YAMAN DAN TARIAN KEPALA ULAR

Oleh : Adityo Fajar (Penulis Yang Tinggal di Lereng Semeru)

Dia adalah protagonis politik. Di negerinya, Yaman, kekuasaan kepresidenannya membentang selama kurun waktu 34 tahun.  Namanya diabadikan menjadi sebutan rumah Tuhan. Masjid Ali Abdullah Shaleh atau pelafalan singkatnya Masjid Al-Shaleh.

Itu tempat peribadatan yang mahal. Yang harus diongkosi 60 juta dollar saat dibangun pada tahun 2008. Di atas bukit kota tua Sanaa, masjid dibikin dari bahan-bahan pilihan, agar kokoh, agar gagah, agar senantiasa tegap, karena Sanaa kerap disambangi cuaca ekstrim.

Lampu menara setinggi 91 meter di Masjid Al-Shaleh, melemparkan cahaya kemewahan. Tanahnya pun sangat lapang: 2,7 hektar. Tinggi bangunannya hampir mencapai 25 meter. Bila ibadah kolosal  dilakukan, Al-Shaleh sanggup menampung 44.000 jamaah.

Jumlah tersebut memang kurang dari seperempat daya tampung Masjid Kemerdekaan (Istiqlal) di Jakarta. Tetapi Indonesia memiliki 280 juta penduduk, populasi terbesar ke empat di dunia, sementara Yaman hanya punya 30-an juta warga negara.

Al-Shaleh didirikan dengan niat menjadi sentrum penyiaran Islam moderat. Agama yang toleran, yang ramah, yang bukan keras. Presiden ingin sekali masjid menghadirkan pikiran-pikiran sejuk. Sayangnya Yaman tak selalu teduh hawa politiknya. Cenderung menaik termperaturnya di masa-masa tertentu.

Negeri itu kerap berkelindan dengan masalah kesukuan, aliran politik, dan persatuan nasional.  Mereka pernah terbelah searah mata angin. Selatan dan Utara. Selama 23 tahun Yaman Selatan dipimpin kelompok Marxis. Nama resminya Republik Demokratik Rakyat Yaman. Satu-satunya negeri sosialis di tanah Arab yang pernah ada.

Di Yaman Selatan terdapat Tarim. Sebuah kota historis yang terletak di Lembah Handramaut. Handramaut cukup dikenal di Indonesia. Banyak cucu-cicitnya menyebar di nusantara. Diantara mereka adalah pemuka agama Islam, dari Wali Songo, hingga Abu Bakar Ba’asyir.

Kota Tarim diakui sebagai salah satu locus keilmuan Islam sejak lama. Seorang sepupu saya pernah bermukim di sana selama sekian tahun. Lalu dia pulang ke tanah air untuk menunjukkan dirinya seperti tak pernah belajar apa-apa. Di sana ada banyak sayyid, ada ribuan sarjana ilmu Islam diproduksi. Ia dijuluki sebagai Kota Al-Siddiqi.

Julukan itu merujuk pada nama Abu Bakar Al-Siddiq. Khalifah pertama dunia Islam. Pada suatu masa Abu Bakar Al-Siddiq pernah melancarkan kampanye militer menghadapi suku-suku Arab yang memberontak. Orang-orang Tarim berdiri di belakang Abu Bakar. Mendukungnya.

Banyak sahabat yang terluka selama Perang Ridda itu. Mereka dirawat dengan baik di Tarim. Setahun perang berjalan, kubu khalifah meraup kemenangan. Abu Bakar berdoa kepada Tuhan demi kemuliaan ulama Tarim. Meminta berkah kelimpahan air kepada seluruh wilayahnya.

Ada ‘Si Marxis’ yang berkuasa dan situs mulia dunia Islam di Selatan. Jadi bagaimana bisa orang-orang shalih hidup di bawah kendali kekuasaan kiri selama lebih dari dua dekade? Pertanyaan ini, ‘sangat Indonesia’. Sebagian kita tumbuh dalam prasangka sejenis itu, mendakwa ideologi tertentu secara tak akurat.

Yang pasti di Selatan tak ada pembangkangan. Akur-akur saja. Peribadatan berlangsung, program sosialis pun melenggang. Kaum agamawan tak bertubrukan dengan kekuasaan. Perang Saudara justru pecah diantara tokoh-tokoh pendiri Partai Sosialis Yaman. Ia perang singkat selama sebelas hari di tahun 1986.

Sebagian orang menyebutnya sebagai pertempuran interpretasi ideologi, yang berpindah dari meja debat ilmiah ke pemusnahan fisik. Banyak orang yang mati. Mereka yang semula saudara seideologi, mesti berbalas peluru. Manusia memang kerap bertingkah ajaib demi memastikan gagasan siapa yang harus memimpin.

Selatan dan Utara, tak seperti di Vietnam atau Korea, mereka relatif berhubungan nyaman di Yaman. Mereka lebih suka mengurus rumahnya masing-masing, dibanding saling intip atau berencana mengambil alih wilayah tetangga sebangsanya.

Tidak seperti kebanyakan wilayah Arab yang terus disorot mengenai isu perempuan hingga hari ini, hak-hak perempuan di bawah pemerintahan Yaman Selatan dianggap yang terbaik di kawasannya. Di sana tak ada masalah perumahan, dan pemerintahan gemar memberantas buta huruf.

Uni Sovyet lalu runtuh di tahun 1990. Selatan yang selama ini mesra dengan Blok Timur tergeret perubahan politik global. Mereka tak lagi berniat mempertahankan diri sebagai negara terpisah. Selatan dan Utara lantas berangkulan kembali. Menjalankan unifikasi. Ali Abdullah Shaleh memainkan peran sentral dalam upaya persatuan. Dia sontak makin populer.

“Menari di atas kepala ular”, demikian kepercayaan Ali Abdullah Shaleh dalam menangani politik. Dia memiliki kemampuan mengatur keseimbangan politik. Berdiri diantara banyak faksi dan melepas-tarik kekuatan yang ada.

Tarik-lepas dilakukan demi tetap menjadikan dirinya sebagai titik konvergensi politik. Itu berhasil selama lebih dari tiga dasawarsa. Keberhasilan yang membuatnya kaya raya. Dilaporkan dia memiliki harta hingga 60 juta USD. Menyebar dalam sejumlah rekening di bank-bank Eropa.

Namun tak selamanya tarian penakluk kepala ular manjur diberlakukan sepanjang zaman. Ketika Musim Semi Arab tiba, Shaleh ikut terjungkal bersama banyak penguasa Arab lain. Dia sempat coba dibunuh, oleh serangan bom saat sholat. Dia terluka serius. Karenanya Shaleh tak bisa lain, kecuali memahami dirinya harus mundur.

Sejak tahun 2012, Shaleh tak lagi duduk di kursi kepresidenan. Mansour Hadi menggantikannya. Mansour Hadi didukung Saudi, tetapi dia akan selalu berdiri di atas podium kekuasaan yang rapuh. Kelompok Houthi bekingan Teheran, tiba-tiba merubah diri dari yayasan pendidikan menjadi milisi bersenjata yang getol.

Houthi melancarkan serangan-serangan dasyat. Panggung kekuasaan Hadi pun longsor hanya dalam dua tahun. Di balik kehebatan Houti, terlibat pasukan loyalis Shaleh. Semua orang pada akhirnya tahu, Shaleh beraliansi dengan Houthi, tanpa kecuali di masa-masa awal intervensi militer Arab Saudi.

Lalu apa tarian kepala ular selanjutnya dari Shaleh? Houti telah menjadi kepala ular yang berbisa. Tak jauh dari Yaman, ada kepala ular lain yang lebih besar di Teheran, dan tentu juga Riyadh. Bagaimana tarian akan dimainkan, sehingga  bisa kembali ke titik konvergensi seperti di masa lalu?

Tarian itu sekarang mengambil gerakan berpisah dan berpaling. Aliansi Shaleh dengan Houthi pecah berkeping di tahun 2017. Biji mata Shaleh sekarang melirik ke haribaan Saudi. Dan kali ini langkahnya berujung fatal. Pada penghujung tahun, rumahnya diserang gerilyawan Houthi. Shaleh tewas diterpa roket.

Milisi merayakan serangan itu.  Teheran juga, tentu dengan sayup-sayup. Pemimpin Houthi, Abdul Malik al-Houthise berseru, “hari jatuhnya koruptor pengkhianat!” Baru kali ini pekikan semacam itu muncul. Hanya ketika Shaleh bukan lagi sekutu. Hanya saat Shaleh gagal dengan tarian kepala ularnya.

Shaleh dikuburkan dalam sunyi. Hanya 20 orang yang diijinkan menghadiri prosesi pemakaman yang diawasi ketat milisi Houthi. Besar dan kaya sebagai penakluk kepala ular, Shaleh pun mati dipatuk kepala ular. Tak ada tarian yang abadi di Yaman.


Ilustrasi: A nutshell

Jika anda menyukai konten berkualitas Suluh Pergerakan, mari sebarkan seluas-luasnya!
Ruang Digital Revolusioneir © 2024 by Suluh Pergerakan is licensed under CC BY-SA 4.0