Jangan Berubah, Bung Jokowi!

“Nasionalisme tanpa keadilan sosial menjadi nihilisme” -Soekarno

Salam hormat,

Dulu aku percaya dengan dirimu. Pria muda yang sederhana dan memimpin kota dengan luar biasa. Wajahmu bukan saja mencerminkan harapan baru tetapi meneguhkan mimpi yang sudah lama dipendam. Di tanganmu kita berharap keadilan bukan barang mainan dan pada kebijakanmu ekonomi mampu memberi kemakmuran.

Semua itu mula-mula jadi keyakinan, tapi merosot jadi angan-angan. Bahkan, sejak awal pilihanmu tentang sosok pejabat tak sebebas yang kami harap. Dikarantina oleh partai politik, kamu dicemooh sebagai petugas partai. Selalu menimbang soal dari ukuran aman dan tidak aman, bahkan tampak mudah ditekan.

Itu sebabnya, dalam perkara hukum dirimu agak kedodoran. Soal pelanggaran HAM tak ada yang bisa diusut, diadili, bahkan dihukum. Padahal di sekitarmu ada aktivis HAM yang punya pengalaman dan kemampuan. Bahkan pada kasus yang menimpa Novel disiram air raksa, sepertinya tak kuasa dirimu menyeret pelakunya.

Maka dengan mudah, oposisi melihatmu sebagai sosok yang lemah. Gampang dipengaruhi, mudah diintervensi, dan sulit untuk berhadapan dengan partai yang mendukungmu. Padahal banyak kebaikan yang sudah kau pancarkan: membangun jalan raya di mana-mana, menciptakan harga bensin yang satu harga, hingga menjamin layanan dasar bisa terpenuhi.

Belum lagi perangaimu yang tak formal dan menyapa siapa saja. Gampang menyapa orang yang ditemui, mudah bermain tebak-tebakan di panggung formal, bahkan secara kreatif mengutip kata yang sedang populer. Rasanya kami memiliki pemimpin yang bisa disentuh, mudah ditemui, dan bersemangat melakukan apa saja.

Tapi mungkin waktu dan situasi yang mengubah segalanya. Saat media sosial merajai apa saja dan politisi bertindak berdasar naluri, saat itulah politik dipacu dengan hasutan dan gosip. Meluaplah berita yang kacau balau dan meledaklah berita bohong. Yang kita pertaruhkan hari ini bukan idealisme, tapi akal sehat.

Akal sehat itulah yang lenyap. Tuduhan atasmu luar biasa: komunis hingga rekanan China. Sempat dirimu kesal tapi untung tak semua mendapat respon. Tapi sayangnya, sikap itu tak menular pada pendukungmu. Ujaran kebencian itu dibalas dengan laporan kemudian polisi mengusut semuanya. Kriminalisasi jadi tema utama oposisi.

Ditawan oleh kondisi ekonomi global yang memburuk dan suasana politik yang panas, dipaksa dirimu untuk memerankan diri sebagai pemimpin. Andaikata jabatan Presiden ini mampu engkau pertahankan, maka ujianya akan terasa berat. Pertama dan utama adalah meyakinkan pada pemilih jika dirimu bisa bebas mengambil kebijakan. Tak bisa ditekan apalagi dikendalikan. Utamanya adalah pelanggaran HAM yang menyasar orang-orang sekitarmu.

Sangat berlebihan kalau semua soal diatasi dengan pengiriman pasukan dan tak mungkin masalah kemanusiaan diatasi dengan janji. Ingatlah, keunggulanmu satu-satunya adalah masa lalu yang tak ada kaitanya dengan pelanggaran HAM.

Bisakah dirimu percaya kalau soal masa lalu diatasi, maka bangsa ini dapat berdiri dengan kehormatanya? Secara meyakinkan bangsa ini dapat memeluk etika keadilan yang hari ini hanya mampu jadi bahan pidato. Bodoh jika ada yang bilang masa lalu untuk apa diingat-ingat karena yang penting masa depan. Ucapan itu tampak konyol dan sama sekali tak belajar dengan sejarah bangsa-bangsa lain.

Hanya melalui pengadilan masa lalu patriotisme tumbuh. Bukan kecintaan buta pada kekerasan, tapi pengakuan pada nilai kemanusiaan. Kini nasionalisme yang bisa jadi lawan tangguh fundamentalisme, tak mungkin diorbitkan hanya dengan membentuk lembaga semata. Tiang yang bisa menegakkannya adalah keberanian untuk mengadili semua kejahatan kemanusiaan yang pernah terjadi.

Mengikuti survei popularitasmu masih di atas tokoh oposisi. Tapi sulit dibantah, sang tokoh oposisi juga popularitasnya naik perlahan-lahan. Pupuk kepercayaan masyarakat masih tinggi, tapi ada sebagian yang tak lagi yakin dirimu mampu menghadapi tantangan yang kompleks serta mengatasi benih perpecahan yang terus menganga.

Kalau boleh memberi anjuran, saatnya dirimu tampil seperti yang dulu. Bung yang selalu bisa mengatasi masalah dengan caranya yang unik. Diajak orang untuk bicara, dipastikan orang tak kecewa, dan hormati setiap yang punya usulan beda.

Lagi pula banyak taktik yang dapat bung lakukan ketika dikepung oleh berbagai tuntutan. Tak usah ragu memilih orang jika mereka mampu, dan jangan mau mengalah dalam hal prinsip.

Itu sebabnya tunjukkan jika dirimu memimpin tidak dengan naluri dagang. Hormati rakyat kecil dengan memberi mereka modal dan peran. Soal pembagian sertifikat itu makin diarahkan pada tanah-tanah yang selama ini jadi lahan sengketa antara petani dengan perusahaan.  Juga baiknya, mulai pikirkan kalau bisnis apa pun tak mungkin mengabaikan para buruh, pekerja, dan karyawan.

Jangan mudah terpesona oleh bisnis raksasa tapi minim perlindungan. Ingatlah asal usulmu yang dulu rakyat biasa dan berfikirlah sebagaimana rakyat biasa. Butuh kecukupan sandang, tak cemas dengan anak turunanya, dan lindungi harapannya. Harapan bahwa mereka bisa mendapat pekerjaan dengan mudah, mampu membeli kebutuhan pokok dengan murah, dan jika sakit tak ada beban biaya yang ditanggung.

Lagipula, saatnya dirimu melawan perang identitas yang dipicu habis-habisan. Katakan dirimu adalah pemimpin dari bangsa yang beragam budaya. Nyatakan bahwa semua keyakinan itu dilindungi. Berikan hukuman yang pantas untuk mereka yang mengobarkan kebencian atas dasar suku ataupun agama. Sikap tegas, berani, dan bernyali itu tak musti mempertimbangkan opini apalagi popularitas.

Semua itu dulu mudah engkau kerjakan. Kini waktunya memastikan bahwa itu akan kamu kerjakan dengan sungguh-sungguh, secara konsisten, dan tak pernah takut oleh kritikan. Belalah selalu rakyat yang selama ini jadi pendukungmu dan itu satu-satunya cara efektif menghadang gosip murahan serta fitnah yang keterlaluan.

Ekspresikan kemampuanmu dalam memimpin. Melalui ketegasan sikapmu dalam mengelola ekonomi: jangan mudah berhutang, dukung sepenuhnya ekonomi rakyat, dan batasi investasi asing apalagi jika itu hendak mendominasi. Singkatnya, kepemimpinanmu bukan lagi diukur dari pencapaian angka pertumbuhan ekonomi, tapi lebih titik beratkan pada keadilan yang dirasa.

Kurasa hanya dirimu yang punya peluang besar memenangkan pertarungan ini. Tiap petanaha selalu punya kesempatan lebih banyak. Tinggal satu peran yang mustinya dirimu tegaskan di mana-mana: Jokowi adalah presiden, bukan petugas partai, apalagi pelayan kepentingan para petinggi partai. Kehormatan dan harga dirimu waktunya ditegakkan di atas altar politik yang penuh pertikaian.

Semoga bung berani membuktikannya.

Jika anda menyukai konten berkualitas Suluh Pergerakan, mari sebarkan seluas-luasnya!
Ruang Digital Revolusioneir © 2024 by Suluh Pergerakan is licensed under CC BY-SA 4.0