“Penghormatan buta pada kekuasaan adalah musuh besar kebenaran” -Einstein
Semua orang menunggu siapa yang jadi Presiden berikutnya. Jokowi dan Prabowo tampaknya bersaing ketat. Survei memang memenangkan Jokowi tapi suara Prabowo juga tak kecil. Prabowo bahkan percaya dirinya akan menang dengan mengumumkan lebih dulu siapa yang kelak jadi menterinya. Di akhir debat yang terjadi kemaren tampaknya dua kandidat ini meyakini kalau pembangunan ekonomi yang berorientasi ke pasar adalah pilihan yang tak bisa dihindari. Konsep kedua kandidat dalam membangun ekonomi tak banyak bedanya.
Hanya Prabowo dalam retorika membawa bawa nama rakyat berulang kali. Bahkan Sandi menyebut sejumlah nama ibu-ibu yang susah hidupnya. Keduanya seperti baru sadar kalau banyak rakyat itu hidup dalam kemiskinan. Sepertinya mereka baru bangun dan percaya kalau memang sistem ekonomi yang ditegakkan itu keliru. Prabowo menyebut Presiden sebelumnya yang tak lain adalah mertuanya sendiri. Dulu Soeharto yang mengabsahkan sistem ekonomi yang mengekploitasi sumber daya alam sembari merebut banyak tanah rakyat.
Jokowi juga sama saja. Meletakkan pembangunan ekonomi dengan pertimbangan pasokan dan permintaan. Selalu disebut ekonomi makro yang sebenarnya kata lain dari ekonomi pasar. Pilihan kebijakanya adalah membangun proyek infrastruktur yang banyak menelan tanah rakyat bahkan membuat konflik agraria meledak dimana-mana. Tujuan utama pembangunanya adalah meningkatkan investasi sebesar-besarnya dengan harapan akan bisa menyediakan lapangan kerja. Bahkan dirinya dengan bersemangat akan membuat proyek infrastruktur digital.
Bedakah diantara keduanya? Beda dalam retorika tapi satu dalam tujuan. Bagaimana Indonesia menjadi negara yang terbuka secara pasar dan membuat rakyatnya menjadi makmur karena itu semua. Prabowo-Sandi membuat ide namanya wirausaha muda yang sebenarnya itu bertujuan supaya tenaga kerja menjadi lebih bisa berguna dalam menghadapi sistem buas pasar bebas. Keduanya menginginkan petani makmur tapi juga ingin harga beras murah. Tanpa konsep yang rinci tampaknya keduanya hanya bersandar pada keyakinan buta bahwa berkuasa dulu sedang kebijakan itu dipikirkan di kemudian hari.
Jokowi memang mengutarakan apa yang sudah dilakukan dan prestasi sudah ditorehnya. Tapi kemampuanya memang tak bisa memenuhi harapan banyak rakyat, terutama yang kecil dan yang jadi korban pelanggaran HAM. Pada yang pertama mencuat melalui konflik agraria dan lingkungan sedangkan yang kedua mengalami kemandegan. Hampir selama 4,5 tahun usia pemerintahanya konfik agraria tersulut begitu hebat, mulai dari Rembang hingga Sulawesi Selatan. Begitu pula pada soal pelanggaran HAM dirinya tak bisa berbuat banyak. Lebih-lebih dikelilingi oleh elite yang memang kebanyakan punya bisnis yang bersinggungan dengan lingkungan.
Tindakan golput itu pilihan tapi resiko yang kita alami hari ini adalah kedua pendukung yang bersemangat dan percaya kalau akan menang. Kedua golongan ini tak sadar bahwa orientasi kebijakan yang ditempuh oleh keduanya itu tak ada yang baru dan sanggup memenuhi rasa keadilan. Jebakan yang ada di keduanya adalah keinginan untuk saling mengenyahkan satu sama lain. Sungguh yang tragis dalam pemilu kali ini adalah perasaan lebih unggul satu kelompok dibanding kelompok lain. Mungkinkan ini efek dramatis yang dilakukan oleh hoax selama ini? Apakah itu dampak dari digunakanya sentimen SARA?
Inilah akibat langsung dari kebijakan kapitalistik selama ini. Kita sudah memperdagangkan apa saja untuk berkuasa. Dulu di masa Orde Baru kita dagangkan rakyat kritis dengan tuduhan komunis. Dibunuh, dipenjara bahkan dibuang. Rakyat kecil tak ada harganya sama sekali karena rumahnya gampang digusur, tanahnya bisa diambil alih dan badanya bisa disiksa. Tumpukan korban pembangunan ini tak pernah dikenang sama sekali bahkan keadilan bagi mereka tak kunjung diberikan. Semua itu demi kemakmuran ekonomi, pertumbuhan ekonomi dan datangnya investasi. Semua tahu kebijakan itu semua hanya melahirkan 1% orang paling kaya yang menguasai 80% lebih kekayaan milik rakyat.
Kekacauan ini kita koreksi bersama melalui reformasi. Tapi rajutan politik yang kita bangun memang tidak mampu memangkas hak istimewa penguasa Orba karena kita tak mau mengguncang sistem ini dengan keras. Malah kita kemudian dengan gampang menerima regulasi yang sangat liberal dengan mementahkan semua ide politik radikal yang pernah muncul. Tiba-tiba saja partai politik muncul begitu rupa yang sebagian besar diisi oleh para anggota keluarga besar Orde Baru. Muncullah kemudian Presiden yang bergiliran duduk di tahta tapi dengan kebijakan ekonomi yang terbuka pada apa saja. Kita hampir tak punya wilayah teritorial yang tak dijajah oleh imperium kapitalisme.
Rakyat yang dulu berguguran karena berjuang melawan diktator Orba kini gugur karena melawan dua kekuatan utama: pemerintah yang melindungi investor dan para preman yang dibayari investor. Para investor sendiri dianggap sebagai tamu kehormatan, dipuja mirip pahlawan bahkan keberadaanya dilindungi oleh hukum. Lihat banyak petani dikriminalisasi gara-gara tanahnya tidak mau dibeli oleh perusahaan. Belum lagi ada banyak kerusakan lingkungan yang musti ditanggung oleh warga sekitar akibat operasi perusahaan. Singkatnya kebijakan pembangunan kita lebih peduli pada investor ketimbang rakyat kecil yang lemah dan tak berdaya.
Tumbuhlah lapisan yang dipanggil dengan sebutan oligarkhi. Para jutawan yang punya kekayaan raksasa sehingga bisa membeli apapun. Misalnya suara atau keputusan publik. Di bawah pengaruh uang yang mereka punya diperoleh kesempatan untuk melakukan apa aja: mendukung salah satu kandidat atau sekalian menjadi kandidat. Kebutuhan mereka untuk memastikan suara hanya pada seberapa banyak modal yang mereka punya. Suara adalah komoditas hari-hari ini yang bisa dipertukarkan dalam pasar pemilu yang bebas. Sehingga janji janji kampanye seperti lalu lintas barang yang ukuranya bukan benar atau salah tapi bisa mempengaruhi pilihan atau tidak. Jualan paling mudah adalah SARA.
Episode ini akan dilanjutkan melalui Pemilu. Kita bukan merawat sebuah ide alternatif tapi mengabadikan ide lama yang dipoles sana sini. Kiat untuk melakukanya adalah dengan Pemilu langsung yang membuat rakyat seperti pasar konsumen yang dirayu, ditipu dan dimobilisasi. Kita membiarkan diri untuk melupakan apa yang sudah dikorbankan di masa lalu dan siapa saja yang telah jadi korban perbuatan sewenang-wenang. Kita mengabaikan hukuman pada yang salah dan membiarkan para penjahat kemanusiaan bertebaran dimana-mana. Bahkan mereka mencoba mewariskan kejahatan itu pada anak buahnya dan anak turunanya.
Hanya kita lupa bahwa korban itu takkan pernah diam. Mereka protes, menyatakan perlawanan dan berusaha meraih dukungan. Sebagian berhasil mendapat perhatian dan yang lain tetap melawan dengan gigih. Barisan korban yang berserakan itu mencuat melalui sikap politik golput yang bisa jadi angkanya membesar pada pemilu kali ini. Barisan korban yang lain mungkin memilih tapi dengan catatan. Tapi kawanan korban itu kini menjadi ummat yang menjalar di banyak tempat, menyatakan protes di sejumlah daerah dan pastilah satu saat ada kesempatan.
Ketika ekonomi pasar bebas memunculkan monsternya yang namanya ketidak-pastian dan spekulasi. Saat gempa ekonomi itu mengguncang maka yang muncul bukan hanya pengangguran tapi kemarahan semua kelas sosial yang selama ini kehidupanya amat tergantung dengan sistem ini. Pertanyaan sederhananya apakah setiap gempa ekonomi akan dilalui dengan pengaturan kursi kekuasaan sebagaimana yang dilakukan pada masa akhir orba? Bisa jadi sama atau bisa jadi beda karena guncangan kali ini bisa berlangsung keras, dalam dan menghantam semua sektor.
China mulai dipandang kuat, bahaya dan berpengaruh. Sedangkan Amerika masih diperintah oleh Presiden yang tak terlalu suka membaca apalagi mendengar nasehat. Berbeda dengan Soeharto yang dulu remuk karena tekanan eksternal juga. Kini negara-negara raksasa itu hadapi soal yang mirip: diabaikanya hak asasi manusia dan dibiarkanya ekonomi diseret dalam ketimpangan. Artinya skenario yang lebih mungkin adalah kiamat itu berpeluang terjadi secara serempak dan mungkin saja kita disini yang terkena imbas paling menyakitkan!
Lalu apa yang kita harus lakukan? Itulah pertanyaan yang selalu muncul dalam diskusi. Selalu keinginanya adalah solusi bukan memahami masalah terlebih dulu. Ketidak pedulian kita pada peta persoalan pelik yang dihadapi bersamaan dengan keinginan untuk mendapatkan solusi secepatnya. Jawaban idealnya revolusi tapi jawaban realistisnya adalah konsolidasi. Merakit kekuatan rakyat yang ada dimana-mana untuk selalu percaya bahwa mereka bisa memimpin, mengubah dan menjadi kekuatan perubahan. Berikan mandat itu ke rakyat yang jadi kurban pembangunan dan tugas kita adalah memperkuat elemen kekuatan itu. Tak lebih hanya itu modal menyambut kemenangan boneka kapitalis!