NalarNaluri – [Pegiat Social Movement Institute]
:sebuah anekdot yang dipengaruhi Eko Prasetyo
***
Entah sejak kapan banyak kampus di negeri ini kehilangan kepercayaan dirinya sebagai institusi pendidikan.
Kampus seakan kehilangan rohnya sebagai ruang sakral berpikir dan kebebasan mengkritik.
Esensinya kampus di bangun sebagai perahu untuk mengarungi semesta pengetahuan dan berlayar di samudra ilmu.
Orang umum mengenal kampus sebagai tempat dimana para mahasiswa menenteng buku, membuat forum diskusi, lingkar organisasi dan kegiatan ekstrakurikuler lainya.
Fenomena akhir-akhir ini, seakan menentang itu semua.
Kehidupan organisasi bagai kuburan, gagasan mahasiswa hanya seputar prestasi Leonel Messi dan Cristiano Ronaldo, boroboro mengharapkan demonstrasi tolak pembangunan Bandara Kulonprogo.
Hanya segelintir mahasiswa yang siap jadi martir dan memantapkan dirinya sebagai aktivis, lainya sibuk main futsall dan pacaran bagai “Dilan”.
Kampus menawarkan kesunyian kreativitas dan kebebasan berpendapat, jika dahulu pada era Orba mahasiswa-dosen dan kampus riuh dengan semangat intelektual; banyak mahasiswa berdebat dengan dosen disebuah perkuliahan, dan melahirkan ide-ide baru alternatif.
Karenanya tak heran bila disana mereka bisa meletupkan reformasi yang menumbangkan tiran Soeharto.
Sekarang kampus kehilangan keegaliteran dan berasa pasar. Dosen berlagak bagai dewa tanpa dosa dan kesalahan, karena kebanyakan proyek lupa tanggung jawab.
Dan kampus yang tawarkan macam-macam masa depan, karir, bahkan nasib seperti Bill Gates; pintar main komputer sekaligus menjadi enterpreneur sukses.
Maka, kita kadang menemukan kampus yang mahasiswanya berseragam mirip Direktur Perusahaan: berdasi dan setelan jas.
Mungkin juga sebentar lagi potongan rambutnya akan seragam, “gundul ruwet” seperti tentara.
Padahal kita tahu, Bill Gates tak pernah menyelesaikan kuliahnya, Dia bisa menjadi orang kaya bukan karena menekuni kuliah untuk nilai mata kuliah yang tinggi menyundul langit, dan patuh pada aturan kampus.
Bill Gates nampaknya sadar, kehidupan kampus hanya membuatnya frustasi akan kebebasan berkeksperimentasi.
Meskipun sekarang Dia menyarankan orang jangan putus kuliah, bukan karena apa-apa, tapi karena Dia emang hidupnya sekarang dah makmur, jadi mau lulus kuliah atau gak tak masalah buatnya.
Singkatnya, Bill Gates menciptakan Microsoft dan itu disebabkan oleh hasrat, nekat, gelisah, dan kreativitas.
Peran kampus bisa dipastikan tidak begitu banyak mempengaruhi karirnya.
Akhirnya, penipuan kelas kakap ini pun berjalan sistematis dan jamak terjadi hampir di seluruh kampus yang ada di negeri ini.
Kampus hanya ramai dengan baliho dan spanduk penipuan: “Kampus ini hanya menawarkan kesuksesan, bekarir dikementerian, perusahan minyak, beasiswa ke Luar Negeri, tapi tidak di jamin 100%”
Padahal data BPS pada Februari 2016 menunjukan sarjana penganggur mencapai 695 ribu jiwa, meningkat 20% dari Februari 2015, kemungkinan akan terus meningkat pabila revolusi tak segera pecah.
Para sarjana tersebut malah banyak menjadi pekerja informal, dan mayoritas menjadi proletariat informal, Indonesia mengalami surplus akan hal itu, dan inilah cara kapitalisme bekerja seperti penjelasan Muhtar Habibi pada bukunya.
Jadi, bagi para Ortu yang ingin memasukan putera-puterinya di sebuah kampus, satu hal yang harus diingat: “waspadalah sama spanduk dan baliho”.