Masyarakat tidak diciptakan untuk seniman tetapi seniman untuk masyarakat
Moh Noerdiansyah
Oleh Moh Noerdiansyah & Zain N. Haiqal
Mendengar kata seni mungkin tidak asing lagi ditelinga kita. Meskipun demikian akan menjelaskan sekilas dan mendasar pengertian seni itu sendiri. Seni adalah keindahan dan keindahan itu terbagi menjadi dua bagian ada keindahan alam dan ada keindahan manusia. Keindahan alam, yakni keindahan yang diciptakan langsung oleh tuhan, yakni, hutan, gunung, lautan, dan masih banyak lagi. Keindahan manusia adalah hasil tiruan manusia terhadap alam, misalnya lukisan gunung, lukisan lautan, lukisan hutan. Manusia sejak lahir dikaruniai sifat meniru, baik buruknya sifat manusia tergantung dari lingkungan dimana dia lahir tumbuh dan berkembang.
Ron Eyerman mengatakan bahwa Seni merupakan bagian yang mapan dari repertoar gerakan sosial. Representasi artistik penting bagi dinamika gerakan internal dan dalam mengkomunikasikan ide-ide gerakan kepada dunia yang lebih luas. Praktik-praktik seni membentuk inti dari aspek-aspek simbolis dan ekspresif gerakan sosial. Ketika diciptakan dalam konteks gerakan, seni mengungkapkan kebenaran sebagaimana gerakan melihatnya.
Pada saat yang sama dan melalui proses yang sama, representasi dan ekspresi artistik membuat gerakan itu terlihat dengan sendirinya. Dengan demikian, seni gerakan adalah bagian dari masa depan sebuah gerakan sosial. Seni yang diciptakan dalam sebuah gerakan sosial mengobjektifikasi ide dan emosi yang memotivasi dan memandu gerakan tersebut, menyediakan cermin bagi gerakan untuk mengenal dirinya sendiri. Proses objektifikasi dan representasi yang sama memungkinkan untuk mentransmisikan tradisi protes melalui ruang dan waktu. Dengan objektifikasi dan diwujudkan, seni gerakan sosial menciptakan kembali tradisi protes dan menjadi sumber daya siap pakai untuk gerakan lainnya.
Pertunjukan selalu berhubungan dengan masyarakat secara luas. Para seniman yang kolaboratif, partisipatif, dan terbuka untuk umum telah memadukan komentar mereka tentang kehidupan sehari-hari dengan keterlibatan politik, menciptakan aksi dan pertunjukan yang merespons dan didorong oleh banyak gerakan aktivis di sepanjang abad ke-20, dan juga saat ini.
Para penulis The Beat dan karya mereka adalah contoh yang baik untuk hal ini: khususnya Howl karya Allen Ginsberg. Ginsberg adalah bagian dari apa yang kemudian dikenal sebagai generasi Beat, (terutama) para pemuda (termasuk Jack Kerouac dan William S. Burroughs) yang menulis tentang kehidupan mereka sendiri, mengeksplorasi dan melepaskan diri dari kekangan masyarakat tahun 1950-an melalui minuman, narkoba, dan seks.
Ginsberg mementaskan Howl untuk pertama kalinya pada tahun 1955, di Six Gallery di San Francisco, dan diterbitkan dalam kumpulan karya Ginsberg pada tahun berikutnya. Melanggar aturan puisi dan masyarakat, puisi visioner yang energik ini mencerca cita-cita konsumerisme yang berlaku di Amerika pada saat itu, dan menggambarkan penderitaan orang-orang sezamannya yang berjuang melawan dunia ini, yang hanya dilepaskan oleh kehancuran dan kegilaan. Namun, yang membuat puisi ini paling terkenal adalah referensinya terhadap seks, khususnya homoseksualitas, yang memicu kasus kecabulan. Meskipun akhirnya dibatalkan, publisitas seputar kasus tersebut membawa Howl menjadi perhatian khalayak global, meningkatkan pengaruh ‘kontra-budaya’ yang jauh lebih luas daripada wilayah Teluk San Francisco yang penuh simpati. Howl dan ide-ide pemberontakan yang dieksplorasinya menjadi salah satu momen penting dalam kebangkitan gerakan aktivis pemuda pada tahun 1960-an.
Tentu saja, seni dan pertunjukan yang bermotivasi politik bukanlah hal baru pada tahun 1950-an. Sebelum dan di antara perang dunia pertama dan kedua di Eropa, sejumlah gerakan seni seperti Futuris Italia, telah menyebarkan cita-cita politik atau anti-kemapanan mereka melalui berbagai bentuk seni, termasuk pertunjukan. Namun setelah Perang Dunia Kedua, perubahan adat istiadat sosial, yang didukung oleh komunikasi media massa, dan kebangkitan budaya anak muda (ketika generasi Baby Boom menjadi dewasa muda), telah menyebabkan protes yang meluas terhadap berbagai bagian dari status quo politik dan sosial. Gerakan Hak-hak Sipil di AS semakin meningkat pada akhir 1950-an dan awal 1960-an.
Penggunaan metode protes tanpa kekerasan dan pembangkangan sipil (berdasarkan tindakan Gandhi di India) untuk menyoroti dan memprotes segregasi rasial di tempat umum di AS, seperti aksi duduk atau ‘naik kendaraan gratis’ di transportasi yang tersegregasi, menjadi contoh protes dan aksi massa di ruang publik. Pada pertengahan tahun 60-an, setelah Krisis Rudal Kuba dan pembunuhan Presiden AS John F. Kennedy, protes anti-perang terhadap Perang Vietnam juga terjadi, dengan para pemuda membakar kartu wamil dan pawai serta demonstrasi yang terjadi di seluruh AS dan lebih luas lagi. Musisi Joan Baez dan Bob Dylan, dengan lagu-lagu protes mereka yang terinspirasi oleh rakyat, menjadi tokoh gerakan protes dan seni juga mengambil tempat sebagai protes dengan cara yang serius dan lucu, langsung dan miring.
Makna dari pergerakan itu sendiri adalah sebuah perjuangan untuk mencapai dan menuju sebuah perbaikan. Pergerakan didasari pola pikir progresif akan menganggap kegagalan bukan sebagai bukti ketidakcerdasan seseorang, namun sebagai papan loncatan yang menggembirakan untuk memperluas kemampuan kita. Manusia pilihan ditempa dengan kerasnya hidup, merasakan penderitaan, kesengsaraan yang berkepanjangan baik terhadap diri, keluarga dan lingkungannya. Peristiwa inilah yang menimbulkan sikap perlawanan, penolakan untuk berubah, berbuat yang terbaik bagi diri, keluarga dan lingkungan. Tidak mudah memang, sebab kita terlahir dari rahim dan lingkungan yang berbeda-beda. Perbedaan ini menimbulkan konsep-konsep, keinginan-keinginan, harapan-harapan, cita-cita yang tidak selalu samasecara esensial budaya erat dengan pergerakan. budaya adalah kemampuan akal, Manusia mustahil mencapai perbaikan tanpa menggunakan kemampuan akalnya.
Dalam menuju perbaikan ada proses yang dilalui tentunya proses yang mengarah kepada tujuan yang lebih baik. Oleh karena itu berbicara tentang pergerakan erat kaitanya dengan etika berbicara tentang seni erat kaitannya dengan estetika. Seni dan pergerakan seiring sejalan dengan manusia dan dunianya, peristiwa ini selalu muncul dalam setiap kesusastraan yang telah mencapai suatu taraf tertentu dalam perkembangannya yang paling sering itu dijawab dengan salah satu dari dua pengertian.
“Manusia tidak diciptakan untuk berhenti dan duduk melainkan berhenti dan duduk itu untuk manusia.”
Seni merupakan tujuan pada dirinya sendiri; untuk mengubahnya menjadi sebuah alat guna mencapai suatu tujuan lain. Seni harus mengabdi pada suatu tujuan yang berguna, dan bukannya kesenangan yang tidak berfaedah. Seni tidak hanya mereproduksi kehidupan, melainkan menjelaskannya. Tujuan seni adalah melakukan penilaian atas gejala-gejala kehidupan. Hal paling mendasar dalam keberadaan realitas sosial, bagaimanakah para seniman dan orang-orang yang sangat berminat dengan seni, beranggapan dan dirasuki oleh yang dinamakan utilitarian (kebenaran secara moral dan menghasilkan kebaikan bagi semua oang yang terpengaruh tentang seni. Yaitu kecenderungan untuk mengaitkan arti penting penilaian atas gejala-gejala kehidupan.
Para seniman, di berbagai belahan dunia dan sepanjang sejarah, telah menggunakan kreativitas mereka untuk memperjuangkan isu-isu sosial dan politik yang penting bagi mereka dan komunitas mereka. Beberapa seniman menciptakan gambar yang kuat, seperti poster atau mural, untuk mengirimkan pesan tentang hal-hal seperti keadilan, kesetaraan, atau kepedulian terhadap lingkungan. Seniman lainnya mungkin menggunakan karya seni mereka untuk menyelenggarakan acara atau proyek yang mempertemukan orang-orang untuk membicarakan topik-topik penting.
Ini seperti seni menjadi cara untuk memulai percakapan dan membuat masyarakat berpikir tentang dunia di sekitar mereka. Sebagai contoh, mari kita lihat karya Banksy, seorang seniman jalanan yang misterius. Karya seni Banksy sering mengomentari isu-isu politik, dan dengan melakukan hal tersebut, ia memicu diskusi tentang isu-isu tersebut. Inilah dampak yang dapat diberikan oleh seni – membuat orang memperhatikan, berpikir, dan terkadang, mengambil tindakan. Ketika seni meningkatkan kesadaran dan menyatukan orang-orang, seni menjadi alat yang ampuh untuk perubahan.
Perihal hubungannya dengan eksistensi Teater Suluh. Pergerakan adalah sebuah perjuangan dan perbaikan menolak dan menentang segala bentuk yang menyimpang pada nilai nilai kemanusiaan, disinilah arti penting seniman untuk masyarakat. Bahwa seni bukan semata hiburan melainkan sebuah media penyampai pesan/komunikasi, media penyadaran, bahkan media dakwah.
Tidak dapat dipungkiri lahirnya Teater Suluh dari aksi progresif kamisan, turun kejalan menyuarakan bentuk bentuk penyimpangan terhadap nilai nilai ketidakadilan. Cara ini dilakukan untuk melawan lupa, menolak lupa, mengingat lupa,. menandakan sebuah eksistensi bahwa Teater Suluh tidak akan pernah padam.tetap menyala menyuarakan keadilan.
Teater suluh memiliki ruang berbeda dalam menyampaikan aspirasinya, memasuki gedung-gedung pertunjukan dan ruang-ruang kampus, menyuguhkan sebuah pertunjukan seni, dengan gaya, bentuk, aliran pergerakan.
Sekelumit Tentang Teater Suluh
Tepatnya di awal tahun 2013-2014 berdirilah sebuah teater dibawah naungan SMI. Awalnya SMI fokus pada aksi kamisan dan perfoming art dan puisi puisi beraliran pergerakan penolakan pelanggaran HAM. Pada tahun 2013-2014 lahirlah Teater yang diberi nama Suluh Pergerakan dari pemikiran pak Eko dan mas Dika. Untuk menambahkan satu Divisi seni yakni Seni Pertunjukan Teater. Sebab Teater sebuah wadah yang tepat untuk menyampaikan aspirasi ketidakadilan yang dikemas dengan nilai2 seni/keindahan cara ini langkah efektif. Mengundang penonton, penonton melihat dan mendengarkan secara langsung dan menjadi bahan renungan bagi penonton untuk dibawa pulang. Teater itu bukan hiburan, Teater itu media penyampai pesan/media komunikasi, media penyadaran, bahkan Teater itu esensinya adalah media dakwah.
Proses kreatif Teater suluh dalam penyeleksian perekrutan anggota khususnya para aktor di teater Suluh fleksibel bisa mahasiswa, atau siapapun yang mau bergabung belajar bersama mengenal dunia peran. Ciri khas, gaya, pemanggungan Teater Suluh tidak lepas dari pondasi dasar SMI
Teater Suluh di arsiteki oleh Moh Nurdiansyah atau yang dikenal sebagai Mas Toto. Ia lahir di kota Palu, 14 Oktober 1979 menikah dengan Nurul Jamilah, dikarunia anak lelaki bernama Miftakhul Abdussalam. Pendidikan terakhir Institute Seni Indonesia Yogyakarta. Tahun 2008. Mulai mengenal seni teater Tahun 1996, dan berperan dalam lakon “Sando”, karya Hidayat Lembang di Taman Gor Kota Palu Sulawesi Tengah. Tahun 1997, pentas Naskah “Tomanuru” karya Musa Abd Kadir sebagai pemain. Tahun 2000, pentas teater dalam Festival Alimin Award naskah “Lysistrata” karya Sophoclas sebagai Walikota bertempat di Auditorium RRI Kota Palu meraih Aktor terbaik. Tahun 2001, berperan sebagai Alimin dalam naskah “DOR” karya Putu Wijaya. Tahun, 2003, pentas “Tomanuru” naskah dan sutradara Musa Abdul Kadir, dalam “Festival Teater Alternatif Gedung Kesenian Jakarta”. Tahun 2004, bergabung dengan sanggar teater Debur 21 Yogyakarta sebagai Aktor pentas di tiga Kota (Bandung, Surabaya, Yogyakarta). Naskah “Jangan Kau Culik Anak Kami” Sutradara dan penulis Alan Papin. Tahun 2008 bergabung dengan sanggar Teater Lampu Pleret Yogyakarta.
Belajar menyutradarai dan menulis naskah diawali Tahun 2004, dalam naskah “Parodi Taiganja” dipentaskan di Auditorium RRI Kota Palu. Tahun 2003, sebagai sutradara, pemain dan penulis naskah “Kepala Batu Batu Kepala” dipentaskan dalam acara Artefak Donggala di Sulawesi Tengah. Tahun 2006, sutradara lakon “Sahabat Terbaik” karya James Saunders dipentaskan di stage teater ISI Yogyakarta. Tahun 2006, sutradara lakon “Sonata dan Tiga Lelaki” #1 karya Jean Tardieu pentas di Stage Teater ISI Yogyakarta. Tahun 2007, Sutradara lakon “Sonata dan Tiga Lelaki” #2 karya Jean Tardieu dipentaskan di Teater Arena ISI Yogyakarta. Tahun 2008, Sutradara lakon “Sonata dan Tiga Lelaki” #3 karya Jean Tardieu di pentaskan di Stage Teater ISI Yogyakarta. Tahun 2008, Sutradara dan Aktor dalam lakon “Roro Mendut Jelas Salah” karya Wimbadi JP. Dipentaskan di Taman Budaya Yogyakarta. Tahun 2009,
Sutradara dan penulis naskah “Tondatalusi” dipentaskan di Gedung Cak Durasim Surabaya pada Festival Soerabaya Djoeang. Tahun 2009, Asisten Sutradara dan Stage maneger dalam naskah “Sepasang Merpati Tua” karya Bagdi Soemanto dipentaskan di Taman Budaya Yogyakarta. Tahun 2010, Sutradara dan penulis naskah “Balada Orang Sampah” dipentaskan di Taman Budaya Kota Palu Sulawesi Tengah. Tahun 2010, Sutradara naskah “Lawan Catur” karya Keneth Arthur dipentaskan pada Festival Teater Pelajar Tingkat Nasional Se- SMA di IKIP PGRI Semarang dan mendapat tiga Nominasi (pembantu Aktor terbaik, Aktris terbaik, Penyaji terbaik). Tahun 2010, sutradara naskah “Topogente” karya Ashar Yotomaruangi dipentaskan di Gedung Cak Durasim Surabaya dalam Festival Negarakreatagama. Tahun 2010.
Penata Artistik dan Aktor dalam naskah “Awas” karya Putu Wijaya ditulis kembali dan disutradarai oleh Ibet pada acara “Mimbar Teater” di teater Bong Taman Budaya Surakarta. Tahun 2010, Menyutradarai Naskah “Balada Orang Sampah” naskah M. Noerdianza pementasan teater Sanggar Seni Lentera di Taman Budaya Kota Palu. Tahun 2011 Menyutradarai dua naskah sekaligus, tema “Semalam Dua Karya”, yakni “KEHIDUPAN GALILEI” Judul Asli “Leben des Galile” karya Bertolt Brecht. Terjemahan Frans Rahardjo. “DIAM” Judul asli “Le Silence” karya: Jean Murriat Saduran; Bagdi Soemanto. Tahun 2011, Menyutradarai naskah berbahasa Kaili “I MANGGE MPOBILISI” karya Ashar Yotomaruangi di pentaskan keliling di kota dan kabupaten. Tahun 2011, menyutradarai naskah “TARIAN KATA PEMIMPIN” karya Moh. Nurdiansyah.
Selain Aktor dan sutradara teater, juga mendalami bidang Artistik, yakni Tahun 2007, penata panggung dalam lakon “Come and Go” di Kedai Kebun Yogyakarta. Tahun 2007, penata panggung dalam lakon “Kereta Kencana” karya Iogene Ionesco di Stage Teater ISI Yogyakarta. Tahun 2009, penata lampu pentas Monolog “Merdeka” karya Putu Wijaya pada Festival Kesenian Yogyakarta, di Taman Budaya Yogyakarta. Tahun 2008, Penata panggung naskah “Abu” sutradara Daniel Exaudi dalam Tugas Akhir penyutradaraan di Sage Teater ISI Yogyakarta. Dalam bidang sastra Tahun 2001, mengikuti “Lomba Cipta Puisi Mencari Jejak” dilaksanakan oleh Dewan Kesenian Palu sebagai peserta. Menulis naskah Teater “Tondatalusi”, menulis Naskah Teater “Belenggu Air”, menulis naskah “Parodi Taiganja” menulis naskah “Kepala Batu Batu Kepala”, menulis naskah “Balada Orang Sampah”, menulis naskah “Tarian Kata Pemimpin”.
Dalam waktu dekat Teater Suluh akan kembali tampil dengan membawakan pertunjukan kolosal tajam dengan pemeranan dari aktor baru, nuansa yang lebih fresh, dan berani. Ditulis naskahnya secara khidmat oleh Eko Prasetyo. Nantikan pementasan dari Teater Suluh dan saksikan aksinya beramai-ramai.
Ilustrasi: A nutshell
Jika anda menyukai konten berkualitas Suluh Pergerakan, mari sebarkan seluas-luasnya!