Polemik Prostitusi Online

Oleh: Djunawir Syafar

 ***

Terminologi mengenai prostitusi online kembali menjadi perbincangan masyarakat saat ini. Hal ini berangkat dari polemik yang memunculkan nama misalnya dari kalangan selebritis yang ikut terlibat. Dan istilah prostitusi online ini pernah menjadi perdebatan publik tiga tahun yang lalu, dengan konteks yang sama.

Persoalan mengapa publik ikut terlibat aktif dalam menanggapi dan menyampaikan pandangannya terkait polemik ini. Perbedaan pandangan tersebut menunjukkan apa yang menjadi inti dari polemik prostitusi online itu sendiri. Masyarakat ada yang berangkat dari persoalan moralitas, hak individu masing-masing orang, hingga persoalan keuntungan secara ekonomis dan lain sebagainya.

Terlepas dari persoalan di atas, lantas apa pentingnya bagi kita membincang persoalan ini. Istilah prostitusi online itu sendiri sebetulnya sudah sangat problematis. Karena kata online menunjukkan sebuah jaringan (networking) atau sifatnya sudah berjejaring. Sehingga, prosesnya bukan lagi sebatas kesepakatan dua belah pihak, tetapi sudah ada pihak lainnya (perantara) yang juga ikut memanfaatkan wilayah ini sebagai bisnis (komersil). Sehingga, persoalan prostitusi online yang sedang kita persoalkan bukan lagi perdebatan tentang wilayah moralitas atau hak individu masing-masing orang, tapi telah bergeser menjadi sebuah ranah bisnis dan problem sosial lainnya.

Kita memahami, bahwa bentuk komersialisasi tersebut sebenarnya adalah ancaman kemanusiaan, khususnya bagi kaum perempuan misalnya. Karena adanya istilah semacam ini, perempuan akan terus dipersepsikan oleh publik sebagai objek yang dapat komersilkan. Cara pandang kita mengenai hal ini, tentu tidak lepas dari bagian konstruksi masa lalu kita, baik bias kolonialisme, kekuasaan, dan lain sebagainya yang masih terus hidup.

Jika salah satu problem inti dari persoalan ini adalah bentuk komersialisasi,  lantas apa problemnya bagi negara dan masyarakat luas lainnya. Berbagai bentuk tanggapan publik mengenai hal ini, sebagaimana yang kita lihat baik  di sosial media mau pun secara langsung tentu sangat beragam. Ada masyarakat yang beranggapan bahwa apa yang mereka lakukan sama sekali tidak merugikan pihak mana pun termasuk negara atau masyarakat yang lain. Tetapi, ada juga masyarakat menanggapi, bahwa tindakan tersebut jelas-jelas tidak seirama dengan kenyataan masyarakat kita baik dalam agama, budaya, sosial, maupun yang lainnya. Sehingga, tindakan tersebut tentu tidak relevan dengan konteks masyarakat kita.

Tanggapan publik yang beragam tersebut, justru membuat polemik ini semakin ramai diangkat. Tulisan ini diturunkan sebagai bentuk respon secara akademis, bukan persoalan moralitas. Tetapi, untuk memahami  perspektif lainnya yang justru tidak begitu banyak diangkat oleh publik.

Dari polemik di atas, seharusnya tidak ada yang namanya korban atau pun pelaku, karena ini bukan tindakan asusila. Hal ini adalah kesepakatan dan juga kehendak bersama. Maka, berangkat dari polemik ini, seharusnya kita perlu melihat perspektif lain yang juga menjadi inti persoalan. Pertama, motif prostitusi online bukan hanya persoalan orang yang bermoral atau tidak, hasrat atau keinginan. Tetapi, persoalan gaya hidup, pasar, dan tuntutan ekonomi adalah hal yang mendesak siapa pun harus mematuhinya. Sehingga, tidak mengherankan bila bentuk-bentuk komersialisasi ruang private pun mudah terjadi.

Kedua, meskipun kita telah hidup di abad 21, tapi kita tidak bisa memungkiri hegemoni kolonialisme masih terus hidup dan berkembang hingga saat ini, termasuk persepsi tentang hasrat, tubuh, dan perempuan. Edward Said menjelaskan bahwa hegemoni kolonial terhadap kita adalah sebuah hegemoni yang kompleks, dari yang bersifat idea hingga tindakan, bahkan mereka telah berhasil menciptakan kita menjadi apa saja. Misalnya, Timur yang hanya dipersepsikan sebagai sesuatu yang indah (exotic), bukan sebuah peradaban dan historitasnya. Demikian halnya penjelasan Ahmad Baso dalam buku Islam Pasca kolonial, bahwa bias kolonialisme terhadap kita, hingga menginterevensi sampai hal-hal mendasar lainnya seperti hasrat, tubuh, dan perempuan.

Persoalan yang paling modern sekali pun yang kita alami saat ini, jelas itu bukan sesuatu yang kebetulan. Bias masa lalu kita telah berhasil mendefinisikan kita saat ini, bahkan mengantarkan kita pada tindakan kita yang akan datang. Hal ini juga yang telah dikembangkan oleh Farish A. Noor mengenai kajian Islam dan Asia Tenggara, ia menyegarkan kembali ingatan kita bahwa seharusnya kita (Asia) adalah satu zona yang sangat fluid (cair) dimana identitas kita ditentukan oleh kenyataannya kita sendiri. Tetapi, kolonialisme yang pernah ada, cukup berhasil mempengaruhi dan membentuk kita hingga saat ini.

Memaknai polemik di atas, tidak lepas dari bentuk akumulasi masa lalu dan juga problem sosial kita saat ini. Dengan demikian, harus ada interpretasi kembali mengenai bias masa lalu kita, yang ikut mempengaruhi konstruksi sosial kita saat ini, yang sampai saat ini masih sangat sensitif dan cukup problematis. Agar, tercipta kembali paradigma publik yang sejalan dengan kondisi dan karakter masyarakat kita.

Jika anda menyukai konten berkualitas Suluh Pergerakan, mari sebarkan seluas-luasnya!
Ruang Digital Revolusioneir © 2024 by Suluh Pergerakan is licensed under CC BY-SA 4.0