulah muncul ketimpangan sosial yang bersumber pada pembagian kue ekonomi yang tidak merata. Malah secara gegabah pemerintah memberikan konsensi tambang pada ormas agama. Sayangnya ormas agama menerima tawaran ‘haram’ ini. Artinya ormas agama sebagai kekuatan masyarakat sipil tidak memiliki kepekaan pada soal lingkungan apalagi keadilan. Padahal pemberian konsensi ini tak lain adalah upaya untuk ‘melemahkan’ posisi ormas keagamaan di hadapan negara apalagi oligarki. Oligarki makin menguat kedudukanya karena berhasil menempatkan dirinya-tidak hanya di ormas agama tapi- di parlemen hingga istana. Karena oligarki itulah Jakowi dulu berhasil merusak semua lembaga demokrasi dengan cara ‘legal dan prosedural’

Tentu pengrusakan bangunan demokrasi ini bukan tidak dilawan. Demokrasi ‘kelas rendahan’ ini membuat marah banyak kalangan. Di berbagai tempat mahasiswa, masyarakat hingga akademisi menyatakan protes. Tapi Polisi dan TNI menjawabnya dengan tindakan represi. YLBHI dan KontraS mencatat ada banyak kekerasan dilakukan aparat dalam merespon aksi massa. Polisi dan TNI juga sering melakukan intimidasi, tekanan hingga kriminalisasi pada aktivis masyarakat sipil. Polisi tercatat berulang kali melakukan penembakan di luar prosedur sekaligus penganiayaan pada warga sipil. Besarnya otoritas yang dimiliki oleh Kepolisian membuatnya ‘turut campur’ dalam urusan Pemilu hingga Pilkada. Tuduhan atas keberadaan ‘partai cokelat’ yang memicu gagasan untuk mengembalikan Polisi pada TNI atau menempatnya di bawah Kemendagri. Tak hanya Polisi juga TNI yang ikut dalam pendudukan jabatan sipil. Kekuasaan dan wewenang besar pada dua institusi aparat keamanan ini akan membuat Dwi Fungsi hidup kembali. Bahkan KPK kini kembali dikuasai oleh Polisi.

Komite Politik memprediksi di tahun 2025 kita akan masuk zaman gelap.  Zaman ini pertama-tama ditandai oleh makin berkuasanya ‘rezim pemangsa’ (predator) Ciri utama rezim pemangsa adalah aparatusnya yang berkuasa, sebagaimana dari istilahnya, dengan cara mirip binatang pemangsa: memberangus warga yang protes, mencaplok banyak hak milik warga, membunuh otonomi partai, menggelapkan uang rakyat dan mengelola bangunan politik dan ekonomi secara nepotis7. Dalam rezim seperti ini kekayaan dan gaya hidup pejabat makin jauh dari kehidupan rakyat sehari-hari. Apalagi tidak ada pembatasan harta mereka bahkan laporan kekayaan pejabat tidak dapat diusut asal-usulnya. Dalam rezim pemangsa tidak ada beda antara eksekutif, legislatif dan yudikatif karena mereka hanya bekerja dalam pembagian memangsa satu sama lain. Maka akan ada banyak peristiwa pencaplokan ‘hak milik’, penyelewengan aparat hukum hingga meluasnya pengaruh kekuasaan dinasti. Rezim pemangsa akan selalu lapar lahan, lapar dukungan, lapar popularitas, lapar pungutan dan lapar kekuasaan.

Apa yang membuat rezim pemangsa ini berbahaya? Pertama tindakan dan keputusan rezim digerakkan pertama tama oleh kepentingan diri, kerabatnya, lingkaran terdekatnya. Semua tindakan diukur berdasar dampak bagi kekuasanya bukan untuk rakyatnya. Lihatlah kriteria pemilihan pejabat yang didasarkan pada lingkaran pendukung hingga ada berbagai upaya untuk menghapus jejak pelanggaran HAM. Bahkan banyak pejabat merupakan sisa dari rezim lama yang menunjukkan belum usainya pengaruh Jakowi. Kedua kalkukasi tindakan yang diambil tidak didasarkan pada keadilan serta kesejahteraan tetapi bagaimana menguntungkan atau tidak bagi para kroni pendukung. Memilih untuk menaikkan pajak, memperbanyak jumlah pejabat, penempatan banyak kalangan purnawirawan militer di dalam jabatan sipil, memaafkan koruptor hingga menggulirkan ide demokrasi santun. Tindakan itu semua beresiko bagi keadilan maupun demokrasi. Efek yang paling kelihatan adalah situasi sosial yang runyam: kompetisi politik kehilangan etika hingga aparat keamanan mudah sekali bertindak brutal. Semua ini residu dari bangunan rezim predator.

Resiko dari munculnya rezim pemangsa adalah bangunan institusi ekonomi dan politik yang ekstraktif8. Pada tahun 2025 akan muncul situasi yang berulang dimana kekuasaan akan tetap berada di tangan segelintir kelompok elite dan publik memiliki kontrol yang sangat lemah terhadap penggunaan kekuasaan itu. Masing-masing elit akan berupaya untuk menguasai insititusi ekonomi dan politik terutama penguasaan atas kontrol dan akses sumber daya ekonomi. Mereka akan mengulang taktik lama: mendorong regulasi yang menguntungkan usaha mereka, melakukan intervensi pada bangunan hukum hingga penjarahan dengan perlindungan penuh aparat negara. Selain itu penempatan kolega serta orang-orang terdekat di jabatan strategis. Supaya tetap mendapatkan dukungan populer dari publik akan ada upaya terus menerus untuk menggalang bantuan sosial diatas-namakan dirinya, memperbanyak para pendengung hingga bersikeras mempertahankan kebijakan populis walau beresiko. Terus dipertahankan kebijakan memberi bansos agar rakyat merasa aman, sebagaimana di ratusan tahun lalu: rakyat diberi roti dan tontonan sirkus supaya bahagia dan terhibur.

Supaya mendapat dukungan lebih kuat maka -di tahun ini- ada upaya untuk terus-menerus melakukan politik ‘perangkulan’9. Di kabinet sekarang ini, upaya merangkul dilakukan dengan mengangkat orang-orang yang memberi dukungan atau yang dulu pernah berseteru. Terus diupayakan cara bagaimana tercipta kondisi ‘saling pengertian’ antar elite supaya kekuasaan mendapatkan loyalitas dari sekitarnya. Upaya merangkul ini makin mengaburkan makna oposisi hingga menjauhkan parlemen bahkan gerakan dari kemampuan untuk melakukan kontrol. Dirangkul banyak aktivis dalam kabinet, mengajak elite ormas agama untuk duduk sebagai menteri hingga para akademisi mendapat kedudukan istimewa. Pemerintah menginginkan lebih banyak ‘persetujuan’ pada programnya ketimbang ‘kesangsian apalagi penolakan’. Strategi perangkulan ini sudah dilakukan di masa pemerintahan sebelumnya dengan efek yang luar biasa besarnya: jinaknya kekuatan massa rakyat dan makin meluasnya agen-agen penguasa di berbagai tempat. Secara umum zaman gelap ini bukan mustahil tidak menimbulkan keresahan apalagi pemberontakan. Benih-benih kemarahan itu sudah mulai muncul, tumbuh dan makin berani. Ada awan gelap yang sedang bergerak tapi juga badai yang bisa menyapunya.

Badai itu sudah bergerak di tahun-tahun ini. Protes meski tak bertahan dalam waktu lama tapi mengguncang keputusan politik. Juga mulai tumbuh lapisan anak-anak muda yang secara provokatif menyuarakan pandangan kritisnya atas keputusan pemerintah, pada tingkah laku pejabat hingga pada rencana yang didengungkan oleh elite. Kini juga tumbuh berbagai gerakan politik perlawanan yang basisnya adalah problem di masyarakat sekitar untuk kemudian jadi gema solidaritas di level nasional. Upaya ini memang belum menyatu jadi kekuatan politik yang besar tapi konsolidasi terus coba dilakukan. Pada sisi lain elite politik tak selamanya bersatu kepentinganya: korupsi, perebutan lahan konsensi hingga dualisme organisasi terus akan berkembang. Pemerintah tidak bisa melakukan politik ‘tangan besi’ karena itu akan membuat legitimasinya semakin menurun: kelas menengah terdidik yang kini kena pukulan krisis mustahil berdiam diri. Yang dikecewakan bukan hanya mereka, tapi anak-anak muda yang tahu-gara-gara dinasti politik-kesempatan mereka makin dipersempit.

Arus kecewa pada keputusan parlemen berulang-ulang terjadi. Kemarahan pada KPK pernah memunculkan gerakan massa. Bahkan gejolak karena UKT-Uang Kuliah Tunggal- telah menimbulkan kebijakan penundaan. Arus kegeraman dan kemarahan akan bisa meledak setiap waktu: hanya perkara hinaan pada penjual es teh saja mampu membuat mundur pembantu Presiden. Singkatnya rakyat tidak lagi mudah dimanipulasi karena punya saluran untuk menyatakan opini. Media sosial seperti buldoser yang bisa menggilas jabatan. Inilah zaman kegelapan tapi jadi sumber harapan bagi gerakan rakyat. Saatnya gerakan berani melakukan kalkulasi pada setiap momen kekecewaan untuk bisa membuatnya jadi gelombang kekuatan politik yang bisa mendorong perubahan yang signifikan. Saatnya api informasi tentang situasi gelap itu mampu mendorong kekuatan massa untuk mengorganisir diri menjadi kekuatan politik yang nyata. Tidak hanya didasarkan pada survei popularitas bahkan tidak pula dikanal jadi bagian dari partisipasi semata melainkan blok politik yang diperhitungkan. Jangan pernah lagi kekuatan itu dikooptasi apalagi dirangkul sebagaimana blok politik yang dulu pernah tersusun. Kini waktunya kita bergabung dalam Komite Politik untuk melawan ZAMAN KEGELAPAN.


Catatan Kaki :

  1. Lembaga Celios menyebut potensi pengeluaran negara bertambah sekitar Rp 1,95 triliun selama satu periode pemerintahan sebagai konsekuensi penambahan belasan kementrian baru. Kompas 31 Oktober 2024 ↩︎
  2. Data Badan Pusat Statistik menyebutkan pada 2023, sebanyak 9,9 juta penduduk generasi muda usia 15-24 tahun tidak bekerja sekaligus tidak sekolah atau menjalani pelatihan. Lih Tempo  22 Desember 2024 ↩︎
  3. Data terakhir Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan 9,48 juta warga kelas menengah turun kelas dalam lima tahun terakhir. Kini proporsinya hanya 17,13% dari total populasi, turun dari 21,45% pada lima tahun silam. Padahal proporsi kelas menengah diharapkan mencapai sekitar 70% dari total populasi pada 2045. Lih Detik, 20 Sept 2024 ↩︎
  4. Menurut catatan Kementrian Keuangan jumlah utang Pemerintah per 31 Desember 2023 sebesar Rp 8.144,6 trilliun dengan rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 38,59 persen. Dalam dua periode kepemimpinan Jokowi, selama sembilan tahun terakhir, utang pemerintah bertambah Rp 5.535,6 trilliun atau naik tiga kali lipat (212 persen) apalagi beban pembayaran bunga utang di APBN 2024 telah mencapai Rp 497,3 trilliun. Alokasi anggaran untuk membayar bunga utang itu meningkat signifikan hingga dua kali lipat melampaui belanja modal dan kini menduduki posisi tertinggi di atas jenis belanja lainnya dalam komponen belanja pemerintah pusat. Lih Kompas 24 Februari 2024 ↩︎
  5. Konsorsium Pembaharuan Agraria mencatat dari 2015 hingga 2023 sebanyak 2.932 konflik yang melibatkan lahan seluas 6,3 juta hectare serta menggusur 1,75 juta keluarga petani, buruh, nelayan dan masyarakat Adat. Koran Tempo 26 September 2024 ↩︎
  6. Dengan memberi label PSN Presiden Jakowi melahirkan keputusan yang mengakibatkan terjadinya perampasan tanah, penggusuran dan kriminalisasi rakyat. Hingga Juli 2024 perampasan tanah rakyat demi PSN di 134 lokasi telah mencapai 571.000 ha dan 1,86 juta ha di 11 provinsi demi proyek food estate. Data yang dikumpulkan KPA selama kurun waktu 2015-2023 menunjukkan bahwa 10 besar provinsi yang menjadi penyumbang konflik agrarian merupakan wilayah yang mengalami guremisasi yang sangat signifikan. Petani gurem adalah petani yang menguasai lahan kurang dari 0,5 ha. Lih Kompas 25 September 2024 ↩︎
  7. Lih B Herry Priyono, Memburu Manusia Ekonomi, Menggeledah Naluri, Kompas, 2022 ↩︎
  8. Lih Daron Acemoglu & James A. Robinson, Mengapa Negara Gagal: Awal Mula Kekuasaan, Kemakmuran dan Kemiskinan, PT Elex Media Komputindo, Kompas, Gramedia, 2020 ↩︎
  9. Lih Antonius Made Tony Supriatma, Politik Indonesia: Bergerak ke Arah Kartel?, Oligarki, Teori & Kritik, Margin Kiri & Indoprogress, 2020 ↩︎

Penyunting : Michel Aflaq

Jika anda menyukai konten berkualitas Suluh Pergerakan, mari sebarkan seluas-luasnya!
Ruang Digital Revolusioneir © 2024 by Suluh Pergerakan is licensed under CC BY-SA 4.0