Saif Roja
***
Pesta sedang disiapkan. Dua ekor babi yang akan disembelih untuk hidangan pesta tiba-tiba hilang. Seorang opsir rezim Batista sibuk mencarinya. Batista adalah diktator Kuba di masa lalu, sebelum revolusi menyapu kekuasaannya.
Pesta akhirnya urung terjadi. Opsir pun berang bukan kepalang. Siapa yang mencuri sepasang babi diselidik dan diburu. Dua gelandangan ditangkap dan dituduh sebagai pencuri. Keduanya lantas ditembak mati. Tanpa banyak cakap dan tanya.
Petang lalu berarak datang, sepasang babi mendadak muncul dari semak-semak. Orang-orang lantas bertanya kepada sang opsir, “Bagaimana nasib gelandangan yang sudah ditembak mati?” Opsir pun menjawab enteng, “Tak masalah. Anggaplah gelandangan itu komunis.”
Begitulah nasib orang yang dilabeli komunis. Mereka bisa dibunuh tanpa menyisakan rasa bersalah, alih-alih keadilan yang menuntutnya. Cukup dicap komunis, harga mu sebagai manusia tak lebih dari sepasang babi yang disangka hilang.
Di Indonesia tak sedikit orang yang bernasib selayaknya kisah dua gelandangan itu. Entah dia benar-benar komunis, dianggap terlibat atau sekedar orang-orang sial yang berada dalam waktu dan tempat yang tidak menguntungkan.
Orang terbunuh atau diperlakukan tak manusiawi oleh dalih yang tidak bisa dibenarkan, di Indonesia kita punya banyak kisah. Sebutlah kasus Penembakan Misterius (Petrus), pembunuhan selama periode DOM Aceh, penembakan Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II.
Ada banyak kasus pelanggaran HAM di masa lalu. Dan kabar tak sedapnya, kasus-kasus itu belum kelar. Termaksud nasib orang-orang yang hilang menjelang tumbangnya Orba. Waktu menggelinding, penyelesaian kejahatan di masa silam mandeg.
Dia yang sekarang menjadi petahana, lima tahun silam pernah berjanji akan menyelesaikan masalah-masalah itu. Penyelesaian pelanggaran HAM dimasukkan dalam Nawacita. Banyak yang percaya, lantas mencoblos gambarnya di bilik suara.
Dan Kamis esok kita akan diberi kesempatan menonton debat capres. Salah satu temanya menyangkut HAM.
Kedua kandidat punya masalahnya masing-masing. Si penantang selalu dikaitkan dengan kasus pelanggaran HAM masa lalu, sementara petahana punya rapor merah yang mencolok mata.
Jauh di Lebanon sana ada sepenggal cerita. Tersebutlah ibu Palestina yang kehilangan anaknya. Lenyap dalam pusaran konflik Sabra dan Shatila. Ahmad, puteranya hilang sejak bergabung ke PLO. Lenyap pada usia 17 tahun selama insiden berdarah Sabra dan Shatila.
Kepedihan lantas merenggut sisa umur ibu itu. Seorang anaknya, Abed memberi kesaksian,
“Saya ingat, setiap kali ibu memasak untuk kami, kami menelan air matanya dalam makanan. Sebab dia tak pernah berhenti menangis.”
Isak tangis berkepanjangan yang seperti ini, rasanya akan susah dipahami oleh mereka yang berdebat Kamis nanti. Tangis kebanyakan rakyat jelata korban ketidakadilan. Lantas apa gunanya kita menyimak debat diantara mereka? Konon, kepercayaan dari orang yang tidak bersalah adalah alat yang paling berguna bagi para pembohong.
Sayangnya memang, mengurus negara bukan melulu soal berapa panjang jalan tol atau pidato berapi-api perihal negara akan bubar di tahun sekian. Mereka yang berkuasa atau bermimpi berkuasa juga wajib bertanggungjawab atas nyawa manusia. Bertanggungjawab untuk memperlakukan mereka sebagai manusia.