
“Yang lebih parah di antara binatang-binatang buas, adalah sang Tiran, di antara binatang-binatang jinak adalah si penjilat” (Plato)
“Untuk berfungsinya suatu Rezim yang terdiri atas para pendusta memang dibutuhkan kepatuhan lebih dari pada kejujuran, namun kejujuran harus senantiasa dilantunkan agar kepatuhan tampaknya berisi” ( F Budi Hardiman)
“Setiap kali seorang tampil memperjuangkan sesuatu yang ideal, atau bertindak memperbaiki banyak hal yang lain, atau mogok menentang ketidak-adilan, maka dia telah mengirimkan gelombang kecil pengharapan, kemudian saling melintas silang dengan yang datang dari sejuta pusat energi dan tekad yang berbeda-beda, lalu menyatu membentuk satu arus yang dapat meruntuhkan tembok-tembok penindasan dan perlawanan” (Robert Kennedy)
Setiap kamis sore di hampir 70 kota berhimpun warga dari berbagai kalangan: ibu-ibu korban, anak-anak muda, para profesional hingga rohaniawan. Mereka menyulut ingatan akan tragedi pelanggaran HAM yang berulang kali terjadi. Deklarasi mereka sangat menawan: Hidup Korban-Jangan Diam-Lawan! Pada waktu bersamaan mereka juga menyaksikan bagaimana mudahnya para pelaku pelanggaran HAM itu duduk dalam kekuasaan, bagi-bagi jabatan bahkan dengan percaya diri mengatakan dirinya tidak bersalah sama sekali. Yang lebih menyesakkan lagi anak-anak muda korban penculikan dengan tanpa malu bersatu bersama para penculiknya. Kita bukan lagi melihat dikuburkannya keadilan tapi kejahatan yang sedang merias diri.
Mereka berusaha untuk mengubah masa lalu. Bahkan ada ajakan untuk melupakan masa lalu. Mereka ingin mempertahankan hak istimewanya. Berkuasa dan tetap berpengaruh. Modusnya selalu sama: menempatkan hukum sebagai kendaraan kepentingan hingga mereka sulit sekali untuk diadili. Berulang kali tuntutan korban ditolak gugatanya hanya karena soal prosedural. Di samping itu mereka memakai hukum sebagai alat pembenar bagi semua tindakan. Bahkan melalui mekanisme hukum, mereka berusaha memperdaya korban. Inisiatif membuat berbagai tim hanya untuk menjauhkan korban mendapatkan keadilan yang sesungguhnya. Singkatnya seperti kata Trasymachus: ‘Hukum tidak lain kecuali kepentingan mereka yang kuat’ Tidak ada penguasa dari periode manapun yang berani mengadili para penjahat HAM ini.
Jeremy Bentham mengatakan: hukuman pertama-tama bukan balas dendam tetapi upaya mencegah terjadinya kejahatan yang lebih berat di masa-masa mendatang. Ringkasnya tanpa hukuman maka kejahatan akan berulang-ulang terjadi. Ingatlah belakangan ini kasus dimana penyalah-gunaan senjata api marak: polisi tembak polisi, tentara tembak warga hingga polisi tembak pelajar. Sepertinya kegiatan membunuh itu jadi menyebar dan biasa dilakukan. Hingga lama kelamaan kita jadi sulit untuk memahami siapa yang sebenarnya penjahat dan mana yang aparat. Yang lebih membahayakan pola penyelesainya selalu sama: dilabel sebagai oknum, salah prosedur dan pertanggung jawaban dilempar ke bawahan. Ada impunitas yang selalu jadi benteng gagalnya penyelesaian pelanggaran HAM. Konsekuensinya pelanggaran berulang-ulang terjadi.
Maka kekuasaan seperti kecanduan untuk mengorbankan rakyatnya. Baik melalui Proyek Strategis Nasional yang berdampak pada rusaknya lingkungan maupun industrialisasi yang mengorbankan tanah rakyat. Pada kasus-kasus semacam ini rakyat lagi-lagi tidak mendapat perlindungan, pembelaan bahkan pengakuan atas hak miliknya. Rakyat dianggap sederet kawanan yang dengan mudah dijamu oleh bantuan sosial lalu diyakinkan bahwa negara ingin memajukan kehidupanya. Tumpuan kemajuan itu ada dalam kata pertumbuhan dan bukan keadilan. Mantera penguasa selalu efisien, efektif dan presisi. Ada baiknya kita dengarkan apa petuah John Stuart Mill: ‘jika urusan pemerintah menyangkut efisiensi dan efektivitas tentulah para diktator dan tiran dapat lebih efektif dan efisien’. Betapa bahaya jika Tiran dibiarkan berkuasa dengan memanipulasi kesadaran publik: kalau pelanggaran HAM sekedar peristiwa masa lampau.
Aksi Kamisan merupakan unjuk kekuatan korban dan warga bahwa kekuasaan tidak lagi bisa mengabaikan protes massa yang berlipat ganda di banyak kota. Aksi Kamisan ingin menyingkapkan fakta atas masa lalu negeri ini dan kenyataan hari ini kalau pelanggaran HAM berulang kali terjadi. Hanya Aksi Kamisan yang masih setia untuk memelihara politik jalanan, melakukan insiatif untuk memobilisasi massa dalam skala mingguan dan kini mulai menggerakkan kesadaran banyak kalangan untuk terlibat. Hanya Aksi Kamisan yang secara berani menciptakan ‘rutinitas perlawanan’ dan mengajak semua orang untuk menghidupkan ruang politik jalanan yang bisa dirasakan bersama. Diam-diam Aksi Kamisan telah menjadi sumber inspirasi anak muda untuk memahami politik sebagai tindakan yang dilakukan demi tujuan kehidupan bersama dan keadilan. Politik bukan bagi-bagi jabatan apalagi hanya soal memenangkan pemilihan.
“Politik harus dipandu oleh ‘yang benar’ bukan oleh ‘yang legitim’” (Plato)
“Keadilan adalah keutamaan terpenting institusi sosial sebagaimana kebenaran merupakan keutamaan terpenting sistem pemikiran” (John Rawls)
“Menurut pengalaman saya sendiri, kami hanya punya satu pilihan….jika berjuang menggunakan hukum, kami pasti kalah. Jika mengangkat senjata kalah juga. Rakyat cuma punya satu jalan keluar, yaitu turun ke jalan….” (Siang pejuang Thailand)
11 tahun yang lalu SMI didatangi oleh kawan-kawan KontraS. Diajak untuk membuat Aksi Kamisan. Awal mulanya hanya beberapa anak muda yang melibatkan diri. Memegang spanduk serta payung hitam lalu berdiri mengelilingi Tugu. Aksi yang secara fotografis sangat indah karena Tugu simbol dari garis yang magis yang menghubungkan Laut Selatan, Keraton Yogya dan Gunung Merapi. Pada awal berdiri Tugu gambaran Manunggaling Kawula Gusti, yaitu semangat persatuan rakyat dan penguasa untuk melawan kolonialisme. Dulu maknanya adalah patokan arah saat Sri Sultan Hamangku Buwono I melakukan meditasi yang menghadap ke puncak Gunung Merapi.
Simbol Tugu sebagai ‘perlawanan’ itulah yang mengilhami anak-anak muda untuk menggelar Aksi Kamisan disana. Selama 11 tahun Aksi Kamisan menjadi panggung bagi banyak korban untuk menyuarakan tuntutanya: PKL Malioboro, Urut Sewu Kebumen, Proyek Wadas, Bandara NYIA hingga solidaritas korban petani di Pakel. Tak hanya itu Aksi Kamisan juga punya Sekolah yang mengajak anak-anak muda belajar: memahami sejarah Kamisan, bagaimana taktik dan metode aksi serta pelibatan kampus untuk terlibat dalam Aksi Kamisan. Singkatnya dari Aksi Kamisan muncul berbagai inisiatif gerakan yang pelopornya adalah anak-anak muda. Bahkan sejumlah kampus menyelenggarakan kuliah dalam Aksi Kamisan. Aksi Kamisan telah menjelma jadi ruang perlawanan yang ekspresif, kreatif dan imaginatif.
Aksi Kamisan menjadi kian populer hingga menjadi bagian dari identitas Tugu. Berulang kali poster tuntutan Aksi Kamisan viral di media sosial karena peryataanya mewakili keresahan publik. Dari soal kejahatan HAM hingga ketimpangan ekonomi. Itu sebabnya aksi kamisan bukan sekedar strategi politik instrumental tapi bagaimana pengalaman dalam Aksi Kamisan mampu mempengaruhi kesadaran politik, menghidupkan solidaritas dan menguatkan identitas politik publik. Aksi Kamisan di Tugu secara berhasil telah membangun makna politik sekaligus ekspresi simbolis yang mana Tugu tidak hanya jadi simbol dari garis magis tapi juga ‘medan perlawanan’ anak-anak muda. Terhadap ketidak-adilan yang dulu diperankan oleh rezim kolonial.
Aksi Kamisan tidak hanya membidik kejahatan HAM tapi juga menghidupkan kembali demonstrasi yang kadang mendapat stigma ‘bayaran, momentum dan ditunggangi’. Aksi kamisan berusaha untuk ‘mempertahankan’ daya tahanya sehingga dalam jangka panjang berhasil merekatkan banyak pihak untuk terlibat dan secara diam-diam meningkatkan integritas peserta aksi. Makin banyak kalangan selalu bertanya ke SMI bagaimana terlibat dalam Aksi Kamisan, mengajak kolaborasi lewat Aksi Kamisan bahkan menjadikan Aksi Kamisan sebagai ruang belajar protes jalanan. Singkatnya Aksi Kamisan secara berhasil mengokupasi ruang publik untuk menjadi ‘wilayah perlawanan’ mingguan. Jalanan di sekitar Tugu tiap kamis telah jadi peneguhan dan melegitimasi identitas anak muda sebagai kekuatan politik yang signifikan. Mari bersama-sama bergabung dan terlibat dalam Aksi Kamisan.
Editor : Michel Aflaq