Andai Alfonso Cuarson tinggal di sini, mungkin ia bisa mengajari sedikit cara membuat cerita. Tentang keluarga yang berada dalam kurun waktu penting: suasana politik yang menghantui Meksiko, dimana anak-anak muda menuntut perubahan. Dihabisi oleh pasukan elite yang menggunakan tenaga laskar yang dikenal dengan peristiwa ‘Chorpus Christi Massacre’. Sudut yang diambil Alfonso bukan dari politisi, tapi warga biasa.
Namanya Cleo, pembantu yang sudah dianggap sebagai keluarga oleh Sofia, ibu rumah tangga kelas menengah, dan Antonio, pria brengsek yang mengkhianati keluarga. Hidup Cleo sama seperti pembantu pada umumnya: mencuci, ngepel, dan punya pacar yang menyukai martial art. Sang pacar yang berasal dari Laskar, hidupnya hanya bermodal cumbuan dan tenaga.
Potret yang dilukis dalam gambar hitam putih itu seperti melukiskan hari-hari kita. Majikan yang hidupnya dihiasi oleh pekerjaan, kesibukan, dan tuntutan, sedangkan pembantu yang merapikan semuanya. Bau kontradiksi kelas pekat dalam film Roma sehingga kita seperti diajak untuk menyaksikan bagaimana ketimpangan yang diterima secara sadar.
Cleo seperti kebanyakan rakyat kecil pada umumnya: patuh, setia, dan loyal. Bahkan ketika majikannya berbuat onar atau ketika majikannya meminta hal tak masuk akal. Tumpukan pekerjaan rumahan yang menumpuk dihadapi dengan rutinitas yang lazim. Cleo mengganti semua fungsi rumah tangga yang saat itu memang lumpuh. Adegan pembantu bawa cucian dari kamar ke kamar sangat meyentuh.
Tugasnya komplit: mencuci, menidurkan anak, hingga mengantarnya ke sekolah. Perbuatan yang rutin itu dilakukan berulang-ulang sehingga kita seolah disadarkan kalau rakyat kecil itulah yang membuat hidup kelas menengah itu berjalan normal. Alfonso meyakinkan kita kalau kesenjangan itu disegarkan bukan hanya oleh perbedaan kekayaan, tapi kebiasaan.
Kobaran kontradiksi itu dilukiskan dengan meyakinkan: pembantu tidur seadanya, berpesta ala orang kecil, dan musti melindungi majikan beserta keluarganya. Sebuah adegan yang mengiris hati muncul ketika Cleo musti berlari-lari memburu anak majikan yang ingin mendatangi gedung bioskop lebih dulu. Cleo lari di trotoar padat, sedang anak majikan yang remaja tertawa dengan riangnya, tak peduli, dan baru diam saat melihat sepintas ayahnya dengan wanita lain. Adegan menusuk dan mengejutkan.
Tapi Cleo bukan aktivis kiri yang secara sadar ingin melawan. Diterimanya keadaan ini dengan wajar dan semua itu ditatap dengan kepolosan wajahnya. Alfonso meletakkan kamera pada tangan orang sederhana yang hanya bisa menyaksikan keadaan ini dengan bingung, kuatir, tapi juga percaya kalau semua keadaan biasa diatasi. Wajah Cleo dalam balutan film hitam putih ini sungguh mengaggumkan.
Mungkin kekuatan film ini tak hanya meletakkan perempuan sebagai subyek yang progresif, tapi juga orang kecil yang selalu sulit memahami situasi politik yang berubah. Fermin pacar Cleo yang brengsek juga orang kecil yang tergila-gila dengan latihan karate dan dimanfaatkan untuk memukul kekuatan progresif. Semua dituturkan dengan ringan, indah, dan memihak. Dua pria dalam film ini dilukiskan sebagai sosok bajingan yang ngawur.
Bahkan saat keluarga itu mulai pecah. Suami yang ingin meninggalkan rumah dan ibu yang berusaha mengabarkan pada anak-anaknya tentang apa yang terjadi. Diumumkan kepergian bapaknya dalam suasana liburan yang berujung muram: anak-anak makan es krim, sedang di sampingnya berlangsung pesta pernikahan. Pengumuman yang membuat si sulung pecah tangisnya. Liburan keluarga yang getir, pahit, dan membuat kita terperanjat.
Alfonso menggunakan gambar realis yang membuat kita menyadari betapa kontradiksi itu hidup sehari-hari. Seorang pembantu yang membuka pintu untuk mobil juragan yang dikemudikan dalam suasana mabuk. Seorang pembantu yang diantar periksa kehamilan dan majikan yang sibuk untuk mencari suaminya yang tak pulang-pulang. Rumah sakit jadi tampungan adegan yang mengharukan.
Muncul adegan yang biasa, tapi meyentuh: sang pembantu yang selalu mahir menggantikan peran orang tua. Bermain dengan anak majikan, berupaya untuk melindunginya, dan mengorbankan waktu istirahatnya demi anak majikan. Kalau diringkas, secara sederhana film ini mengantarkan cerita tentang orang kecil yang bertahan dalam badai kehidupan kelas menengah.
Payung latar film ini adalah suasana Meksiko tahun 1970-an: jalanan diisi oleh protes, baris-berbaris, dan sekelumit kehidupan kota yang stabil. Suguhan gambar yang indah, membuat kita lupa kalau di atas kehidupan yang normal itu ada gejolak yang hidup dalam keluarga kelas menengah: muram, gembira, tapi juga rapuh.
Secara sadar film ini membangunkan apa yang lazim di negara dunia ketiga: protes yang dihadapi dengan brutal, kelas menengah yang berusaha menciptakan status istimewa, dan orang kecil yang selalu berjarak walau berada dilingkungan mereka. Altar yang sesak, tapi kita seperti ada di dalamnya.
Film ini bukan usaha untuk meyakinkan pada kita apa itu hegemoni, tapi kehidupan yang disandarkan pada perempuan yang selalu punya kemampuan luar biasa: saat diguncang oleh masalah, ketika dihadapkan pada pilihan pahit, dan sewaktu dituntut untuk menyelesaikan segalanya.
Perempuan dalam film ini digambarkan dengan sederhana tapi tindakannya luar biasa. Kalau film ini diganjar dengan banyak penghargaan, itu bukan karena ceritanya saja atau kehebatan dalam mengambil gambar, tapi keyakinan kiri yang terselip di dalamnya. Sebuah keyakinan yang membuat hidup hari ini pantas untuk dihargai dengan rasa curiga, sangsi, tapi berbuat dengan kemampuan terbaiknya.
Menonton film ini tak membuat Anda jadi kiri, tapi bisa menjadikan Anda makin kritis dengan kelaziman yang bisa terjadi sehari-hari. Ketika film ini usai, ingatan saya persis seperti film ini: Indonesia tahun 1970-an yang Orde Baru telah memadamkan segalanya. Akal sehat, nilai kemanusiaan, dan keadilan yang terus teraniaya. Film ini mengabadikan itu semua.(*)