Sinta Novratilova – [Pegiat Social Movement Institute & Mahasiwa Pasca Sarjana Kes-Mas]
***
Seks adalah kekuasaan. Kekuasaan adalah seks. Begitu Filsup Francis Michel Foucault mendedahkan makna seks. Tapi seks dan seksualitas itu sendiri menurutnya adalah dua hal yang berbeda. Seksualitas dalam pemahaman Foucault tidak terkait persoalan alat reproduksi semata tetapi menyangkut keseluruhan tubuh pada manusia. Dan tentunya bagaimana cara memahami hal tersebut serta keterhubungannya antara pria dan wanita.
Membicarakan seks atau seksualitas, hampir kebanyakan yang dibayangkan adalah persoalan genital atau kelamin. Dan topik ini selalu banjir peminat, baik yang memang ingin tahu, pura-pura ingin tahu atau sekedar mendengarkan saja. Tapi sesungguhnya apa yang anda pikirkan ketika mendengar kata seksual, seks atau hubungan badan? Yang pasti kita tidak akan menerangkan atau menjelaskan hal tersebut dengan gamblang.
Kita pasti sangat ragu apabila diminta untuk menjawab pertanyaan seputar seks. Apalagi kalau ditanyakan berulang-ulang dan di depan publik. Alih-alih menjawabnya dengan lugas, malah yang bertanya bisa dapat gamparan gratis. Hehe…
Mengapa hal tersebut masih sukar untuk diungkapkan? Karena kebanyakan masyarakat kita memang masih menganggap bahwa pertanyaan seputar seks tersebut tabu untuk dijelaskan. Karena perihal seks atau hubungan intim hanya layak dikonsumsi oleh pasangan masing-masing. Tidak boleh terumbar sampai ke luar. Apalagi kalau sampai di dengar tetangga. Apalagi kalau sampai mempertanyaakan alasan kenapa kadang ada desahan saat sedang berhubungan. Tentu kebanyakan dari kita akan menghindar. Padahal ada sesuatu yang penting yang perlu kita ketahui dari hal itu.
Hal ini juga untuk mematahkan mitos yang terlanjur berkembang di tengah masyarakat yang sifatnya subjektif dan sepihak. Nah, hal itu yang akan coba kita uraikan dalam artikel kali ini. Sekali lagi, kita harus menyingkirkan perasaan tabu untuk bisa memahami penjelasan ini.
Yang paling utama adalah kita perlu tahu dulu mitos apa yang berkembang di masyarakat seputar seks. Diantaranya adalah seputar persoalan kepuasan dari masing-masing pasangan. Dan kepuasan itu, katanya, ditunjukkan dengan beberapa simbol seperti perempuan yang mendesah, alvit yang dipatok karena size nya, durasi selama berhubungan dan serta doktrinasi yang sengaja diciptakan oleh salah satu pasangan.
Lalu apa yang kita pikirkan saat mendengar pasangan perempuan mendesah ketika sedang berhubungan intim? Mungkn ini terdengar agak ‘saru’ akan tetapi ini merupakan suatu hal yang paling penting untuk kita pahami sebagai bahan pembelajaran. Ada banyak penjelasan yang penting kita ketahui tentang desahan tersebut.
Seperti mitos yang banyak berkembang, kebanyakan dari perempuan melakukan hal tersebut karena berbagai alasan. Pertama mungkin dikarenakan memang menikmati permainannya. Dan kedua bisa saja itu yang dinamakan Fake Orgasm. Apa itu? Yaitu upaya untuk mengangkat kebangaan suami biar dia merasa kalau pasangannya terpuaskan oleh dirinya. Dan bisa juga hal tersebut dikarenakan pasangan perempuan sudah merasa bosan sehingga permainan tersebut harus diakhiri. Jadi improvisasi dengan desahan itu seperti rangsangan agar pasangan pria cepat klimaks. Hal seperti inilah yang disebut fake orgasm tersebut. Atau sederhananya ialah perempuan berpura-pura orgasme untuk merangsang orgasme pasangan lelaki agar lebih cepat terjadi. Dan fake orgasm ini banyak terjadi pada pasangan perempuan.
Michael Castleman M.A dalam jurnal ‘How to Boost a Woman’s Chance of Orgasm During Intercourse; 2010’, menuturkan bahwa hanya 25 persen saja dari pasangan perempuan yang menikmati seks dan terpuaskan. Selebihnya bisa dibilang fake. ‘Vaginal intercourse can feel wonderful: the physical closeness, the emotional intimacy, and for many, the belief that intercourse epitomizes sex. But for women’s orgasms, the old in-out is also problematic. The best evidence suggests that only 25 percent of women are consistently orgasmic during intercourse no matter how vigorous or prolonged it is, no matter how loving the relationship, no matter what position the lovers use, and no matter what the size of the man’s penis’.
Hal ini juga diamini oleh beberapa responden, ibu rumah tangga, yang pernah saya wawancarai. Mereka mengungkapkan bahwa hal tersebut (fake orgasm) dilakukan lebih karena mendorong suami supaya cepat mencapai klimaks. Karena pandangan kebanyakan masyarakat bahwa yang dikatakan kepuasan dalam bercinta adalah saat pasangan mencapai klimaks.
Trus yang jadi pertanyaan, bagaimana dengan orang yang katanya sanggup bercinta sampai dua jam bahkan lebih. Klenger? Ya bisa saja. Hehe… Dan bagaimana pula dengan beberapa kasus yang menunjukkan bahwa ada orang yang bercinta dengan durasi yang lama.
Lagi-lagi ini hanyalah mitos. Karena pada kenyataannya, seks itu sendiri bukan diletakkan pada soal perkasa atau tidaknya pasangan kita. Tetapi justru rasa nyaman pada masing-masing pasangan saat berhubungan itulah yang menjadi hal yang krusial dan penting. Jadi kepuasan tersebut bukan dilihat atau diukur berdasarkan durasi bercintanya. Memang terkadang dari sisi wanita ada yang merasa terpuaskan saat bercinta dengan durasi yang lama. Akan tetapi tidak semua perempuan yang bisa menikmati aktivitas itu dengan durasi tersebut. Bahkan Paulo Coelho dalam salah satu novelnya ‘Eleven Minutes’ juga menjelaskan bahwa durasi efektif seseorang tersebut saat bercinta hanya sebelas menit saja. Hanya berkisar sebelas menit itulah kepuasan yang bisa didapat saat bercinta.
Dan yang paling penting lagi saat berhubungan dengan pasangan adalah mengatur ritme komunikasi. Karena komunikasi adalah kunci kepuasaan bagi pasangan, baik pria maupun wanita. Dengan komunikasi juga kita jadi memahami keinginan masing-masing pasangan. Misalnya bercinta seperti apa yang disukainya dan tidak disukainya. Dan dengan mengetahui hal tersebut, pasti antar pasangan akan bisa menyesuaikan diri dan tidak memaksakan ego secara sepihak. Disitulah akhirnya kepuasan itu bisa tercapai.
Jadi, dalam berhubungan dengan pasangan, kita sejatinya tidak boleh mendahulukan ego pribadi, baik pria atau wanita. Kalau kita tetap mengedepankan ego, kembali akhirnya kita terjebak pada mitos yag diciptakan secara subjektif tersebut.
Justru kalau pasangan perempuan sudah mulai improvisasi dan sebagainya, hal tersebut patut di curigai. Curiga seperti apa yang dimaksud? Yang jelas, coba tanyakan pada pasangan apakah saat itu (saat bersuara-suara serak tersebut) ia merasa puas ataukah hanya fake orgasm tadi. Karena tak jarang juga masalah kepuasan ini menjadi awal berantakannya suatu bangunan keluarga. Hal itu kerap terjadi baik pria maupun wanita. Yang ujung-ujungnya ke pengadilan untuk proses pemisahan.
Karena bisa jadi karena ketidakpuasan ini menyebabkan dinginnya hubungan antar pasangan. Misalanya saja nyonya X, alasan sebenarnya dia menuntut perceraian hanya karena suaminya dipandang tidak mampu memuaskannya dan dia lelah untuk selalu berpura-pura menikmati. Begitupun sebaliknya. Cuma tidak ada yang berani mengungkapkan hal tersebut ke masing-masing pasangan. Dan cintapun kemudian mulai berasa hambar. Lalu bukan tidak mungkin masing-masing pasangan bertualang mencari kepuasan di jalur lainnya.
Seharusnya untuk mempertahankan jalinan keluarga yang sudah dbentuk ini, masing-masing pasangan bisa saling terbuka dan aktif melakukan komunikasi. Dengan menjaga harmonisasi seperti ini, dijamin tidak akan ada rumput hijau lainnya. Dan perempuan juga harus mulai berani bersuara dengan lebih tegas. Tidak boleh hanya diam saja menjalani ketertindasan verbal maupun non verbal. Termasuk saat bersama dengan pasangan. Saatnya perempuan melawan, termasuk diranjang. Karena kita punya hak yang sama ketika bercinta. Important encounters are planned by souls before the bodies see each other (Paulo Coelho, Eleven Minute) .
That its.