Berebut Jadi Presiden

“Kesinisan membunuh negeri ini” -Dan Brown

“Lactura paucourm serva multos, Korbankan sedikit orang untuk selamatkan banyak orang”

Dan Brown pengemudi cerita yang memukau. Menikmati ceritanya seperti menonton film balap. Adegannya cepat, tak mudah kita beranjak, dan rasanya kecanduan. Sekali kita buka lembar pertama, maka adegan berikutnya memaksa kita melupakan apa saja. Makan, tidur, mandi, hingga sholat. Untung Dan Brown tak muncul dalam era Jahiliah. Ia bisa jadi justru menjadi pesaing kisah dalam kitab suci.

Tapi novelnya kali ini, Deception Point, beda. Ia tak bawa simbol. Tokohnya bukan ilmuwan yang pintar. Tapi politisi yang brengsek dan seorang gadis yang lugu. Selalu saja kejahatan bersanding dengan orang yang percaya akan kejujuran sains. Dan Brown kali ini mempertentangkan sains dengan kekuasaan. Kemudian kekuasaan sedang jadi rebutan. Kursi untuk menduduki gedung putih. Dua kandidat sedang bertarung.

Sedgwick Sexton adalah penantang petahana. Senator yang lagi naik daun karena mampu meluapkan isu penting. Ketinggalan dalam pendidikan, minimnya kesejahteraan, dan banyaknya orang miskin. Semua itu karena presiden yang terlalu memberi anggaran terlampau besar pada NASA. Baginya, NASA hanya sebuah proyek imaginatif yang terlampau banyak menguras anggaran. Kritiknya keras, tepat, dan meraih dukungan besar.

Itulah karakter khas oposisi. Pintar mencari titik lemah, lalu meluapkannya dengan bahasa brutal. Sexton bukan politisi jujur: selingkuh dengan siapa pun, menerima suap, dan percaya dirinya pantas duduk di tahta tertinggi. Mungkin kebaikannya dalam cerita ini adalah puterinya. Rachel seorang anak yang tak suka pada bapaknya karena ibunya tewas gara-gara ulah Sexton.

Adegan pembuka Dan Brown selalu buat penasaran. Mirip dengan film Hollywood: seorang peneliti dibantai di tengah badai Kutub Utara. Pembunuhan yang jadi babak pembuka sebuah kisah politik yang dibalut dalam isu pengetahuan. Di Kutub itulah ditemukan sebuah meteroit. Batu yang pernah terlempar ke Samudera Antartika pada tahun 1700-an.

Apa keistimewaan batu itu? Dan Brown seperti biasa menjelaskan pada kita banyak istilah geologi. Anda akan dijamu dengan ceramah ilmiah yang memastikan asal muasal batu itu. Singkatnya batu itu merekam informasi penting. Di dinding batu itu ada fosil binatang mirip serangga. Artinya di luar angkasa sana ada kehidupan mirip di Bumi.

Temuan ini biasa, tapi waktunya penting: Pilpres yang menjadikan isu NASA jadi panas. Presiden Zach Herney merasa perlu membantah semua ucapan Sexton. NASA itu bukan proyek pemborosan. NASA itu jadi kunci untuk menerbangkan Amerika Serikat sebagai pusat pengetahuan. Batu itu jadi saksi NASA menemukan hal berharga. Tapi bagaimana konflik ini jadi seru?

Dan Brown menjelaskan lika-liku badan pemerintahan AS. Terdapat badan namanya National Recconnasaince Office (NRO) yang tugasnya mewah: menampung semua data di seluruh dunia untuk diteruskan ke CIA, NSA, dan Departemen Pertahanan. Rachel -sebuah kebetulan- bekerja di badan ini sebagai ‘gister’, pegawai yang bertugas membuat intisari, atau pengurangan data dengan menganalisis laporan yang rumit untuk diringkas jadi laporan satu halaman.

Kisah selanjutnya kita bisa menebak: Presiden AS menugaskan Rachel untuk memastikan akurasi batu itu. Diterbangkan ke tempat yang namanya MILNE ICE SHELF, dataran es terapung yang terbesar di Kutub Utara. Letaknya ada di delapan puluh dua derajat lintang utara, di Pantai Utara Pulau Ellesmere di Antartika. Dan Brown melukiskan tempat ini sebagai ‘satu-satunya tempat di bumi yang membuat neraka pun membeku!’  Panggung cerita disusun Dan Brown dengan megah: Kutub Utara, Gedung Putih, dan kota New York. Tiga titik utama pertarungan menuju Gedung Putih dengan isu utama sains.

Sexton dengan gencar kritik NASA. Ia tak percaya ada kehidupan di luar angkasa. Hingga bukti batu itu hampir menumpaskan karir oposisinya. Batu itu membalik semua serangan tentang NASA. Batu itu merupakan titik patriotik temuan pemerintah Zack. Sexton hampir saja gagal, tapi Dan Brown punya kisah lebih seru.

Batu itu palsu. Semua ini hoax yang diciptakan dengan sengaja. Tapi hoax yang rapi karena bukti kepalsuanya minim. Rachel, lalu ditambah ilmuwan yang ada di Kutub Utara mengorek itu semua. Hanya mereka tak tahu kalau tempat batu itu berada diawasi oleh pasukan elit. Namanya mirip judul film, US Delta Force. Pasukan tempur yang dijamin kekebalan hukum dan tugas utamanya menjaga Hoax.

Ejekan yang konyol: tentara menjadi penjaga Hoax. Pasukan yang dilukiskan dengan megah. Anggota Delta Force merupakan pasukan terpilih dari Combat Applications Group (CAG), sebuah organisasi rahasia dalam Special Operations Command yang berpangkalan di Fort Bagg. Pasukan Delta Force adalah para pembunuh yang terlatih. Mandatnya dalam novel ini sepele: merawat berita bohong!

Kamu sebagai pembaca akan diajak melompat dari tembakan, pukulan, hingga serangan rudal. Dan Brown piawai kalau menyusun adegan aksi: Rachel bersama para pria pintar menghindar dan berusaha untuk menyelamatkan diri. Mereka ingin segera memberi tahu pada dunia kalau yang diumumkan presiden tentang meteroit itu palsu.

Membayangkan susunan ceritanya saja mengajak kita untuk berdebar. Gedung putih memang sengaja membuat kisah palsu atau ternyata ada oknum yang meniupkan kisah palsu itu? Belum lagi Sexton yang ambisius dan beruntung mendapat lembar kertas fax dari puterinya yang sedang terancam nyawanya. Sexton politisi buas yang selalu mencari kesempatan untuk menaikkan popularitas. Apa pun akan dilakukanya.

Novel ini adalah racikan pertarungan politik yang brutal, buas, dan licik. Kompetisi politik menuju istana selalu melibatkan hoax, dana haram, dan konspirasi keji. Tapi Dan Brown selalu memberi ruang untuk tokoh-tokoh pejuang yang berani mengambil resiko. Mereka yang kedudukanya hanya pegawai biasa tapi berani menentang atasanya yang rakus.

Ilmuwan diberi kehormatan dalam kisah ini. Mereka yang tak mau ditipu, tak ingin memanipulasi data, dan merelakan nyawanya untuk menyatakan kebenaran. Di atas panggung kekuasaan semua kehormatan dipertaruhkan dan novel ini membuat kita sadar kalau kompetisi politik bisa berjalan liar dan tanpa kemanusiaan sama sekali.

Militer selalu jadi pesuruh. Dan Brown menjelaskan dengan cakap: satuan elite itu dimanfaatkan oleh pejabat licik untuk melindungi kepentingannya. Semua yang tahu batu itu palsu dibunuh dengan keji. Tapi kepalsuan itu muncul juga punya alasan pembenaran. Terdapat kekuatiran akan komersialisasi ruang angkasa yang dibawakan oleh Sexton.

NASA mau diprivatisasi. Oligarkhi bisnis ruang angkasa itu memerlukan tangan politisi kotor. Politisi yang bisa membuat ruang angkasa jadi pasar liberal yang tiap pengusaha bisa mendayagunakan untuk keperluan apa saja. Dan Brown membuat kita jadi bahan tertawaan sejarah: isu Pilpres kita jauh dari soal tentang itu semua. Privatisasi, liberalisme, hingga tangan oligarki tak disentuh dalam debat sama sekali.

Novel ini mengurai situasi hari ini: pertarungan menuju kursi presiden. Diramu dengan taktik kotor serta pertaruhan pengetahuan membuat Demokrasi gampang sekali dibajak. Rentan bukan hanya oleh taktik, tapi juga para pemodal yang memegang semua kendali. Integritas yang mustinya dimiliki oleh politisi tak mudah menaklukkan akal bulus yang diciptakan begitu rupa. Kisah ini memberitahu kita kalau tragedi demokrasi bisa diawali dari proses Pemilu. Sebuah novel yang mengguncang serta membuat kita untuk tak mudah percaya dengan ceramah politisi apalagi keterangan resmi yang diberikannya.

Anda tidak saya anjurkan membacanya, tapi cobalah untuk curiga pada apa yang terjadi dalam Pilpres hari ini. Dan Brown bukan anggota KPU, tapi ia pencerita yang tahu ancaman dan masa depan Pemilu. Sebuah cerita yang ditanamnya jauh lebih menarik ketimbang berita tentang debat hari-hari ini.(*)

Jika anda menyukai konten berkualitas Suluh Pergerakan, mari sebarkan seluas-luasnya!
Ruang Digital Revolusioneir © 2024 by Suluh Pergerakan is licensed under CC BY-SA 4.0