
Ketidakpahaman atas konsep gender dan seks berimplikasi pada pemahaman dangkal serta ketidakadilan sosial di dalam masyarakat kita. Pun di dunia akademik, walaupun telah memiliki sejumlah embel-embel gelar setelah nama lengkap, para akademisi menggunakan gelar mereka guna mensubordinatkan wanita dengan berbagai macam cara: baik verbal hingga dikopulasi tanpa konsen(consent).
Ratifikasi CEDAW(Convention on the elimination of discrimination against women) melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 telah ada namun tak menjamin akan adanya perlakuan sesuai dengan keinginan UU. Ini terbukti dengan laporan Komnas Perempuan bagaimana peningkatan kekerasan seksual meningkat dari tahun 2016 berjumlah 259.150 kasus, sementara pada tahun 2017 meningkat menjadi 348.446 kasus.
Kasus yang menimpa teman kita Agni di UGM serta Ibu Nuril di NTB menunjukkan bahwa ruang pendidikan yang seharusnya menjunjung tinggi integritas, dialektis, serta etis telah memudar. Ini penanda bahwa runtuhnya integritas pendidikan kita hari ini.
Oleh karena itu, Komite Aksi Kamisan dan Relawan Amnesti Internasional Indonesia Jogja menuntut agar pemerintah segera mengundangkan RUU Anti-Kekerasan Seksual, serta mendorong institusi pendidikan yang terkait untuk memberikan sanksi yang tegas kepada pelaku kekerasan seksual terhadap perempuan.(*)