“Syarat yang penting untuk menjadi seorang pemimpin, pertama mesti mempunyai kecakapan memimpin. Kedua dia mesti bisa menaksir keadaan sekarang dan besoknya. Dan ketiga dia mesti ulet, tidak lekas patah hati, melainkan mempunyai kemampuan baja” -Tan Malaka dalam Merdeka 100%
Saya kadang takjub dengan cara orang membela pilihanya. Baik itu massa Jokowi maupun pendukung Prabowo. Mereka begitu gemar menguliti kelemahan lawan. Tak sedikit yang tersinggung gara-gara pernyataan yang sebenarnya hanya bercanda. Bahkan banyak pula orang demonstrasi hanya karena perkataan atau perbuatan yang tak disengaja. Kita benar-benar hidup dalam alam politik yang sangat sensitif.
Politisi kita juga melakukan hal serupa. Secara antusias membela pilihanya melalui cara apa pun. Jokowi tak pernah salah dan Prabowo selalu benar. Tak jarang mereka seperti berhadapan dengan manusia sempurna yang pantas untuk didukung dengan jalan apa saja. Padahal sejarah banyak menunjukkan politisi bisa berubah dukungan ketika situasinya ikut berubah. Di masa Orba para penjilat Soeharto adalah mereka yang pertama meminta Soeharto untuk turun tahta.
Politik itu tak pernah punya kepastian. Hari ini mendukung kanan besok bisa kiri. Itu sebabnya kita harus realistis melihat kandidat. Jokowi atau Prabowo, apa memang dua sosok yang benar-benar berbeda? Dua pria ini apa memang punya ideologi yang bertolak belakang, punya konsep yang berlawanan, atau ide yang secara tajam tak sama? Mari sejenak kita melihat dengan jernih, gamblang, dan mudah.
Dulu Jokowi didukung oleh Prabowo ketika datang ke ibu kota. Saya masih menyaksikan foto Jokowi menyalami Prabowo dengan takzim. Bersama PDIP dan Gerindra, mereka calonkan Jokowi untuk menjabat Gurbenur DKI. Dukungan Prabowo tentu karena ada kesamaan pandangan, minat, dan keyakinan. Prabowo memandang Jokowi sebagai penerus cita-cita Partai Gerindra dan Jokowi merasa sanggup membawa amanah Prabowo.
Hanya di tengah jalan, ternyata Jokowi amat populer. Ia sudah populer sejak menjabat walikota. Media dengan antusias meliput tindakan, ucapan, dan komentarnya. Dukungan menjadi Presiden muncul di mana-mana dan Prabowo yang memang sudah lama ingin calonkan diri musti bertarung dengan orang yang pernah dibawanya. Tapi suara terbanyak lebih memilih Jokowi.
Dugaan saya Prabowo akan menjadi oposisi total. Selalu mengkritik Jokowi, berani menampilkan konsep yang berbeda, bahkan membuat kabinet bayangan. Tapi harapan itu kandas karena tak lama kemudian mereka berjalan bersama. Naik kuda, Jokowi bersama Prabowo kemudian minum teh di beranda istana. Koran komentarnya halus dan lembut: elite politik menunjukkan kebersamaan. Tindakan yang sayangnya tak diikuti oleh massa pendukung masing-masing.
Hingga pilkada DKI semuanya gempar. Ahok karena salah ucap terus diserang beruntun. Aksi besar yang menamai diri 212 berhasil menggoyang Ahok. Bukan hanya kalah tapi Ahok masuk penjara. Kawan karib Jokowi yang membuat dirinya mulai memikir ulang soal umat. Jokowi tak mau bernasib sama dengan Ahok. Cara mudahnya adalah menyatukan diri dengan umat Islam lalu mengajak tokoh umat Islam untuk jadi wakilnya.
Kyai Ma’ruf Amin yang dipilih. Tokoh NU dan Ketua MUI. Sedangkan Prabowo lebih memilih Sandiaga Uno. Orang muda yang kelak diklaim sebagai ulama post-tradisional. Jadilah pertarungan seperti dulu lagi: Prabowo mengkritik soal ekonomi dan Jokowi membalasnya dengan tanggapan. Tapi yang seru bukan balas membalas kebijakan melainkan respon pendukung pada tiap komentar. Politisi sontoloyo hingga tampang Boyolali jadi viral di mana-mana.
Sesungguhnya apa yang membedakan Jokowi dan Prabowo? Yang utama, Jokowi pernah jadi presiden dan Prabowo baru calon presiden. Yang pertama tak punya partai politik karena ia hanya dianggap sebagai petugas partai sedang satunya memiliki partai namanya Gerindra. Yang pertama didukung oleh partai yang lumayan banyak sedang Prabowo didukung hanya oleh PAN, PKS, Demokrat dan partainya sendiri. Beberapa partai baru ikut mendukung dan belum jelas masa depan suara mereka.
Lainya saya tak melihat ada beda yang menonjol. Jokowi tak juga menyelesaikan kasus HAM sedang Prabowo hanya berjanji akan mengusutnya. Janji politisi bukan seperti janji Tuhan yang pasti terpenuhi. Dalam soal ekonomi Jokowi bangga dengan pembangunan infrastruktur yang kita tahu menyisakan banyak persoalan agraria dan Prabowo lagi-lagi berjanji akan mengutamakan ekonomi rakyat. Di sisi yang lain, Jokowi memang menyukai logika ekonomi pasar dan Prabowo bahkan bangga dengan Singapura yang sangat kapitalistik.
Bahkan jika ditelusuri lebih jauh, Jokowi dan Prabowo sama-sama tak suka dengan kiri, anti PKI, dan memahami Pancasila sebagai ideologi yang pernah sakti memukul ideologi lainnya. Keduanya juga tak bersuara ketika ada persekusi pada mereka yang dianggap LGBT, minoritas, bahkan yang hobby dalam meluncurkan Perda Syariah. Tak pernah keduanya bersuara soal yang sangat prinsip: identitas Pancasila yang diserang oleh para demagog atau penggusuran tanah yang terjadi karena ekspansi korporasi.
Melompat ke masa depan, keduanya tak bisa meyakinkan kita pada mimpi Indonesia 30 tahun mendatang. Seperti apa hubungan kita dengan China, Amerika Serikat, atau negara tetangga seperti Singapura. Bagaimana kita merawat hubungan kritis dengan Timur Tengah, selain konflik juga banyak TKI kita dihukum dengan sadis di sana. Ucapan, komentar, dan pandangan mengenai itu tak muncul dengan tajam serta meyakinkan.
Saya pikir, kita jangan-jangan terlampau menuntut pada sesuatu yang sesungguhnya tak terlalu istimewa. Bisa jadi mungkin itu juga cerminan rakyat yang akan memilihnya. Mereka lebih menyukai dukungan yang spontan, polos, dan apa adanya: tampang boyolali adalah komentar yang patut dicerca sama dengan puisi karya Fadli Zon ‘Mau saya Tabok rasanya’.
Politik kita tak usah bicara yang serius, berat, dan ilmiah. Bahkan juga tak perlu dengan cara menghibur. Jalankan politik dengan emosi, kalau perlu provokasi. Jangan-jangan kita bukan membutuhkan pemimpin tapi pelampiasan naluri dari kehidupan yang makin kompetitif. Kalau kamu sedang beruntung maka pilihlah kandidat yang membuatmu tetap diuntungkan. Jika kamu dalam keadaan terancam dan sempit maka pilihlah kandidat yang mungkin bisa mengubah nasibmu.
Alat untuk menjalankan itu semua bisa dengan apa saja: agama bisa dibajak untuk memenuhi hasrat itu bahkan teknologi media dapat dijalankan dengan misi itu. Tak penting lagi siapa yang kita pilih, karena mungkin yang kita pilih adalah hasrat, kepentingan, dan egoisme kita sendiri. Jokowi dan Prabowo hanya tangga untuk memenuhi kebutuhan kita hari ini: itu bisa eksistensi, itu bisa kelompok, dan itu bahkan bisa kepentingan diri kita sendiri.
Pemilu kali ini memang berguna untuk kita sendiri dan mungkin golongan kita juga. Tak penting siapa yang memang tapi yang utama kita bisa ikut menguji nasib kita sendiri. Pertanyaanya lagi-lagi: apa masih perlu membedakan Jokowi dengan Prabowo? Keduanya mungkin kini berdiri tersenyum malu melihat kita yang saling berebut perhatian.
Kita mungkin seperti yang ditulis oleh Sjahrir di penghujung tahun 1945. “Perdjoengan Kita: bahwasanya mentalitas budak, feodal, dan ningrat masih menimbun dalam diri kita. Mental yang cenderung ‘untuk menerima perintah, untuk membungkuk, dan mendewakan atasan’ . . . . Saya rasa kita tak banyak berubah!”(*)