Memahami Keruwetan Ibukota Dari ‘WESEL POS’

Oleh; Luna Febriani [Pegiat Social Movement Institute]

 

(Sebuah Karya Ratih Kumala)

***

Cuma orang sakti yang bisa bertahan hidup di Jakarta. Kalimat tersebut merupakan kalimat pembuka sekaligus menjadi kalimat inti dari novel terbaru karya seorang penulis perempuan Indonesia, yakni Ratih Kumala. Setelah sukses dengan beberapa karyanya seperti Tabula Rasa, Larutan Seja, Gadis Kretek dan lain sebagainya, melalui karya terbarunya yang berjudul Wesel Pos, Ratih Kumala berupaya mengangkat tentang keruwetan yang ada di Jakarta.

Berawal dari kisah seorang perempuan desa (Elisa) yang baru ditinggal ibunya menghadap Yang Maha Kuasa, Elisa yang berangkat dari Purwodadi menuju Jakarta untuk mencari pekerjaan. Dengan menggunakan kendaraan bus, Elisa nekat menjelajahi ibukota yang belum pernah diketahuinya hanya dengan berbekal uang seratus lima puluh ribu rupiah (Rp. 150.000,-), ponsel butut dan secarik wesel pos. Wesel pos yang dibawa Elisa merupakan satu-satunya petunjuk untuk mencari keberadaan kakaknya, karena pada wesel pos yang selalu diterima Elisa setiap bulannya di kampung tersebut tertera alamat kakaknya yang ada di Jakarta. Sebagaimana yang diketahui, sudah beberapa bulan belakangan ini Kakak Elisa tidak pernah memberi kabar seperti biasanya, nomor telepon yang bisa dihubungipun sudah tidak aktif lagi. Oleh karena itu, kedatangan Elisa ke Jakarta selain untuk mengabarkan berita kepergian ibunya dan mencari pekerjaan, juga untuk mencari kakaknya yang sudah tidak pernah memberikan kabar berita.

Permasalahan langsung menghampiri Elisa begitu dia tiba di Jakarta, kebingungan melandanya ketika menginjakkan kaki di terminal. Kota Jakarta sungatlah berbeda dengan desa tempat dia tinggal, baik secara fisik seperti bangunan dan infrastruktur maupun secara non fisiknya seperti interaksi dan kekerabatannya. Elisa bingung hendak kemana dia setelah ini, kebingungannya ini kemudian memunculkan masalah besar baginya, dimana ini terjadi ketika dia bertanya kepada ibu-ibu yang ‘dianggapnya’ baik dan menitipkan barang-barangnya kepada ibu tersebut untuk pergi ke toilet sebentar. Yang terjadi pasca Elisa pulang dari toilet adalah semua barang-barang yang dia titipkan beserta ibu yang dianggapnya baik tadi menghilang entah kemana. Dari sinilah permasalahan-permasalahan baru tak lelah menghinggapi Elisa. Permasalahan-permaslaahan ini kemudian meyakinkan dan meneguhkan diri Elisa bahwa perlu kekuatan ekstra untuk dapat tinggal dan hidup di ibukota.

Novel Wesel Pos karya Ratih Kumala ini menggambarkan kepada kita semua bahwa betapa rumitnya kehidupan yang ada di Jakarta. Berbagai persoalan selalu menghiasi dan menghinggapi kehidupan manusia yang tinggal dan menetap disana. Dari novel tersebut, digambarkan beberapa persoalan besar yang sering muncul dan dihadapi baik bagi manusia-manusia di Jakarta maupun bagi kota Jakarta itu sendiri. Pertama, persoalan urbanisasi. Urbanisasi merupakan persoalan besar yang dihadapi kota Jakarta dan daerah sekitarnya saat ini. Menggeliatnya urbanisasi tidak dapat dilepaskan dari kemajuan dan kegemerlapan yang ada dan tampak akibat dari industrialiasi dan modernisasi di Jakara. Kemajuan dan kegemerlapan yang ditawarkan dari Jakarta ini kemudian menjadikan munculnya persepsi masyarakat bahwa untuk menjadi sukses dan maju maka tinggal dan bekerjalah di Jakarta. Ini kemudian menjadikan orang berbondong-bondong meninggalkan desa dan hijrah ke Jakarta. Urbanisasi itu sendiri kemudian melahirkan banyak dampak, diantaranya: desa akan ditinggalkan, penduduk kota yang semakin banyak, polusi dan kerusakan lingkungan, lahan semakin menipis serta persoalan-persoalan kriminal lainnya.

Kedua, kualitas interaksi dan solidaritas masyaarakat yang semakin menipis. Seperti yang di katakan diatas bahwa urbanisasi akan melahirkan tingkat kepadatan penduduk, maka secara langsung kepadatan penduduk akan menjadikan agresifitas individu semakin meningkat. Mengapa demikian? Ini terjadi karena dengan meningkatnya jumlah penduduk maka tingkat kompetisi hidup juga semakin meningkat. Individu harus bekerja dan berjuang lebih giat agar dapat bekerja, dapat memenuhi kebutuhan hidup dan dapat survive diibukota. Sehingga, hal ini mau tidak mau akan berpengaruh pada pola interaksi masyarakat, yang mana interaksi dan solidaritas masyakat di ibukota lebih berbasis kepentingan ketimbang kekeluargaan. Ini juga menjadikan manusia-manusia ibukota lebih individualis di bandingkan dengan masyarakat desa yang cenderung komunal.

Ketiga, persoalan mempertahankan ideologi. Novel Wesel Pos ini selain menceritakan tentang persoalan Jakarta yang sangat keras sehingga dibutuhkan manusia-manusia sakti agar dapat bertahan, juga mengisahkan tentang persoalan sulitnya mempertahankan ideologi di tengah kerasnya kehidupan Jakarta. Bahkan, persoalan ideologi ini berhubungan dengan hidup dan mati sesorang. Dengan kata lain, manusia-manusia yang memiliki ideologi harus berjuang lebih ekstra dan sakti agar dapat hidup dengan ideologinya. Seperti kisah Fahri dalam Wesel Pos harus menemui ajalnya ditangan aparat ketika dia konsisten mempertahankan ideologi untuk keluar dari zona peredaran narkoba yang menganut prinsip “Mati di jalan atau dimatiin sama si Bang”.

Benang merah dari cerita Wesel Pos yang dihadirkan oleh Ratih Kumala tentang keruwetan yang ada diibukota seakan memberi himbauan dan peringatan kepada pembacanya bahwa untuk tinggal dan bertahan di Jakarta haruslah menjadi orang yang sakti terlebih dahulu. Jika tidak, hukum rimba akan berlaku disini yang mana orang yang dapat bertahan adalah orang-orang yang kuat kalau tidak maka akan punah dengan sendirinya, seperti dialami oleh tokoh-tokoh dalam Wesel Pos tersebut.

Sungguh saya memilih menyerah jika harus tinggal diibukota, heheheheh…..

 

Jika anda menyukai konten berkualitas Suluh Pergerakan, mari sebarkan seluas-luasnya!
Ruang Digital Revolusioneir © 2024 by Suluh Pergerakan is licensed under CC BY-SA 4.0