Forum Juang Tamansari Bandung
Hanya terpaut dua hari sedari peringatan Hari HAM Internasional, Pemerintah Kota Bandung lewat aparatus kekuasaannya justru melakukan serentetan pelanggaran HAM yang tak terperi. Tepat pada 12 Desember 2019, Satuan Polisi Pamong Praja Kota Bandung yang dibantu Kepolisian Resor Kota Besar Bandung serta anggota TNI, dikerahkan untuk melakukan penggusuran warga RW 11 Kelurahan Tamansari, Kecamatan Bandung Wetan, Bandung.
Bukan hanya meratakan rumah warga dengan ekskavator, mereka pun menghancurkan serta merampas perabotan serta benda-benda penting milik warga, berlaku represif hingga tak sedikit yang mengalami luka-luka, hingga menangkapi warga serta massa solidaritas yang berupaya mempertahankan rumah warga RW 11 Tamansari yang tersisa. Dampaknya sendiri bagi warga tentu tak bisa dianggap sepele. Dari mulai goncangan psikis yang dialami semua warga—baik anak-anak maupun orang tua—hingga kerugian materil yang tak sedikit atas kehilangan maupun pengrusakan rumah dan benda-benda milik warga. Dengan dalih memiliki hak atas tanah yang ditempati warga, Pemerintah Kota Bandung yang dua tahun lalu mendeklarasikan diri sebagai kota ramah HAM, berencana untuk segera memulai proyek Rumah Deret di lahan RW 11 Tamansari.
Semua sengkarut permasalahan maupun kecacatan prosedur tentang proyek Rumah Deret di RW 11 Tamansari ini, berawal dari undangan buka puasa bersama di Pendopo Kota Bandung alias rumah dinas Walikota pada pertengahan tahun 2017. Acara buka puasa bersama itu berubah menjadi ajang sosialisasi Rumah Deret oleh Pemerintah Kota Bandung yang sudah barang tentu membuat warga yang tak tahu apa-apa terkejut. Pasalnya pada momen itulah warga menyadari bahwa rumah mereka bakal digusur. Dalam perencanaan proyek pembangunan Rumah Deret itu sendiri warga betul-betul tidak dilibatkan. Justru malah langsung diundang pada momen sosialisasi yang sebelumnya mereka tak pernah tahu akan ada proyek pembangunan Rumah Deret.
Tentu warga RW 11 Tamansari telah mencecap banyak hal dari perjuangan mereka selama rentang dua tahun. Selain tak henti melayangkan gugatan, mengajukan permohonan dokumen Rumah Deret, menggelar aksi-aksi tuntutan, hingga menggeruduk kantor-kantor dinas terkait di pemerintahan Kota Bandung; tentu masyarakat RW 11 Tamansari pun tak henti melakukan pelbagai resistensi lain untuk terus mempertahankan ruang hidup mereka. Dari mulai menulis surat terbuka untuk Komnas HAM, membuka Dapur Balubur atau Pasar Melawan untuk mengembalikan ekonomi ibu-ibu masyarakat RW 11 Tamansari, melakukan roadshow ke kampus-kampus di Bandung guna mengampanyekan penggusuran di RW 11 Tamansari, hingga menggelar berbagai acara maupun festival kesenian di puing reruntuhan bekas bangunan masyarakat RW 11 Tamansari yang telah diratakan ekskavator.
Dari semua bentuk-bentuk resistensi itu, masyarakat RW 11 Tamansari mampu menunjukkan bahwa upaya mereka mempertahankan ruang hidupnya, tidak hanya melalui jalur hukum maupun legal-formal. Dan dari serentetan bentuk perjuangan warga RW 11 Tamansari itulah kemudian mampu mengundang banyak solidaritas dari lintas elemen masyarakat. Kendati semua bentuk perjuangan itu telah ditempuh, namun tetap saja pada Kamis yang mungkin bakal dikenang sebagai Kamis paling pahit dalam linimasa hidup warga RW 11 Tamansari, menjadi bukti bahwa Pemerintah Kota Bandung yang berselempang aparatus represifnya itu betul-betul telah merenggut ruang hidup warga. Meski gugatan warga terkait proyek pembangunan Rumah Deret masih berjalan di pengadilan—bahkan pada 1 November 2019 pun BPN telah melansir surat keputusan bahwa tanah di Tamansari itu adalah status quo—namun tetap saja eksekusi semua warga oleh aparat yang dikerahkan pun tak bisa dihentikan.
Kembali lagi pada bagaimana aparat yang dikerahkan kala proses eksekusi rumah warga, banyak sekali perlakuan yang mencoreng kemanusiaan. Mulai dari menangkapi secara acak massa solidaritas bahkan orang-orang yang sejatinya hanya berkunjung ke Balubur Town Square atau hendak menunaikan shalat ke masjid Al-Islam; menghancurkan dan mengangkut barang-barang warga; memukuli dan menggelandang warga serta massa solidaritas dengan begitu represif; memperlihatkan kekerasan di hadapan anak-anak; memakai gas air mata dalam prosesi eksekusi; hingga upaya lain yang jelas-jelas memperlihatkan secara vulgar bentuk kekerasan dari aparatus kekuasaan.
Satu hari pasca penggusuran, massa solidaritas memutuskan untuk membagi diri menjadi beberapa tim dengan tugas masing-masing. Ada tim evakuasi, tim logistik, tim pendamping warga, tim keuangan hingga tim dapur umum. Sebagian orang membantu warga memindahkan barang dan menjaga tempat mereka tidur; sebagian mencatat kebutuhan darurat warga. Sebagian lagi mendampingi dan menenangkan warga secara psikis, sebagian mengelola keuangan.
Setelah rumah-rumah dibongkar dan diratakan dengan tanah, warga dan massa solidaritas mesti beristirahat di Masjid Al-Islam. Masjid Al-Islam, yang terletak persis di belakang Balubur Town Square (Baltos), sempat menjadi masjid yang dijadikan pusat kegiatan warga Tamansari dan kawan solidaritas. Forum warga, konferensi pers, hingga kelas belajar bagi anak-anak sering diadakan di masjid ini. Masjid Al-Islam tentunya menyimpan banyak ingatan dan emosi kolektif—sungguh pahit rasanya mengingat bahwa esok hari bisa saja masjid ini sudah ikut rata dengan tanah.
Meski apa yang sebelumnya warga RW 11 Tamansari pertahankan telah direnggut, namun bukan berarti perjuangan mereka berhenti begitu saja. Di atas sisa berangkal dan masjid Al-Islam yang menjadi benteng pertahan terakhir, warga RW 11 Tamansari tentu masih berada di posisi semula seperti dua tahun ke belakang ketika mereka betul-betul menolak upaya pembangunan Rumah Deret. Perjuangan warga RW 11 Tamansari masih belum usai. Di hadapan rongrongan pemerintah kota yang kian sibuk dengan penghargaan kota ramah HAM yang direngkuhnya, warga RW 11 Tamansari masih akan tetap berjuang untuk mempertahankan apa yang selama ini mereka punya.
Bandung, 16 Desember 2019
Forum Juang Tamansari Melawan.