Press release Aksi Kamisan Yogyakarta dan Aliansi Solider

“Indonesia   adalah   negara   hukum   dan   sejak   kelahirannya   pada   tahun   1945 menjunjung tinggi HAM,” begitu bunyi kalimat pertama bagian pertimbangan kenapa Indonesia meratifikasi International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR – Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik). Dengan berbagai alasan normatif lainnya, pada tahun 2005, Indonesia meratifikasi kovenan tersebut menjadi undang-undang (lihat UU No. 12 tahun 2005).

Dengan ratifikasi tersebut berarti bahwa Indonesia mengakui kewajibannya menghormati dan melindungi hak-hak sipil dan politik rakyatnya. Secara umum dan universal, hak-hak sipil dan politik yang harus dihormati dan dilindungi adalah kebebasan berpendapat, kebebasan berpikir, kebebasan berekspresi, kebebasan berkeyakinan/beragama, serta pengadilan yang adil dan tidak memihak.

Namun, pada praktiknya, Pemerintah Indonesia sering kali menerabas dan memberangus hak-hak sipil dan politik rakyatnya sendiri. Pembubaran diskusi dan demonstrasi, penangkapan sewenang-wenang, penyiksaan terhadap tahanan, intimidasi terhadap pemeluk agama minoritas, dan lain sebagainya, masih terjadi di banyak tempat. Maka tidak aneh jika indeks kebebasan sipil di Indonesia terus turun sejak tahun 2017. Lihat saja indeks kebebasan sipil di Indonesia tahun 2018 versi Badan Pusat Statistik (BPS) dan versi Freedom House tahun 2019. Laporan kedua lembaga itu menyatakan hal yang kurang-lebih sama.

Kualitas Kebebasan Sipil dan Politik yang Memburuk

Kualitas kebebasan sipil dan politik di Indonesia kemungkinan besar akan terus memburuk. Hal itu diakibatkan maraknya penggunaan sangkaan makar untuk menangkap dan menahan aktivis politik Papua maupun aktivis pembela HAM di Papua oleh Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Hingga hari ini, tercatat ada 84 aktivis Papua yang ditahan dengan pasal “makar” (pasal 106 dan 110 KUHP). Umumnya, mereka ditahan karena mengorganisir dan/atau terlibat aksi-aksi demonstrasi yang memprotes ujaran dan tindakan diskriminasi rasial terhadap mahasiswa Papua di Surabaya—kejadian yang dalang dan pelakunya tidak diusut secara serius oleh kepolisian Indonesia—pertengahan Agustus lalu, dan aksi memperingati kemerdekaan West Papua pada 1 Desember 2019.

6 di antara 84 orang berada di Jakarta dan sedang menjalani proses persidangan. Mereka adalah Ariana Lokbere, Isay Wenda, Dano Tabuni, Charles Kossay, Ambrosius Mulait, dan Surya Anta (Orang Indonesia pertama yang dikenai pasal makar karena mendukung Hak Menentukan Nasib Sendiri bagi Rakyat West Papua).

Secara kronologis, penangkapan para aktivis dimulai dari pusat kekuasaan, Jakarta. Per 30-31 Agustus 2019, Polda Metro Jaya menangkap tujuh aktivis mahasiswa Papua dan Surya Anta. Dua mahasiswa Papua di antaranya dibebaskan karena dinilai salah tangkap. 6 orang sisanya kemudian ditahan di Mako Brimob Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat, karena diduga terlibat dalam pengibaran bendera bintang kejora saat demonstrasi damai di depan Istana Negara, Jakarta, 28 Agustus 2019.

Penangkapan dan penggeledahan sewenang-wenang dan cacat prosedur.

Saat pihak Kepolisian Polda Metro Jaya yang melakukan penangkapan di Asrama Lani Jaya, Depok, terhadap Charles Kossay dan Dano Tabuni, diduga pihak kepolisian masuk secara sewenang-wenang ke dalam asrama, sambil menodongkan pistol ke arah penghuni asrama Lani Jaya. Polisi yang masuk ke dalam asrama pun, tidak memberikan surat penangkapan kepada Charles Kosay dan Dano Tabuni, namun hanya membacakan surat penangkapannya saja.

Setelahnya pihak Polda Metro Jaya melakukan penggeledahan tanpa dihadiri 2 orang saksi dari perwakilan RT/RW setempat, dan tanpa membawa surat izin penggeledahan dari Pengadilan Negeri Setempat, yang mana hal ini telah melanggar ketentuan pasal 33 ayat (4) KUHAP.

Penggunaan Pasal Makar Keliru

Banyak ahli hukum menyebut bahwa penerapan pasal 106 KUHP yang disangkakan harus memuat unsur Aanslag(serangan fisik). Sedangkan para aktivis tersebut di atas mengekspresikan aspirasi politiknya secara damai tanpa kekerasan. Sekalipun aspirasi yang mereka suarakan adalah kemerdekaan Papua, selama disampaikan secara damai, tidak bisa dikenai pasal tersebut. Karena itu, Amnesty International Indonesia menyebut para tahanan sebagai “tahanan hati nurani yang dipenjara hanya karena mengungkapkan pendapat mereka dengan damai.” Melalui surat yang ditujukan pada Presiden Jokowi, Amnesty International Indonesia meminta agar presiden membebaskan para tapol itu tanpa syarat.

Kebebasan untuk berekspresi, berpendapat, dan berserikat dijamin oleh pasal 18, 19, dan 21 Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik yang diratifikasi pemerintah dalam UU No. 15 tahun 2005. Bahkan, pasal 19 menyatakan, “Setiap   orang   berhak   atas   kebebasan   untuk   menyatakan   pendapat;   hak   ini   termasuk  kebebasan  untuk  mencari,  menerima  dan  memberikan  informasi  dan pemikiran  apapun,  terlepas  dari  pembatasan-pembatasan  secara  lisan,  tertulis, atau  dalam  bentuk  cetakan,  karya  seni  atau  melalui  media  lain  sesuai  dengan  pilihannya.”

Anda pro kemerdekaan Papua atau tidak, kebebasan berpendapat dan berekspresi adalah hak setiap warga negara. Anda bebas untuk menyatakan pendapat selama pendapat itu disampaikan secara damai dan tanpa hasutan untuk bertindak diskriminatif serta tanpa tindak kekerasan. Namun polisi telah salah kaprah dengan mentersangkakan dan menahan para aktivis politik Papua.

Pembungkaman Juga Mulai Dilakukan Oleh Lembaga Akademik Bernama Kampus

Dunia akademik melekat padanya kebebasan intelektual yang harus dibuat tumbuh subur pada setiap periodesasi bahkan setiap saat kegiatan di dalamnya. Tapi represi akademik telah mengubah wajah kampus yang seharusnya ramah pada kritik dan pengungkapan kebenaran ilmiah menjadi wajah otoriter dan sewenang-wenang.

Universitas Malahayati (UNMAL) Lampung dan Universitas Khairun (UNKHAIR) Ternate sedang menunjukan kedua gelagat tersebut. UNMAL melakukan intimidasi dan ancaman berupa larangan mengikuti Ujian Akhir Semester (UAS) dan pencabutan beasiswa kepada mahasiswa anggota organisasi mahasiswa Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi – Dewan Nasional (LMND-DN) yang aktif menyuarakan permasalahan di Papua.

19 Desember 2019, Kristina Tia Ayu yang merupakan Ketua Wilayah LMND-DN Lampung dipanggil oleh pihak birokrat kampus, melalui Dekan Fakultas Hukum Universitas Malahayati Bpk. Aditia Arief Firmanto.S.H.,MH. via chatt whatsapp. Dalam pertemuan Kristin dan mahasiswa yang tergabung dalam LMND-DN diultimatum tidak dapat mengikuti UAS. Kabar serupa juga disampaikan oleh mahasiswa Jurusan Hukum Pidana. Hal ini dilakukan pihak kampus dengan alasan aktivitas politik yang dilakukan LMND-DN Lampung melalui kampanye baik secara langsung maupun tidak langsung terkait isu Papua untuk segera dihentikan.

Disampaikan pula bahwa ini merupakan peringatan terakhir, apabila dalam waktu sebelum jadwal UAS dilaksanakan LMND-DN Lampung tidak memberikan keputusan sesuai kehendak Universitas dan Kepolisian maka mahasiswa yang terlibat dalam organisasi LMND-DN di Universitas Malahayati Fakultas Hukum tidak diperbolehkan mengikuti UAS.

Pemanggilan Dekan Fakultas Hukum terhadap Kristin bukan hal yang pertama terjadi, sebelumnya yakni tepat setelah LMND-DN Lampung melakukan aksi massa dengan tema “Kebebasan Berpendapat adalah Hak Asasi, Hentikan Kriminalisasi dan Bebaskan Aktivis Pro Kemerdekaan Papua Tanpa Syarat” pada Rabu, 18 September 2019 di depan Universitas Bandar Lampung.

Kamis, 19 September 2019 Kristin diminta menemuin Bpk. Aditia dan dapat bertemu pada Jum’at 20 September 2019, pada saat itu bahkan intimidasi yang dilakukan terhadap Kristin berupa ancaman pencabutan beasiswa kuliah yang sebetulnya tidak pernah dipermasalahkan sebelumnya. Intimidasi dan ancaman ini diduga kuat berkat adanya intervensi dari Intelejen Kepolisian Daerah Lampung dan Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung.

Sementara itu 12 Desember 2019, dengan menimbang Surat Kepolisian Nomor B/52B/XII/2019/Res Ternate Tertanggal 12 Desember 2019 perihal Surat Pemberitahuan. Tanpa alasan yang jelas, Rektor Universitas Khairun (Unkhair) Ternate memberhentikan 4 mahasiswanya dengan tuduhan melakukan perbuatan ketidakpatutan yang mengarah tindakan makar dan mengganggu ketertiban umum.

Keempat mahasiswa tersebut adalah Arbi M. Nur (Mahasiswa Jurusan Kimia, FKIP, Semester XIII), Fahyudi Marsaoly (Mahasiswa Jurusan Teknik Elektro, Fakultas Teknik, Semester XI), Ikra Alaktiri (Mahasiswa Jurusan PKN, FKIP, Semester V) dan Fahrul Abdul (Mahasiswa Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian, Semester II).

Dalam Surat Keputusan (SK) Nomor 1860/UN44/KP/2019 tertera bahwa yang menjadi dasar pemberhentian keempat mahasiswa tersebut adalah unjuk rasa damai “Memperingati 58 Tahun Deklarasi Kemerdekaan Rakyat West Papua” yang dilakukan pada 2 Desember 2019 di depan kampus Universitas Muhammadiyah Ternate.

Janggalnya hingga detik ini keempat mahasiswa tersebut tidak pernah menerima SK tersebut secara langsung. Mereka baru mengetahui bahwa telah di-DO dari teman-temannya yang kemudian diperkuat oleh liputan yang dirilis oleh Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Kultura pada tanggal 26 Desember 2019. Selain itu mereka juga tidak pernah diberi peringatan atau dipanggil terlebih dahulu sebelum keputusan DO tersebut ditetapkan.

Padahal jelas dan terang disebutkan dalam Pasal 74 ayat (1) Peraturan Rektor No. 1714/UN44/KR.06/2017 tentang Peraturan Akademik bahwa tahapan Sanksi dimulai dari: (a) Teguran lisan (b) teguran tertulis.

Salah satu  bahan pertimbangan Rektor dalam mengeluarkan SK DO adalah Surat Kepolisian Ternate No B/52B/XII/2019/. Isian surat Kepolisian Nomor tersebut  bukanlah Surat Mentersangkakan atau Surat Perintah Penangkapan atas tindak makar atau menggangu ketertiban umum, melainkan surat pemberitahuan aksi sebagai bentuk kepatuhan warga negara terhadap aturan sebelum melakukan kegiatan menyatakan pendapat di muka umum .

Pun jika surat tersebut memang surat Penangkapan atau menjadikan sebagai tersangka, maka tidak lantas menjadi legitimasi bagi Rektor menerbitkan SK DO karena seseorang belum bisa dikatakan bersalah tanpa putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Menanggapi kejadian ini, pada 30 Desember 2019, sekitar 200 mahasiswa yang tergabung dalam Solidaritas Perjuangan Demokrasi Kampus (SPDK) Kota Ternate menggelar aksi unjuk rasa memprotes kebijakan Drop Out sepihak empat mahasiswa tersebut, di depan Gedung Rektorat Universitas Khairun. Tapi aksi ini tidak berjalan dengan damai malah berujung pada kekerasan. Dalam aksi ini, pihak Universitas Khairun melalui aparat keamanan (satpam) dan preman menggunakan kekerasan untuk membubarkan secara paksa massa aksi. Hal tersebut mengakibatkan sejumlah massa aksi mengalami luka sobek dan lebam di kepala, tangan dan kaki.

Kasus yang terjadi di UNMAL dan UNKHAIR seharusnya menjadi skandal dunia pendidikan paling memprihatinkan, karena kampus yang seharusnya menjadi ruang yang aman untuk berlangsungnya proses pembelajaran, pengungkapan fakta ilmiah dan sarana perdebatan tak ubahnya hanya menjadi lembaga kaku yang menyumbat dielaktika pemikiran mahasiswanya. Sulitnya mendapatkan hak akan kebebasan untuk berekspresi dalam bentuk protes terhadap negara tidak terlepas dari represifitas negara yang tidak hanya datang dari aparatus kekerasan negara (TNI-Polri) (sekalipun pelanggaran terbanyak dari aparat negara) tetapi sudah menyasar secara luas sampai pada dunia akademik.

2 Tahun Rakyat Nduga Merayakan Natal dengan Kelam

Wakil Bupati Nduga, Papua, Wentius Nimiangge mengundurkan diri dari jabatannya di hadapan masyarakat Nduga, Selasa (24/12). Wentius mengundurkan diri sembari mengaku tak sanggup melihat sejumlah kekerasan hingga pembunuhan yang menimpa warga sipil oleh aparat TNI/Polri.

Wentius mengaku kecewa terhadap pemerintah pusat dalam merespons konflik di Kabupaten Nduga sejak Desember 2018 lalu. Warganya masih banyak yang mengungsi tetapi Desember 2019 terjadi lagi kasus pembunuhan.

Operasi militer oleh pemerintahan Joko Widodo usai terjadi penembakan dalam proyek Trans Papua telah mengirim lebih banyak kematian ketimbang kedamaian. Warga Nduga bahkan merayakan dua kali Natal dalam duka. Operasi aparat gabungan TNI/Polri tanpa batas waktu itu berujung pengungsian massal warga Nduga sebanyak 37.000 orang, dan 241 di antaranya harus meregang nyawa.

Berangkat dari fakta-fakta di atas, dalam kesempatan ini, kami ALIANSI SOLIDER dan Aksi Kamisan Yogyakartamenyatakan sikap dan menuntut:

  1. Bebaskan seluruh tahanan politik tanpa syarat termasuk Surya Anta;
  2. Cabut SK Drop Out UNKHAIR (Nomor 1860/UN44/KP/2019) kepada Arbi, Fahyudi, Fahrul dan Ikra;
  3. UNMAL dan UNKHAIR menghentikan segala macam bentuk pembungkaman ruang demokrasi dan berekspresi di dalam kampus;
  4. Mengecam tindakan intimidasi intel Polresta Bandar Lampung dan Polda Lampung Terhadap Mahasiswa Universitas Mahalayati Llampung;
  5. Hentikan intervensi kepolisian dalam dunia kampus / pendidikan;
  6. Tarik TNI/POLRI organik dan non organik dari tanah Papua;
  7. Buka akses jurnalis seluas-luasnya di Papua;
  8. Hentikan operasi TNI/POLRI di Nduga, Intan Jaya, Puncak Jaya dan di seluruh tanah Papua;
  9. Tolak pemekaran provinsi dan kabupaten di Papua;
  10. Berikan hak menentukan nasib sendiri bagi bangsa papua sebagai solusi demokratis;

Demikian pernyataan sikap ini kami sampaikan. Kami juga mengajak seluruh elemen rakyat Indonesia untuk bersatu dan berpartisipasi dalam memperjuangkan peningkatan kualitas demokrasi di Indonesia, karena takkan pernah ada perbaikan kesejahteraan (ekonomi) tanpa terwujudnya demokrasi yang sejati.

Panjang umur perjuangan rakyat Indonesia!

Yogyakarta, 2 Januari 2020

ALIANSI SOLIDERAKSI KAMISAN YOGYAKARTA

Jika anda menyukai konten berkualitas Suluh Pergerakan, mari sebarkan seluas-luasnya!
Ruang Digital Revolusioneir © 2024 by Suluh Pergerakan is licensed under CC BY-SA 4.0