Oleh: Djunawir Syafar
***
Persoalan penting yang sekarang masih menjadi kegelisahan dalam dunia pendidikan kita, khususnya dalam lingkungan Perguruan Tinggi (PT) ialah bagaimana agar bisa terus mengembangkan inti dari Tri Dharma Perguruan Tinggi. Yakni pendidikan dan pengajaran, penelitian, serta pengabdian pada masyarakat. Karena tiga komponen tersebut merupakan kerangka inti dari sebuah PT;. tidak hanya mengejar momentumnya saja, akan tetapi benar-benar diharapkan bisa diserap dengan baik oleh PT itu sendiri sampai ke masyarakat.
Sekurang-kurangnya, Tri Dharma PT tersebut merupakan alat ukur kelembagaan mengenai kehadirannya sebagai jenjang pendidikan. Lalu pertanyaannya kemudian, cukupkah Tri Dharma tersebut sebagai bangunan keilmuan dan sebagai kontribusi sosial? Hal yang menarik dalam hal ini, bagaimana masing-masing PT kita mengisi ruang-ruang tersebut dengan nilai tawar keilmuan dan partisipasi sosialnya. Karena Tri Dharma PT tersebut hanya berupa kerangka dasar bagi masing-masing PT, tetapi isi dan susunannya diserahkan sepenuhnya kepada masing-masing lembaga. Karena yang lebih mengetahui apa yang menjadi problem dan kebutuhan inti adalah pihak lembaga itu sendiri. Di sini, kita bisa mengukur sendiri apa yang sedang dialami dan dirasakan oleh lembaga pendidikan kita khususnya lingkungan PT. Apakah masing-masing lembaga PT yang ada telah menemukan jalan keluarnya, atau justru telah sampai pada jalan buntu.
Jika kita perlu bertanya lagi, apa sebetulnya yang mengakibatkan kebuntuan lembaga pendidikan kita dalam konteks kerangka di atas. Tentu jawabannya sangat banyak. Tetapi, di antara banyaknya problem tersebut, ada beberapa hal dasar yang sangat mungkin dapat mengakibatkan kemacetan produksi pengetahuan dan tidak terserapnya dengan baik konsep keilmuan tersebut sampai pada masyarakat. Pertama, bangunan kelembagaan kita tidak terbangun bersama dengan landasan keilmuan yang kokoh, pada akhirnya hanya membangun tujuan keilmuan yang paradoks. Kedua, ketika bangunan keilmuan tidak dapat mengimbangi gesekan struktural, kepentingan ideologi dan politik, maka tujuan lembaganya akan menjadi taruhannya. Hal ini seperti sudah menjadi guyonan keseharian, karena sudah dianggap hal yang biasa saja. Sehingga, sesuatu yang akan kita anggap mempunyai manfaat atau nilai lebih, apabila sesuatu itu dapat bergandengan tangan dengan hal-hal di atas. Yang berada di luar dari itu, biasanya jika tidak dianggap lawan maka akan dianggap sebagai musuh. Gus Dur misalnya, telah sampai bahkan bisa dikatakan melampaui pada tahap melihat perdebatan tersebut. Gus Dur menjelaskan, bahwa kesempatan dan kreativitas seseorang maupun kelompok, seharusnya tidak ditentukan oleh identitas politiknya, etnis, jenis kelamin, dan batas teritorial. Gus Dur memberikan titik tekan, betapa pun sesuatu yang kita anggap bertentangan, kita perlu memberikan apresiasi. Akan tetapi, relevan atau tidaknya hal tersebut tentu akan diuji sendiri oleh kenyataan yang ada. Jika hal tersebut tidak sesuai maka dengan sendirinya juga akan ikut tertolak. Maka itulah mengapa dalam banyak hal, Gus Dur sering berulang-ulang mengungkapkan kalimat, “nanti sejarah yang akan membuktikan”. Bahwa benar atau tidaknya segala sesuatu itu maka akan dibuktikan dan diukur sendiri oleh masyarakat seiring dengan berjalannya waktu.
Dua hal yang telah dijelaskan di atas, tentu hanyalah persoalan terkecil dari apa yang menjadi problem pendidikan kita sampai dengan saat ini. Karena masih banyak problem-problem lainnya yang perlu kita lihat dan eksplorasi lagi. Mengingat, bahwa lembaga pendidikan bukanlah ruang kosong yang sepi dari berbagai persoalan apa pun.
Problem di atas, setidaknya kita telah melihat bahwa lembaga pendidikan juga merupakan salah satu lembaga inti yang ada di masyarakat. Karena dari sini, terjadi proses investasi sumber daya manusia, bagaimana setiap masyarakat yang terlibat di dalamnya ikut mempersiapkan diri untuk menghadapi proses-proses selanjutnya. Sehingga, sangat disayangkan, jika perguruan tinggi kita tidak dapat bercermin dan berbenah diri dari apa yang telah terjadi selama ini. Dengan proses perubahan sosial hingga kemajuan sains yang bergerak begitu cepat, jika lembaga pendidikan kita hanya bertahan dengan kondisi yang sama, maka lembaga pendidikan kita benar-benar telah sampai pada jalan buntu.