Untuk Memperingati Hari Perempuan Sedunia, 2024
Oleh: Adityo Fajar
(Penulis yang menetap di kaki lereng Semeru)
Bertahun silam, Suriah dan Iraq terbakar perang. Tanah Arab membecek oleh darah. Gerombolan penebar teror nongol dengan atribut hitam. Melakukan parade unjuk taring di jalanan. Pengikutnya datang dari berbagai penjuru dunia. Monster ciptaan Washington yang bengis. Dunia mengenalnya sebagai ISIS. ISIS tukang jagal yang demonstratif. Mereka gemar membakar tawanan hidup-hidup. Melempar pesakitan dari atas gedung tinggi agar jatuh dengan tubuh patah-patah. Memenggal kepala manusia lebih sering daripada menyembelih ayam. Penghukuman yang mereka terapkan kerap kali divideokan. Menjadi tontonan viral yang membuat bulu kuduk berdiri.
Pada bulan ke delapan di tahun 2014, ISIS mencaplok wilayah Sinjar di Irak Utara. Daerah yang didominasi penduduk suku Yazidi. Ribuan wanita Yazidi ditawan dan dijadikan budak seks. Termaksud Ashwaq Hamid, yang saat itu berumur 14 tahun. Perempuan ini dipukuli dan diperkosa berkali-kali. ISIS mengambil alih seluruh pengertian yang terkandung dalam kata kejam. Kabar kebrutalan ISIS terhadap kaum perempuan makin bergaung kencang. Tak semua warga biasa rela membiarkan ini. Apa yang dilakukan ISIS wajib disetop. Seorang mahasiswa ilmu politik asal Denmark, memutuskan pergi. Perempuan bernama Joanna Palani. Gadis berparas membuai dari keluarga berdarah Kurdi. Yang lahir dan sempat tumbuh di kamp pengungsi Ramadi yang keras. Orang menulis puisi ada maksud. Orang membunyikan puisi di panggung mengemban maksud pula. Orang meninggalkan hidup damai untuk pergi berperang, pasti punya maksud lebih dari selarik puisi. Palani menjelaskan argumen yang menggerakkan dirinya, “demi memperjuangkan hak-hak perempuan, demi demokrasi.” Jika demi itu, berarti harus angkat bedil, Palani tak gamang melakoni.
Palani pergi sejauh 4.300 kilometer, melampaui benua yang ditinggali. Mulanya dia bergabung dengan YPJ (Yekîneyên Parastina Jin). Unit Pertahanan Perempuan dibawah naungan Partai Pekerja Kurdistan (PKK). Mereka sekumpulan perempuan seribu nyali yang beroperasi di Rojava, Suriah. Lalu Palani bergabung dengan Peshmerga. Satuan tempur elite Kurdi yang berbasis di Iraq. Keluar masuk zona perang Timur Tengah, lebih dari 100 kombatan ISIS dikirim Palani ke alam baka, lewat senjata bidik jarak jauhnya. Dia adalah ‘Dewi Kematian’ buat lawannya. Reputasinya, membuat ISIS berang. Membanderol kepala Palani seharga 1 juta dollar. Di lain waktu dia berduka, “Begitu sulit bagi saya membaca surat yang berisi kisah bocah yang tewas karena pendarahan akibat diperkosa ISIS.”
Palani selalu menjadi manusia dalam kamus bahasa yang radikal. Wanita yang tak takut melakukan apa yang dia inginkan, kapan pun dia mau, di dunia yang sangat laki-laki. The Standart Evening menulis sosoknya dalam deskripsi, “dia seorang sosialis anti-kapitalis revolusioner, yang bekerja di Burger King untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dia terlalu Kurdi untuk orang Denmark, terlalu Denmark untuk orang Kurdi.” Bila ada Palani, ada pula Ivana Hoffman. Internasionalis yang lain. Pejuang perempuan dari Barat yang pertama kali gugur melawan ISIS. Usianya masih 19 tahun ketika roboh dalam pertempuran pada Sabtu pagi di wilayah Tel Tamir. Perihal kepergian ke Suriah, yang diunggahnya di YouTube, Ivana menjelaskan gamblang. Guna “membela revolusi” dan “mengibarkan bendera partai”, tegasnya.
“Revolusi pertama, revolusi pertanian, dilembagakan oleh perempuan. Membebaskan kehidupan tidak mungkin terjadi tanpa kemampuan untuk menceraikan budaya dominasi laki-laki yang telah berusia lima ribu tahun”, tulis Abdullah Ocalan pemimpin PKK pada sebuah pamflet. Ivana terpanggil oleh seruan semacam ini. Tanpa reverse, sepenuh hati. Dibesarkan di Duisburg, Jerman, dalam keluarga kelas pekerja, sejak dini gadis berambut keriting ini menyadari betapa tidak adil dan kontradiktifnya dunia yang ditinggali. Kepribadiannya dikenal unik. Penyuka humor, gandrung menyebar aura positif. Pendeknya, dia teman yang baik, bagi yang mengenal dan bekerja bersamanya. Dia bukan tipe feminis yang galak di media sosial, loyo di tempat lain yang lebih genting.
Di hari ketika satu belahan dunia tengah berkecamuk hebat, Ivana ingin mengambil bagian dari revolusi. Berkontribusi langsung. Berangkat melawan imperialisme, kolonialisme, dan patriakhi. Baginya melawan itu dengan senjata. Tak cukup melalui kata-kata walau berbisa. Perempuan berkulit gelap ini seorang Marxis yang tak canggung. All In. Lewat kalimatnya di satu wawancara, Ivana menghaturkan pemikiran. Dalam perang melawan ISIS, perempuan sesungguhnya tengah berjuang melawan penindasan historis mereka. ISIS mewakili semua hal yang telah memperbudak perempuan di Timur Tengah selama ribuan tahun. Perempuan memimpin perjuangan ini. Ini berarti pada akhirnya mereka bisa berkata “cukup!”
Ivana mangkat selamanya dalam ingatan heroik tentang perjuangan perempuan. Menulis sejarah. Ibunya, Michaela Hoffmann mengenang, “Suatu hari nanti saya ingin berkunjung ke sana dan melihat tempat yang dibela banyak orang, termasuk Ivana. Mereka berjuang di pihak yang benar, dan itu sepadan. Saya bangga kepada Ivana, telah menunjukkan sisi lain kehidupan.”
Dulu, pada April 1972, John Lennon yang legendaris merilis album ‘Some Time in New York City’. Di album tersebut bertengger lagu berjudul ‘Woman Is the Nigger of the World’. Lagu ini menyemprotkan banyak kritik diantara bait-baitnya. Lennon berdendang, “Jika perempuan tak sudi menjadi budak, kita mengatakan dia tidak mencintai kita. Kalau dia nyata, kita bilang dia berusaha jadi laki-laki”. Lennon benar. Memang sering benar. Perempuan masih menjadi negro-nya dunia. Di zaman baheula dan (sayangnya) hingga kini. Sudah ribuan tahun. Sementara Palani dan Ivana menenteng senjata. Berdiri di front terdepan. Sepasang perempuan yang membawa bara di tangan. Menyabung nyawa. Demi menjadikan dunia tempat bersama. Tanpa warga kelas dua. Hanya karena kelamin berbeda.
Ilustrasi: A nutshell