Nalar Naluri (Pegiat Social Movement Institute)
***
Hidup tak lain adalah puing-puing dari rencana kita –The Shape of Water
Mengapa engkau membanggakan diri dengan sebuah kerajaan yang harganya hanya seteguk air yang engkau minum lantas engkau keluarkan kembali –Nasihat Syaqiq dari Balqh kepada Harun Al Rasyid
7,4 Skala Richter (SR) menggeser topik politik Pilpres menjadi ‘duka kemanusiaan’; kampanye tercelup ke dalam tanah yang rekah di Sulawesi Tengah, jasadnya seperti dikubur hidup-hidup. Orang-orang Ibukota mungkin saja tengah dilarutkan dalam suasana panasnya pertarungan para kandidat Pemilu. Namun di sini, di Sigi, mereka masih saja mengalas katakutan akan getaran.
Kondisi itu masih terlihat jelas di mata para bocah di sepanjang jalan poros Palu-Bangga, Kecamatan Dolo Selatan. Sambung-menyambung teriakan korban gempa, di bawah teduh terpal memohon bantuan makanan. Namun, jawaban yang diberikan hanya seliweran alat berat sibuk memperbaiki aspal bergelombang.
Pendistribusian logistik begitu bermasalah di awal-awal masa tanggap darurat. Tumpukan logistik menggunung di Korem dan Batalyon Infantri TNI AD 711 Raksatama. Ribetnya syarat untuk mendapatkan logistik berujung pada kekhawatiran akut para korban yang meledak-ledak. Dan ini mungkin yang menjadi salah satu sebab mengapa eksodus besar-besaran terjadi.
Bayangkan saja, untuk mendapatkan paketan 1 KG beras, 1 bungkus mie instan, dan 1 kaleng sarden, syarat pengambilan paket logistik membuat korban semakin sekarat. Mereka harus menunjukan surat keterangan dari desa, menyerahkan KTP, dan Kartu Keluarga yang telah ikut rubuh dalam puing rumah, yang bahkan sudah tertimbun liquifaksi. Trauma bencana tsunami belum juga usai, namun gulungan bencana kelaparan karena pendistribusian logistik yang serba administratif itu adalah hantaman ombak yang meretakkan hati para korban. Situasi ini masih saja berjalan, bahkan sampai pada masa tanggap darurat ingin diperpanjang.
Sekarang status tanggap darurat bencana telah dicabut. Kebutuhan mendesak akan logistik berangsur-angsur mulai terpenuhi. Meski, masyarakat di beberapa tempat di Kabupaten Sigi, misalnya daerah Kulawi dan Salua, masih banyak terisolir akibat akses jalan terputus dikarenakan banjir bandang dan tebing-tebing bukit yang longsor. Untungnya pemerintah terus berupaya menyalurkan logistik melalui jalur udara dengan menggunakan helikopter dengan jadwal penerbangan sebanyak dua kali sehari.
Saat ini adalah waktu lepasnya masa tanggap darurat dan datangnya masa transisi. MCK, Sanitasi, dan pengadaan hunian sementara sangat diperlukan. Maka program utama Posko Peduli Sulteng-DIY adalah pembangunan sekolah darurat dan pengadaan sanitasi air bersih. Karena posko ini bermarkas di jantung kota Yogyakarta, kota yang konon dikenal sebagai kota pendidikan, maka niat kami ingin membongkar mitos itu menjadi secuil kenyataan dalam mewujudkan kepedulian akan pendidikan.
Saat ini telah berdiri 1 unit sekolah darurat di MTS Alkhairat Baluase. Ada 10 titik sekolah yang kami rencanakan untuk pembangunan sekolah darurat kedepanya, kemungkinan masih akan terus bertambah. Sekolah darurat yang kami bangun menggunakan konstruksi rangka atap baja ringan, dan beberapa sekolah berbahan batang kayu dan bambu, tersebar di dua wilayah besar yaitu Kabupaten Sigi dan Kabupaten Donggala. Semua biaya tersebut adalah hasil penggalangan dana dan derma para donatur yang datang dari berbagai penjuru tanah air dan saudara dari seberang negeri ini.
Dari pelajaran di atas saya teringat sebait lagu dari grup band tanah air, Slank, yang berbunyi, “Mengapa harus tunggu bencana, kita rela sisihkan harta untuk sesama, mengapa harus tunggu bencana, baru kita bersahabat dengan alam.” Sepenggal lirik tersebut masih relevan untuk menampar wajah kita bilamana meletakan kepedulian hanya pada saat semuanya sudah terlambat. Tapi itu pun tak mengapa. Karena ternyata nasi belum jadi bubur. Saya tak kan menyangkal niat baik yang sudah mengalir itu bagaikan telaga di savana tandus.
Rencana kami kemudian juga ingin membangun ‘sekolah liquifaksi’ di wilayah Kota Palu, sebuah sekolah non-formal, yang menyajikan pengetahuan kebencanaan berbasis kearifan lokal dengan gaya bangunan rumah adat Kaili Lobo. Saat ini kami masih dalam tahap pembentukan tim yang terdiri dari sebuah Komunitas, Dewan Kesenian Sulawesi Tengah, dan Camat Palu Selatan. Setelah perancangan konsep ini rampung, kami berencana ingin mengadakan audiensi bersama pemerintah Kota Palu.
Selain itu kami akan menyuplai buku ke sekolah darurat dengan program ‘Gerakan 1000 Fiksi untuk Sebuah Mimpi’. Tujuanya tak lain dan tak bukan membangun peradaban literasi di tengah kearifan budaya tutur orang lokal atau biasa disebut notutura. Kami yakin, jika dua kutub budaya ini dipadukan, maka tak hanya jendela dunia terbuka luas, gerbang semesta pun kian menganga riang, umat manusia berbondong bergotong royong. Sebagaimana dikatakan Youval Noah Harari, “Karena fiksi-lah banyak orang yang tak saling kenal bisa bekerjasama.”
Kebutuhan air bersih adalah salah satu skala prioritas saat-saat ini. Untuk program pengadaan tandon air dan MCK, lokasi pertama kami adalah Desa Wisolo. Kami mendistribusikan tandon air dan paralon untuk menunjang kebutuhan penduduk. Seorang pendeta bagi masyarakat Da’a, Pak Udin, menerima langsung dua buah tandon air beserta 12 batang paralon. Senyumannya tersunggi riang ketika melihat dua tandon air telah terisi air pegunungan dari balik tenda titik kumpul hunian sementara. Para jemaatnya kini sudah tidak bersusah payah lagi menimba air dari atas lereng pegunungan.
Tak jauh dari desa Wisolo, kami beranjak ke desa sebelah yaitu Desa Sambo. Saat itu waktu telah maghrib. Di Masjid Alkhairat Sambo kami terenyuh. Ketika hendak berwudhu, air hanya bisa menetes demi setetes bak air mata seorang bocah berdiri di tengah reruntuhan. Belum lagi sumber air di sini ternyata datangnya dari tangkapan air hujan. Dengan kondisi tersebut, malam itu juga kami mengadakan pertemuan kecil bersama kepala desa Sambo, Ppak Wikram. Kami menyampaikan maksud dan tujuan memberikan bantuan, esoknya 1 unit tandon ukuran 500 liter dan 35 batang paralon kami serahkan ke Masjid Alkhairat.
Harapan kami simpel. Kami berharap dengan adanya tandon kecil ini barangkali doa-doa bisa bangkit dari kesedihan. Kami khawatir bila air mata yang membasuh wudhu telah melenyapkan harapan dan angan. Semoga tandon kecil ini bisa membantu.
Selain itu, ada beberapa desa yang telah kami distribusikan tandon dan kelengkapan material pembuatan MCK seperti Desa Wisolo, Desa Sambo dan Desa Bangga, Desa Balentuma, serta Kecamatan Sirenja dan Desa Labuana. Semuanya berada di wilayah administratif Kabupaten Sigi dan Kabupaten Donggala.
Pijar Sesar Palu Koro laksana martir yang diayun meratakan bangunan, hentakan geraknya memecah urat bumi di lereng-lereng bukit, menyajikan bubur lumpur liquifaksi yang memblender manusia masuk ke dalam perut bumi, hingga merubuhkan dinding teluk, mengundang riak pantai naik menyapu manusia lembah.
Dari balik jendela Lion Air, sebuah maskapai yang baru-baru mengalami kecelakaan di Teluk Karawang, meliuk-liuk di atas langit Palu. Ketika burung besi ini take off, ia menyuguhkan pemandangan Petobo dari atas bagaikan sereal lumpur bercampur rumah-rumah penduduk yang telah porak poranda.
Mereka para relawan Posko Peduli Sulteng-DIY merupakan gabungan dari relawan individu, Forum Relawan Jogja, relawan mahasiswa lokal yang kebetulan sedang menempuh kuliah di Yogyakarta, maupun relawan lokal yang berstatus korban. Posko yang bermarkas di Asrama Mahasiswa Sulawesi Tengah Yogyakarta ini ingin membagi sepenggal kepedulian atas nama kemanusiaan. Salam.(*)