Nenek Tua Yang Membaca Kahlil Gibran

 

 

NalarNaluri – [Pegiat Social Movement Institute]

***

Dari balik keranda masjid, nenek Rayi tertidur selamanya seperti sambil menatap tembok berlumut, tembok rumah yang dulu menempel setumpuk kesedihan yang Ia bawa hingga mati.

Pak Lani dan Bu Tini adalah anak dari nenek Rayi, pipi mereka basah digenangi air mata. Namun siapapun mudah menebak kesedihan yang nampak begitu kontras, meski menjiwai kesedihan yang sama tapi sungguh memuat motif yang berbeda.

Siang itu, keributan sampai terdengar keseluruh masyarakat Pandaimulya. Ambulan berhenti di persimpangan jalan bingung dengan pertengkaran. Istri Lani Citun, dan Suami Tini Aryo, saling menghadang mobil ambulan. Mencoba instruksikan supir ambulan untuk menurunkan jenazah nenek Rayi kerumah mereka masing-masing. Sang supir hanya bingung menentukan arah kemana hendak menurunkan jenazah nenek Rayi yang masih hangat meninggal tadi pagi. Dua anak nenek Rayi bersitegang di dalam mobil ambulan, memperebutkan jenazah untuk dimandikan dan dikafankan. Rumah kedua anak nenek Rayi itu terpisah. Maka, si supir hanya bisa diam dan menunggu kesepakatan antara dua anak yang bertengkar.

Keluarga nenek Rayi adalah keluarga yang menyimpan cerita pilu juga kehormatan. Dari buah pernikahanya dengan kakek Roko (yang telah meninggal lima tahun sebelumnya) melahirkan enam anak terdiri dari dua laki-laki dan empat perempuan. Anak tertuanya ialah Rumada, Mantan kepala Desa yang kharismatik dan sederhana, merelakan warisan tanahnya untuk masyarakat yang kekurangan lahan garapan dan membongkar beberapa kubik tiang rumahnya sendiri untuk penyangga pembangunan Balai Desa Pandaimulya. Setahun sebelum Ayahnya meninggal, Pak Rumada telah duluan pergi, meninggalkan seorang janda dan empat orang anak. Tiga anak nenek Rayi lainya ialah Bu Dami, Bu Wati dan Bu Risti tinggal berpisah kota pada jarak sehari perjalanan dengan kehidupan yang serba sederhana.

Lani, yang saat ini menurutnya sendiri adalah Kiyai terpandang di Desa Pandaimulya, adalah Ketua Ranting Organisasi Islam Tradisional. Mantan guru agama untuk sekolah dasar, pemimpin disetiap acara tahlil, dan imam masjid Desa Pandaimulya. Selain itu, Lani juga dikenal sebagai tengkulak berhati sempit, yang penyebabnya dikarenakan pengaruh istrinya yang gila harta itu. Semua petani miskin yang tidak punya lahan garapan, dipastikan mengambil pupuk dan alat pertanian di toko milik Lani, dengan hutang di awal kemudian di bayar hasil panen kemudian, dengan perjanjian hasil panen tidak boleh dijual ke tengkulak manapun kecuali dirinya.

Rumahnya barusan lima bulan lalu direhab bercorak mediterania moderen, alasanya untuk tempat mengaji bagi anak-anak Desa Pandaimulya. Rumah itu juga memiliki kios besar yang lebih mirip seperti toko alat-alat dan bahan pertanian, menyediakan; pupuk, pembasmi hama, semprotan hama, cangkul, hasil-hasil pertanian, dan beberapa sembako.

Yang lebih kejam ialah, kemewahan rumah baru Pak Lani ini tak menyediakan kamar yang layak bagi ibunya yang telah sepuh. Bagi nenek Rayi ini tak masalah, Dia menerimanya dengan lapang dada, tapi ketika proyek perluasan dan rehab rumah itu memakan jalan setapak warga menuju masjid ini baru menjadi masalah. Meskipun nenek Rayi sudah menegurnya, agar supaya jangan membangun rumah ketika itu menyulitkan masyarakat untuk ibadah, tapi Lani tetap ngotot ingin memperluas dinding rumahnya sampai batas hampir mengecup tembok masjid samping rumahnya. Nenek Rayi hanya mampu mengurut dada waktu itu.

Tiga bulan sebelum derai konflik itu bermula, ketika Lani lengkap bersama Istri dan anaknya berkumpul di ruang tengah keluarga. Nenek Rayi mengatakan kepada Lani, agar dua petak tanah peninggalan kakek Roko hendak diberikanya kepada Tini, anak perempuan Rayi yang suaminya memang seorang petani tetapi memiliki tanah garapan yang terbatas untuk kecukupan kehidupan yang serba pas-pasan. Nenek Rayi berpikir bukan tanpa alasan, karena kini Lani telah memiliki tanah yang banyak dan dua buah rumah dengan beberapa bidang tanah yang cukup besar, ditambah mobil, toko, dan sepeda motor baru, maka keputusan itu telah bulat dipertimbangkannya secara adil.

Namun, seperti susu dibalas air tuba, Lani menolak dengan keras, lebih pantasnya akibat desakan dari Istrinya yang bernada tak rela saat itu.

“Pokoknya kami mau tanah itu Bu… Lani kan anak tertua Ibu saat ini yang masih hidup, dan dia anak laki-laki satu-satunya saat ini.” seloroh Istri Lani yang bernama Citun, sebuah nama julukan oleh masyarakat setempat, gara-gara sifat pelitnya menyerupai orang Cina, sebuah cara pandang masyarakat lokal meskipun demikian kontoroversial kebenarnya.

“Oh ini sudah keputusanku, dan mutlak, kalau kalian gak mau, ya sudah tidak mengapa. Saya paham jika kalian tak terima, tapi inilah keputusanku yang telah kupikirkan sedalam-dalamnya”

Setelah peristiwa itu, situasi keharmonisan dalam memperlakukan nenek Rayi makin runyam, sebelumnya setelah kepergian kakek Roko memang sudah tercium gelagat buruk Citun. Perawakan istri yang pura-pura kalem di hadapan masyarakat, namun jika didalam rumah sikap ketus dan sombong sering ia lemparkan ke hadapan nenek Rayi. Anak-anak Citun yang masih kecil pun tak jarang mengumpat jahat pada nenek Rayi, seperti kenangan dimana cucunya yang berumur 10 tahun berkata;

“nek, jangan lamban bergerak, ayo main kejar-kejaran, kalo gak mau tak usir loh dari rumahku”

Nenek tua menangis dari dalam hati, sambil memaksa bersenyum meski bibir berat untuk dilekukkan. Nenek Rayi paham, kesalahan tak terletak dari anak itu, dia hanya anak kecil yang terbiasa diberi contoh oleh orang tua.

Yang lainya, seperti urusan mandi pun nenek tua harus menimba air sendiri di sumur dalam, tubuh rentanya tergopoh-gopoh menarik tali timba. Nenek tua itu juga tak punya tenaga lebih untuk membersihkan kotoran di duburnya sendiri. Semua orang dirumah itu seakan tak pernah tahu jika nenek tua membutuhkan pertolongan. Dan lebih dari itu, nenek tua tak menerima cinta dirumahnya sendiri.

Dan, masih banyak perlakuan tak pantas lainya bila dijabarkan bagai memantik gunung merapi bergemuruh.

Nenek tua memendam duka tak berujung, yang sampai matipun tak terhapus dari dadanya, nafasnya terengal-engal ketika mengambil keputusan penting akan sikapnya. Akhirnya, nenek tua terpaksa minggat dari rumahnya, rumah yang dibangun suaminya bagi Dia dan anak-anaknya. Sebuah langkah berat terpaksa dipilih diatas kerikil-kerikil tajam jalan setapak. Umur sepuh nenek Rayi yang mencapai 85 tahun itu tidak banyak merubah daya ingatnya akan kenangan pahit dan manisnya kehidupan. Meski tubuhnya telah membungkuk dan tertatih, nenek Rayi masih kuat berjalan menggotong segulung pakaianya yang Ia lipat di dalam sarung kusam bermotif kotak-kotak untuk pindah dari rumahnya sendiri.

Dengan berlinang air mata, saat itu nenek Rayi mengetuk pintu rumah Tini, dengan gemulai tanganya yang berkerut tua terayun lemas.

Pintu pun terbuka, Tini melihat ibunya dengan kaget “Bu, ada apa?”

“Aku ingin tinggal bersamamu di rumahmu, dan sampai matipun aku tak mau lagi kembali keruamahku”

Saat itu Tini tidak banyak cakap, Ia langsung menuntun ibunya ke serambi mushala dan meletakan gulungan pakaian ibunya di atas sajadah merah bergambar ka’bah. Sambil menangis tersedu-sedu nenek Rayi memainkan butir-butir biji kering tasbih cokelat dan lafalkan dzikir pada genggamannya yang aus. Sembari membiarkan ibunya berdzikir, Tini pergi ke dapur menyediakan teh hangat untuk meredakan suara parau ibunya yang kelihatanya sedang mengalami goncangan dahsyat.

Lani dan istrinya mungkin tak begitu ambil pusing dengan mengungsinya nenek Rayi ke rumah Tini, bagi mereka mungkin hal ini malah bagus, karena tanpa nenek tua itu rumah dan urusan mengurusi orang jompo tidak ada lagi. Tapi, dalam beberapa lebaran dan kesempatan, sudah pasti ketika anak-anak nenek Rayi yang berada diluar kota itu berkumpul, mereka pasti heran, mengapa nenek Rayi yang dulu tinggal bersama Pak Lani kini pindah ke rumah Tini?. Untuk sebuah jawaban ini tentu tak akan menunggu lama, mereka pun akan segara tahu pangkal masalahnya, namun yang membikin perut mules ketika Citun seolah-olah menganggap orang lain tak akan pernah tahu masalahnya. Citun selalu memainkan drama di depan orang-orang, karena hanya itu keahlianya, dia selalu menggambarkan kepada siapun yang bertanya keberadaan nenek tua bahwa seakan-akan nenek Rayi pingin tinggal bersama Tini karena keinginannya sendiri tanpa paksaan. Meski semua orang Pandaimulya tahu jika itu tak benar, Citun dengan percaya diri terus memainkan babak demi babak sandiwaranya.

Citun memainkan peran, Lani ikut berdrama. Nenek Rayi dipaksa minggat dari rumahnya dengan perasaan tercampakan, nenek tua memendam perasaan sedih karena umpatan dan sikap arogan.

Sambil mengaduk gula agar larut bercampur air teh dalam gelas bening itu, Tini mencoba menerka apa gerangan yang membuat ibunya bersedih. Ia coba mencocokan dengan wasiat ibunya tiga bulan lalu tentang rencana pembagian tanah warisan kakek Roko.

“apa mungkin itu?” tanya Tini dalam benak dengan penuh yakin.

Setelah membiarkan ibunya di serambi mushala sambil menyediakan teh hangat, terlihat ibunya sedikit demi sedikit berhenti mengeluarkan tangis.

“minumlah teh hangat ini Bu” Tini menyodorkan gelas teh.

Sembari memijat-mijat pelan kaki ibunya Tini bertanya lirih; “Ibu sudah makan?”

Nenek Rayi terlihat hanya mengangguk.

“Aku sudah tak tahan nak”

“Cukup, aku tak ingin lagi tinggal dirumah yang penuh dusta itu, meskipun rumah itu milik ayahmu dan aku berhak tinggal di dalamnya. Meskipun aku tak rela, tapi biarlah aku memilih mengungsi, daripada menimba derita karena dicampakan secara tak hormat”.

“Apakah ini berhubungan dengan pembagian dua petak sawah itu Bu?”

Nenek Rayi kembali mengangguk

“Kakakmu Lani tak terima, terutama istrinya yang hampir gila karena kehausan harta”.

“anak-anaknya juga memperlakukanku seperti kucing tua busuk, bagai binatang asing yang hinggap dirumah mereka, yang meskipun itu adalah rumahku juga”.

Tini tak tahan menahan emosi, air mata tercurah deras bagai telaga, dadanya terasa sesak, hanya riuh tangisan bisa didengar siang itu.

Setelah tinggal bersama Tini selama dua kali lebaran, kemarin nenek tua itu menutup usia di umur 85 tahun. Duka menyelimuti seluruh Desa Pandaimulya, tak terkecuali keluarga yang ditinggalkan. Tapi, sungguh, tak ada yang menandingi duka nenek tua terusir dari rumahnya sendiri, duka nenek tua adalah duka yang abadi.

Kini, nenek tua telah tiada. Ia meninggal dengan merdu, semerdu ketika dirinya membaca ‘kelopak-kelopak jiwa’ Kahlil Gibran sebelum lima menit sakratul maut menghampiri. Sirine ambulan yang mengantarnya bagaikan petikan dawai-dawai sajak yang dimainkan Gibran.

Lani anak laki-laki nenek Rayi yang saat itu berada dalam mobil ambulan berkata;

“Tin…aku ini anak laki-laki, aku harus mengurus jenazah ibu, kamu tega melihat pandangan masyarakat akan diriku bila nanti tidak mengurus jenazah ibu?” Lani, seperti memanipulasi duka, terus memainkan drama, meskipun ibunya telah meninggal.

Tini pun menjawabnya; “ibu pernah bicara, jika Dia akan tinggal dirumahku sampai Iya mati, Dia tak ingin kembali lagi kerumahmu, aku hanya ingin menjalankan wasiatnya Mas Lan…”

“tapi ini wasiat yang bisa dilanggar kok” nada seperti menekan terlontar dari bibir Lani, sekali lagi mungkin karena Dia menganggap dirinya adalah seorang Kiyai maka wasiat bisa dipertimbangkan untuk tidak dijalankan.

Akhirnya, prosesi memandikan jenazah itu dilakukan dirumah Lani, rumah milik nenek Rayi, rumah yang memaksa mengusirnya dari gejolak kuasa Lani dan sang Istri.

Mayatnya di dalam keranda dibungkus kain hijau diletakan di masjid di samping tembok rumahnya yang kini telah berlumut.

Malamnya setelah pemakaman, warga Desa Pandaimulya pun masih bingung, dua rumah antara Lani dan Tini masing-masing mengadakan Tahlil.

Dalam wasiat nenek Rayi yang kedua sebelum meninggal, Ia berpesan kepada Tini untuk menuliskan kembali bait sajak Kahlil Gibran “Indah Pendar Kematian” di batu nisannya kelak, sajak itu berbunyi:

“Biarkan aku terbaring dalam lelapku, karena jiwa ini telah dirasuki cinta, dan biarkan daku istrahat, karena batin ini memiliki segala kekayaan malam dan siang”

“Biarku istrahat diranjang ini, karena kedua bola mata ini teramat lelahnya”

“Jangan berbicara dengan dukacita atas kepergianku, tapi, pejamkanlah matamu dan kau akan melihat diriku kini dan nanti”

“kembalilah engkau ke tempat kediamanmu dan disana akan kau temukan kematian yang tak bisa memisahkan engkau dan aku”

“kini tinggalkan tempat ini, yang kucari telah pergi jauh dari dunia ini”.

Sepertinya Lani tak akan pernah tahu, paham, dan mengerti akan wasiat. Sajak Kahlil Gibran terukir di nisan nenek tua. Tapi mungkin saja, Lani dan Citun akan terus berpura-pura membacanya. []

Jika anda menyukai konten berkualitas Suluh Pergerakan, mari sebarkan seluas-luasnya!
Ruang Digital Revolusioneir © 2024 by Suluh Pergerakan is licensed under CC BY-SA 4.0