NalarNaluri – [Pegiat Social Movement Institute]
“Kekerasan bisa terjadi akibat tumbuhnya rasa identitas yang diandaikan bersifat kodrati sekaligus tunggal – bahkan kerap bersifat agresif – yang dianggap melekat pada diri kita dan seolah membebani kita dengan tuntutan yang berat (kadangkala menuntut kita bertindak kejam)” -Amartya Sen-
***
Tak akan ada habisnya jika berbicara tentang isu identitas, hati masa akan mudah termobilisir jika kendaraanya ialah penistaan agama.
Konfrontasi menjadi pekerjaan ringan, seenteng menggeret akal manusia yang minim daya kritis.
Warisan agama memang sudah sejak zaman purba menyatu dalam darah kita, tapi mengapa ia tidak beranjak bangkit menuju ke evolusi tradisi pemikiran yang lebih maju.
Perdebatan kita mungkin paling membosankan sepenjuru negara, dan juga paling tidak produktif sepanjang peradaban.
Reaksi kita menjalar bagai gambut yang mudah terbakar, susah dan lama padamnya. Sementara, masalah ketimpangan melintas sepintas dari perhatian.
Barisan masa yang meluber itu terpanggang oleh api yang dihembuskan para elit dan dinikmati oleh elit juga. Dan akhirnya, ini hanya persoalan bagi-bagi kue manis kekuasaan.
Sehingga untuk meneropong nahkodanya kita mudah menebak arahnya: dari kiyai yang tadinya mendukung mempolisikan penista agama, kemudian tak lama jadi lembek setelah didekati penguasa dan dapat sepotong manisnya kue. Hingga para orator filosofis yang memposisikan dirinya sebagai penjaga oposisi.
Sementara tafsir politik yang dicomot oleh masyarakat bawah kita, terseret dalam pertempuran identitas yang sudah semakin mengkhawatirkan.
Maka tak heran reaksioner makin subur dikepala mereka. Oleh sebab itu tak perlu energi berpikir, analis mendalam, serta perdebatan yang mutunya sengit.
Yang kita kritisi dari elit adalah bukan sekedar menuntut karena puisinya yang begitu buruk renungan itu, melainkan relasi kekuasaan yang mereka pelihara sampai membuat sendi-sendi bahasa kebenaran melumrahkan bahasa kebohongan realitas keadilan suatu masyarakat. Inilah penistaan yang paling keji sesungguhnya.
Dosa yang paling besar menurut saya adalah menistakan akal sehat, ketika yang kaya makin jaya miskin makin banyak. Inilah tontonan sirkus politik para populisme, antara populisme nasionalis kanan versus populisme konservatif kanan.
Mereka masing-masing kerahkan semua jurus kepalsuan, ibarat pesilat yang berlaga dengan seribu gaya sambil menjual obat kuat tradisional.
Tak heran, jika puisi mereka jadikan senjata. Menggempur nalar kritis masyarakat, supaya terhindar dari masalah yang serius sesungguhnya.
Sebaiknya, puisi buruk tidak dibalas dengan puisi serius, karena hanya menciptakan ketumpulan akal dan kesombongan ego.
Yang kita butuh puisi yang sudah bergerak, beranjak menuju era dimana kebangkitan agama tak melulu ngurusi pelecehan teks, tapi juga berlari dari ketertinggalan konteks.