
Oleh Muhammad Fakhrurrozi
***
Acara ini dilaksanakan oleh Transparency International Indonesia (TII). Dalam acara ini dihadiri oleh beragam institutsi mulai dari lembaga negara seperti Komisi Pemberantas Korupsi (KPK), Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dan berbagai media.
Acara pertama adalah pemaparan hasil riset TII tentang Corruption Perception Index (CPI) 2019 oleh Wawan Suyatmiko, peneliti TII.
Penilaian CPI didasarkan pada skor. Skor dari 0 berarti sangat korup dan 100 sangat bersih. Lebih dari 2/3 negara yang disurvei berada di bawah skor 50 dengan skor rata-rata global 43. Sedangkan di ASEAN rerata skor CPI berada di 46.
Sejak 2015, rerata skor CPI secara global mengalami stagnasi di angka 43. Sehingga pada CPI 2019 ini dengan jelas mengungkapkan bahwa terjadi dekadensi/kemerosotan dalam upaya pemberantasan korupsi oleh sebagian besar negara.
“Lebih dari dua pertiga negara mengalami stagnasi skor CPI 2019 ini, atau menunjukkan tanda-tanda kemunduran dalam upaya anti-korupsi mereka. Hal sama juga terjadi di negara-negara anggota G7. Negara dengan ekonomi maju juga mengalami stagnasi.”, menurut Delia Rubio, Ketua Transparency International di Berlin. Empat negara G7 mendapat skor lebih rendah dari tahun lalu: Kanada (-4), Prancis (-3), Inggris (-3) dan AS (-2). Jerman dan Jepang tidak mengalami peningkatan, sementara Italia naik satu poin.
Indonesia sejak pertama kali CPI diluncurkan tahun 1995 selalu menjadi negara yang menjadi penilaian. CPI Indonesia tahun 2019 berada di skor 40/100 dan berada di peringkat 85 dari 180 negara yang disurvei. Skor ini meningkat 2 poin dari tahun 2018 lalu. Hal ini menjadi penanda bahwa perjuangan bersama melawan korupsi yang dilakukan oleh Pemerintah, Komisi Pemberantasan Korupsi, lembaga keuangan dan bisnis serta masyarakat sipil menunjukkan upaya positif.
Terdapat empat sumber data yang menyumbang kenaikan CPI Indonesia di tahun 2019, yakni:
Sementara itu, empat dari sembilan indeks mengalami stagnasi, yakni:
Sedangkan satu mengalami penurunan World Economic Forum EOS. Peningkatan terbesar dikontribusikan oleh IMD World Competitiveness Yearbook dengan peningkatan sebesar sepuluh poin dari tahun sebelumnya. Kenaikan ini dipicu oleh penegakan hukum yang tegas kepada pelaku suap dan korupsi dalam sistem politik. Sedangkan penurunan empat poin dikontribusikan pada World Economic Forum EOS. Penurunan skor ini dipicu oleh masih maraknya suap dan pembayaran ekstra pada proses ekspor-impor, pelayanan publik, pembayaran pajak tahunan, proses perizinan dan kontrak.
Acara Kedua adalah diskusi. Dalam diskusi ini yang menjadi moderator adalah ibu Bivitri. Narasumber dalam diskusi kali ini yaitu:
Diskusi pertama disampaikan oleh bapak Dadang Trisasongko selaku Sekretaris Jendral TII. Beliau memberikan pemaparan bahwa selain upaya perbaikan sistem kemudahan berbisnis, peningkatkan efektivitas dari CPI 2019 penegakan hukum terhadap praktik korupsi politik juga bisa secara signifikan meningkatkan skor CPI Indonesia. Namun tugas berat pembenahan sistem masih harus dituntaskan ke depan, yaitu bagaimana memutus relasi koruptif antara pejabat negara, pelayan publik, penegak hukum dan pebisnis.
Menurut beliau jika ini berhasil dilakukan, kami percaya kondisi itu akan memberikan kontribusi paling besar dalam mengurangi korupsi. Di sisi lain, pembenahan lembaga-lembaga politik harus dilakukan secara sungguh-sungguh. Partai politik harus menunjukkan komitmennya untuk mendukung prinsip persamaan di depan hukum dalam hal penegakan hukum Tipikor dan menghindari langkah-langkah yang justru mempromosikan impunitas bagi para koruptor. Dalam waktu bersamaan, penguatan independensi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus menjadi agenda utama dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia.
Untuk membuat kemajuan nyata melawan korupsi dan menciptakan iklim politik yang berintegritas, Transparency International bersama Transparency International Indonesia menyerukan kepada:
Pembicara kedua dipaparkan oleh Ibu Prahesti Pandanwangi selaku Direktur Hukum dan Regulasi Kementrian PPN/Bappenas. Beliau memberikan pemaparan mengenai penguatan sistem anti korupsi yang ada di Indonesia. Dalam penguatan sistem anti korupsi harus dioptimalkan yaitu perizinan keuangan negara, penegakan hukum dan reformasi birokrasi, dan optimalisasi mekanisme pemulihan serta pengelolaan aset.
Hal yang menjadi sorotan Prahesti adalah terkait internal partai politik yang dirasa dapat menjadi pendorong gerakan anti korupsi di Indonesia.Perubahan lebih baik pada internal partai politik itu sendiri. Harus lebih ditingkatkan lagi transparansi dan akuntabilitas dari partai politik terkait, apalagi pemerintah telah meningkatkan dana partai politik sehingga harus diiringi dengan peningkatan pendidikan internal partai politik, transparasi dan akuntabilitas dari partai politik terkait. Prahesti juga menyampaikan bahwa harus ada pemahaman rule of law, penananaman demokrasi dan pendidikan politik juga penting kepada masyarakat.
Pembicara ketiga disampaikan oleh Prof. Dr. Syamsuddin Haris, M.Si. Beliau merupakan salah satu pakar ilmu politik yang saat ini menjabat sebagai Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi. Beliau menjelaskan bahwa korupsi di Indonesia episentrumnya terdapat dalam sistem politik. Episentrum politik sesungguhnya berada di partai politik. Sebab walaupun Indonesia sudah dua dekade meninggalkan Orde Baru akan tetapi sistem politik di Indonesia masih memfasilitasi tumbuh kembangnya politik yang koruptif. Parameternya bisa dilihat dari sistem Pemilihan Umum (PEMILU) seperti pemilihan legislatif, Presiden dan kepada daerah.
Kita melihat bahwa dalam sistem kepartaian tidak ada komitmen dari negara untuk mmebuat seuatu sistem pemerintahan yang akuntabel dan tidak koruptif. Pemberantasan korupsi di Indonesia hanya sebagai jargon. Sistem yang kita bangun masih kolot serta membuat masih berlangsungnya tindak pidana korupsi. Permasalahannya tidak hanya pada sistem politik yang tidak terkontrol tetapi juga sistem birokrasinya juga masih berlangsungnya tindak pidana korupsi yang pencegahannya hanya terbatas pada slogan.
Tidak ada komitmen kepemimpinan untuk meminimalkan korupsi. Pemimpin politik menikmati zona nyaman ini dengan sistem politik yang ada (dari pemilihan legislatif hingga eksekutif) walaupun ada beberapa yang ingin mengubah sistem politik ini. Salah satu sistem politik yang berlaku saat ini adalah dengan adanya ambang batas pencalonan pilkada membuka peluang bagi partai politik untuk membeli dukungan pada partai lain serta membatasi peluang munculnya kandidat yang kompeten dan memiliki kapasitas untuk memimpin suatu daerah.
Bagi Syamsuddin hal yang mendukung peningkatan Indeks Persepsi Korupsi pada dasarnya tidak bisa berpusat pada reformasi lembaga penegakan hukum saja. Kita juga tidak selamanya bergantung pada KPK, apalagi KPK dengan tanggung jawab yang luar biasa, baik dalam UU KPK yang sudah direvisi maupun sebelum direvisi. Meningkatkan Indeks Persepsi Korupsi adalah bagaimana meningkatkan kualitas politik kita untuk melahirkan pemerintahan yang akuntabel.
Sebelumnya LIPI Bersama KPK menyusun suatu sistem integritas partai politik yang mencakup lima sistem, yaitu:
Hal ini merupakan sesuatu yang dapat menjanjikan korupsi akan mengecil apabila partai politik melembagakan sistem integritas tersebut. Tapi hal itu menjadi mustahil apabila tidak bisa dimasukan dalam regulasi negara. Regulasi untuk partai politik adalah undang-undang partai politik. Sayangnya revisi undang-undang partai politik tidak masuk dalam agenda Prolegnas 2020.
Pemberantasan korupsi membutuhkan strategi komprehensif dan kerjasama para pihak dengan maksimal. Tanpa dukungan para pihak baik pemerintah dan berbagai elemen masyarakat, maka korupsi di Indonesia tidak akan bisa diberantas. Walaupun CPI Indonesia meningkat, tapi dalam skala negara ASEAN, Indoensia masih berada di peringkat tengah. Oleh karena itu, tantangan Indonesia kedepannya lebih berat apalagi dengan adanya revisi UU KPK.
Dalam hal revisi UU KPK, Syamsuddin mengakui bahwa revisi tersebut menimbulkan kelemahan pada tubuh KPK. Namun ia juga memberikan catatan bahwa hadirnya dia bersama dewan pengawas lainnya memiliki niat dan tujuan yang sama yaitu agar menahan laju pelemahan KPK. Beliau berpesan publik harus mengawasi. Jangan sampai pelemahan itu berujung pada hilangnya kemampuan KPK dalam memberantas korupsi.
Pembicara keempat adalah bapak Ahmad Khoirul Umam, PhD. Beliau adalah dosen dari Universitas Paramadina. Beliau memaparkan bahwa kenaikan skor dan peringkat CPI di Indonesia disumbang besar oleh kinerja KPK. Namun sejak bulan Oktober 2019 kita ketahui bersama bahwa terdapat upaya pelemahan KPK dengan revisi UU KPK dan hal itu benar terjadi. Korupsi dalam sistem politik saat ini terus terjadi dan hampir tidak ada perbaikan dalam ranah demokrasi Indonesia.
Dalam indeks demokrasi di Indonesia sempat terjadi penuruan yang paling terendah, yaitu pada tahun 2019. Ada banyak penyebabnya selain pada saat itu sedang terjadi kontestasi politik elektoral juga terjadi upaya pelemahan KPK. Melihat situasi saat ini tentu keberadaan civil society menjadi kekuatan yang sangat dibutuhkan. Civil society harus solid dalam melindungi KPK dan juga demokrasi kita.
Akan tetapi, saat ini terdapat polarisasi dukungan terhadap KPK. Dengan berkembangnya narasi di media sosial seperti KPK sarang Taliban membuat banyak kalangan menarik diri dalam memberikan dukungan terhadap KPK, padahal narasi tersebut tidak rasional dan kebenarannya tidak bisa dibuktikan.
Khoirul Umam juga menjelaskan bahwa terdapat kemunduran saat ini dalam hal politik anti korupsi. Presiden sebagai pemilik otoritas tertinggi tidak menggunakan otoritasnya secara signifikan untuk bersikap afektif, tegas, dan memberikan dukungan terhadap lembaga anti korupsi. Pada dasarnya perubahan UU KPK yang berhasil melemahkan KPK tidak akan terjadi apabila tidak mendapatkan restu dari seorang Presiden. Kita bisa lihat sikap Presiden saat ini seperti tidak melakukan upaya apapun untuk mengembalikan KPK kepada khittahnya.
Adanya argumentasi dari pihak istana negara bahwa revisi UU KPK dilakukan untuk meningkatkan stabilitas agar investor tidak takut untuk masuk Indonesia. Logika seperti itu hanya terjadi pada masa pemerintahan Soeharto dimana saat itu berkembangnya pemahaman Neo-Liberal yang menilai bahwa investasi harus mengutamakan stabilitas dan keamanan, sehingga Pemerintahan Soeharto membungkam pihak-pihak yang berani mengkritik pemerintah. Khoirul Umam sendiri belum menemukan jawaban tentang kaitan antara pemberantasan korupsi dengan investasi. Justru hadirnya KPK agar mencegah terjadinya korupsi di setiap elemen.
Dalam berbagai pembahasan yang disampaikan oleh narsumber point penting yang dirasa perlu kita perhatikan adalah megenai reformasi lembaga penegak hukum, partai politik, mengembalikan KPK pada khittah-nya, penguatan civil society dan yang tak kalah penting adalah melakukan sinegritas seluruh elemen untuk pemberantasan korupsi di Indonesia.
“Masa depan pemberantasan korupsi sedang dipertaruhkan hari hari ini. Indonesia yang lebih bersih atau Indonesia yang akan membusuk”
-Goenawan Mohammad