Bukan Pesta Demokrasi, melainkan Pentas Oligarki

“Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji, dan kecurangan.

Duniaku bumi manusia dengan persoalannya.”

Pramoedya Ananta Toer

Minke, tokoh separuh fiktif dalam roman Bumi Manusia, tak hidup hari ini ketika nuansa politik masa kolonial telah dianggap usang. Warga negara, seperti disebutkan dalam kitab-kitab suci tentang demokrasi, berhak memilih siapa yang mereka kehendaki memegang tampuk kuasa. Demokrasi dijalankan bak utopia sebuah negeri dongeng: sesiapa berhak memilih, sesiapa berhak dipilih. Nyaris tak ada yang cacat ketika istilah demokrasi muncul serupa jampi-jampi. Namun, ketika negeri dongeng itu tak kunjung tiba, para penepi masih menderita, kita perlu sedikit menaruh curiga. Selang seabad lebih dari masa ketika Minke bertemu keluarga Mellema, apakah imajinasi kita soal politik sejumput lebih maju dari sang Pemula?

Minke, konon, hidup pada masa kolonial ketika pemerintah dan perusahaan Eropa saling baku-pagut menguasai sumber daya alam dan manusia Indonesia. Para elite politik berkuasa untuk menjalankan titah Ratu Wilhelmina; bukan Raad van Indie (Dewan Hindia), Volksraad (Dewan Rakyat), apa pula rakyat yang sesungguhnya. Dewan Rakyat, kata Semaoen, tak lebih dari “komedi omong”. Mereka mendiskusikan permasalahan negeri tanpa memiliki orientasi untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Di sisi lain, para elite feodal tak kalah menyusahkan. Mereka hidup di balik dinding keraton yang setua usia dinasti kerajaan mereka. Tak banyak yang secara sadar terjun bebas dari kelas elite tersebut kemudian hidup dan berjuang bersama rakyat jelata.

Rakyat, pada masa itu, tak lebih dari sekadar penonton. Mereka hanya disebut oleh catatan kolonial sebagai angka statistik, jika bukan pembuat onar yang mengancam tatanan kekuasaan Hindia-Belanda. Itu sebabnya kita bisa memahami Minke bersikeras tak akan menjadi bupati sekalipun garis darah menakdirkan demikian. Semaoen, dalam sebuah surat kabar, menulis “bukan Volksraad yang akan bisa bikin baik nasibnya rakyat, tetapi gerakan rakyat sendiri.” Ketidakpercayaan kepada kekuasaan kolonial membuat para terpelajar menyusun strategi, menulis di surat kabar, dan berorganisasi. Kepada pemerintah kolonial, mereka memilih membentangkan sikap “oposisi”: sikap untuk menolak tunduk, enggan menitipkan nasib, dan membangun imajinasi politik secara mandiri.

Hari ini, aktor-aktor berubah, baju-baju berganti. Namun, struktur politik tidak jauh berbeda. Para penguasa selalu merupakan elite politik yang memiliki atau mendukung sebuah kerajaan bisnis. Orang menamai mereka oligarki. Pemilu pun menjadi pintu gerbang bagi mereka untuk mendapatkan singgasana terbaik. Dominasi oligarki secara sistematis dalam Pemilu telah membuat siklus kekuasaan menjadi tertutup, sulit diakses oleh individu di luar lingkaran kelompok elite, atau orang-orang yang tidak mau bekerja sama dengan mereka. Biarpun bertentangan dengan prinsip dasar bahwa setiap individu memiliki hak yang sama dalam pemerintahan, aturan yang ada justru mempersulit gerakan akar rumput dan politik alternatif untuk masuk ke dalam sistem.

Selain itu, ambang batas pencalonan presiden sebesar 20 persen turut menjadi penghalang dalam mendorong partisipasi akar rumput dalam Pemilu. Ambang batas ini memberikan keunggulan kepada kandidat-kandidat yang berasal dari partai politik yang besar dan mapan. Partai-partai kecil atau calon independen dengan dukungan yang lebih terbatas akan sulit memenuhi ambang batas ini. Hal ini menutup pintu bagi figur-figur alternatif dari kelompok minoritas atau kelompok tak terwakili untuk turut ambil bagian dalam Pemilu. Meskipun telah berulang kali diuji di Mahkamah Konstitusi, pemerintah dan DPR justru tetap mempertahankan ambang batas tersebut.

Dominasi oligarki dalam pemilu, pada akhirnya, menciptakan lingkungan politik yang terkonsentrasi untuk kepentingan kelompok elite. Akibatnya, partisipasi politik rakyat terbatas, dipinggirkan, dan diabaikan. Kelompok elite menutup peluang warga untuk menyuarakan aspirasi dan kepentingan mereka, serta menghambat pertumbuhan gerakan politik alternatif. Sistem Pemilu yang dikendalikan oleh kelompok elite membuat individu di luar kelompok tersebut sulit untuk berpartisipasi dalam proses politik. Nyaris tak ada sosok yang mampu menyajikan gagasan alternatif demi kepentingan akar rumput, bukan hanya segelintir orang.

Oligarki telah membatasi ruang gerak politik alternatif untuk tumbuh dan berkembang. Atas nama kepentingan segelintir orang, mereka mempertahankan kontrol atas kekuasaan politik dan menghalangi upaya gerakan politik alternatif untuk menghadirkan perubahan yang lebih inklusif dan berkeadilan. Ketidakseimbangan kekuasaan akibat dominasi kelompok elite telah menodai kualitas demokrasi. Padahal, partisipasi aktif warga dan keberagaman politik diperlukan dalam membangun demokrasi yang sehat dan mewujudkan representasi yang adil. Tanpa partisipasi rakyat, pemerintah dan DPR tak lebih dari alat pelancar investasi.

Alih-alih sekadar menggaungkan kampanye golput (dan tidak melakukan apa-apa) yang jarang membuahkan hasil, kita mungkin harus membangun imajinasi lebih jauh untuk merebut kembali pengaruh yang selama ini digenggam erat oleh kelompok elite. Tak cukup hanya mengutuk oligarki, kita harus berani mengambil peran aktif dalam mengubah keadaan, mengembangkan gagasan-gagasan alternatif tentang demokrasi, dan menghadirkan ide-ide baru yang tidak terpengaruh oleh arus dominasi kelompok elite. Sebab, ketika elite politik membajak kedaulatan dari tangan rakyat, bukankah absah untuk merebut kembali kedaulatan dari tangan mereka?


Penulis: Han Revanda Putra

Jika anda menyukai konten berkualitas Suluh Pergerakan, mari sebarkan seluas-luasnya!
Ruang Digital Revolusioneir © 2024 by Suluh Pergerakan is licensed under CC BY-SA 4.0