Press Release Aksi Kamisan Yogyakarta
Teringat pada masa Orde Baru dibawah kepemimpinan Presiden Soeharto, ekonomi Indonesia mengalami kemajuan yang sangat pesat dari keterpurukan krisis moneter 1950-an. Saat itu, dengan Rancangan Pembangunan Lima Tahun (REPELITA) yang menjadi ciri khas rezim Soeharto, membuat ekonomi Indonesia membaik diiringi dengan berhasilnya beberapa kerjasama dengan negara asing, tetapi pada masa tersebut, korupsi, kolusi, dan nepotisme merajalela di tubuh pemerintahan. Di era tersebut, negara menggunakan sistem kebijakan ekonomi terbuka dengan menekankan pertumbuhan ekonomi makro, namun tidak adanya pengimbang pemerataan dan distribusi pendapatan. Akibatnya, terciptanya ketimpangan ekonomi dan sosial. Pemerintahan Soeharto pada saat itu beranggapan bahwa, pertumbuhan ekonomi secara makro hanya dapat diraih melalui investasi asing pada sektor industri. Ketimpangan sosial tersebut mulai memuncak saat investor yang berasal dari Jepang masuk ke Indonesia dan menguasai beberapa sektor perekonomian seperti, sektor otomotif, industri transportasi, makanan, elektronik, dan bahan konsumsi lain. Dari hal tersebut, berakibatkan perlawanan rakyat yang tidak menyetujui pada pemerintahan Soeharto karena dianggap menghalangi investasi yang akan merugikan rakyat.
Memasuki era Reformasi saat ini yang dipimpin oleh rezim Jokowi, juga menerapkan skema pengembangan ekonomi makro yang melancarkan jalannya investasi asing, menyebabkan banyak negara lain berinvestasi di Indonesia seperti, Singapura, Jepang, Tiongkok, Korea Selatan, Malaysia, USA, dan Negara lainnya. Untuk melancarakan jalannya investasi asing yang masuk ke Indonesia, tentunya diperlukan regulasi yang mendukung dan munculah sistem Omnibus Law. Omnibus Law merupakan metode pembuatan Undang-Undang dengan mencabut banyak Undang-Undang dan peraturan lain hanya dalam satu (1) kali pengesahan atau disebut dengan Undang-Undang Sapu Jagat. 82 Undang-Undang dipangkas dan 1.100 pasal dikerucutkan menjadi 2 Undang-Undang. Pemerintahan Jokowi mengganggap regulasi saat ini menyulitkan investasi masuk maka dengan adanya Omnibus Law sekitar 51 Pasal dalam UU Ketenagakerjaan yang akan berdampak pada para pekerja dimana pengusaha akan mudah melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap pekerjanya dan buruh akan di pekerjakan sesuai jam yang diinginkan oleh pengusaha. Sehingga muncul istilah “mudah rekrut, mudah pecat” yang dimana peraturan terkait PHK sangat dipermudah. Pemerintah juga memanjakan para pengusaha dengan menghapus sanksi pidana perburuan dan menggantinya dengan sanksi perdata berupa denda dan sanksi administrasi.
Omnibus Law merupakan bukti Indonesia telah mengalami ketergantungan modal asing akibat pengembangan ekonomi yang berfokus pada investasi dalam pengembangan ekonomi makro. Hal tersebut mengakibatkan pada sektor ekonomi bawah, lapangan kerja yang dijanjikan tidak tercapai dan rakyat tetap dalam kemiskinan. Selain itu, hutang luar negeri yang kian menumpuk ditambah eksploitasi alam secara berlebihan oleh perusahaan asing yang tidak dapat di kontrol oleh negara sehingga berdampak langsung oleh rakyat. Hal ini menjadi boomerang bagi rakyat Indonesia sendiri dengan semakin tingginya kesenjangan dan ketergantungan terhadap investasi asing.
Atas nama kemanusiaan dan penegakan Hak Asasi Manusia (HAM), Aksi Kamisan Yogyakarta, bersikap:
Kamis, 16 Januari 2020
Atas Nama
Aksi Kamisan Yogyakarta