DRAMA PERAMPASAN TANAH RAKYAT DI URUTSEWU YANG TAK KUNJUNG USAI
Jika kita mengingat kembali kejadian pada beberapa tahun yang lalu, terjadi konflik agraria yang terjadi di Urut Sewu, Kebumen, Jawa Tengah yaitu pengklaiman secara sepihak tanah milik masyarakat Urut Sewu oleh TNI AD yang sempat diwarnai dengan aksi kekerasan terhadap warga. Tidak sedikit warga yang terluka akibat tindakan represif ini. Konflik agraria di Urut Sewu, yakni penguasaan tanah milik petani di Urut Sewu seluas 1.150 hektar yang membentang luas dari Sungai Lukulo sampai Sungai Wawar. Ia mencakup 15 desa pada tiga kecamatan, antara lain, Desa Wiromartan, Desa Lembupurwo, Desa Tlogopragoto, sampai Desa Ayamputih. Awal keberadaan TNI di Urutsewu semata-mata hanya untuk tempat latihan militer dan uji coba senjata berat dengan peminjaman melalui surat “Pinjam Tempat Ketika Latihan” kepada kepala desa setempat tahun 1982. Tahun 1998–2009, TNI pinjam Urutsewu ke Pemerintah Kebumen. TNI juga pernah membuat kontrak dengan pemerintah daerah tentang penggunaan tanah pesisir Urutsewu untuk latihan yang membuktikan tanah pesisir ini milik warga. Pada Maret-April 1998, ada pemetaan tanah untuk area latihan dan ujicoba senjata TNI AD mulai dari Muara Kali Lukulo sampai Muara Kali Wawar dengan lebar sekitar 500 meter dari garis pantai ke utara dan panjang 22.5 kilometer.
Pemetaan secara sepihak oleh TNI yang kemudian meminta tanda tangan kepada kepala desa dengan alasan minta izin penggunaan tanah untuk latihan. Istilah yang mereka pakai untuk menamai area lapangan tembak dalam peta tersebut adalah tanah TNI-AD. Penamaan ini seakan menegaskan, TNI mencoba klaim sepihak atas tanah rakyat. Tandatangan ini tak dapat dipakai sebagai bukti mutasi kepemilikan. Peta area latihan ini tak bisa jadi dasar atau bukti bahwa TNI memiliki tanah karena pemetaan sepihak dan bukan instansi berwenang, seperti Badan Pertanahan Nasional (BPN). Pada Desember 2006, terbit surat Kades Setrojenar Nomor 340/XII/2006 tertanggal 12 Desember 2006, perihal pernyataan resmi Kades Setrojenar tentang tanah berasengaja. Lalu November 2007, Surat Camat Buluspesantren perihal tanah TNI dari hasil musyawarah permasalahan tanah TNI pada 8 November 2007 di Pendopo Kecamatan Buluspesantren dihadiri Muspika. Dalam surat ini ada poin, TNI tak akan mengklaim tanah rakyat kecuali, 500 meter dari bibir pantai. Kondisi jadi bermasalah karena karena dalam interval 500 meter dari bibir pantai terdapat tanah rakyat. Ia merupakan tanah pemajekan hingga tertera di Buku C desa dan memiliki surat pemberitahuan pajak terhutang (SPPT). Pada 16 April 2011, warga menolak latihan uji coba senjata TNI AD. Warga aksi ziarah ke makam korban yang meninggal karena ledakan bom mortir beberapa tahun silam dan membuat blokade dari pohon. TNI AD membongkar blokade. Pada Mei 2011, TNI mencabut persetujuan penambangan pasir besi MNC. Pada Desember 2013, mulai pemagaran tanah rakyat pada jarak 500 meter dari garis pantai di Pesisir Urutsewu dan masuk dua desa di Kecamatan Mirit, yaitu, Desa Tlogodepok dan Mirit Petikusan. Proses pemagaran sudah berlangsung lama dan hampir selesai. Tersisa di Desa Brencong dan Sentrojenar, sepanjang lima kilometer. Dua desa ini paling akhir karena penolakan petani setempat cukup keras. Pemerintah lamban menangani konflik agraria ini.
Pemerintah Kabupaten Kebumen mencoba untuk mencari solusi dari konflik ini. Yazid Mahfudz, Bupati saat itu, meminta kepada TNI AD untuk menghentikan pemagaran. Pemagaran pun dihentikan dan warga menghentikan aktifitas disekitar kawasan pemagaran sampai ada penyelesaian terbaik. Mediasi demi mediasi telah dilakukan. Beberapa rapat koordinasi bersama warga dengan instansi terkait dan jajaran Pemerintah Kabupaten sampai desa. pun telah dilaksanakan tapi sampai sekarang tidak ditemukannya titik terang. Malah muncul keanehan-keanehan dalam mediasi dan rapat koordinasi bersama. Dalam rapat koordinasi masyarakat hanya boleh diwakilkan oleh Kepala Desa. Hal ini seolah-olah membatasi hak masyarakat untuk ikut serta dalam penyelesaian konflik ini. Warga mempertanyakan hasil rapat tersebut yang tidak secara terbuka diberitahukan kepada masyarakat. Sampai saat ini, masih dilakukan rapat koordinasi. Kabar terbaru, warga telah melakukan audiensi dengan Pemkab Kebumen, Senin 27 Januari 2020 kemarin. Namun hasil audiensi masih menyisakan kekecewaan bagi warga dikarenakan tuntutan warga belum sepenuhnya dipenuhi.
Atas nama kemanusiaan dan penegakan Hak Asasi Manusia (HAM), Aksi Kamisan Yogyakarta, bersikap:
Kamis, 30 Januari 2020
Atas Nama
Aksi Kamisan Yogyakarta